Kamis, 19 Oktober 2023

 

Pembuktian Kebenaran dan Pengandaian Kesalahan

(Resensi dan Kajian Moral atas Film DOUBT) 

(Oleh: Werenvridus Sadan, dkk)

  

I      Sinopsis Film DOUBT

Film Doubt mengambil setting Gereja Katolik Santo Nicholas di Syahdan, kawasan Bronx, New York. Bapa Flynn adalah pastor paroki di Gereja yang berdiri tahun 1964 ini. Bapa Flynn digambarkan sebagai sosok yang ramah, baik dan bersahabat. Di gereja inilah, ihwal keraguan disuguhkan kepada umat ketika Bapa Flynn berkotbah tentang “Apa tindakanmu saat ragu?”. Bapa Flynn di penghujung kotbahnya mengatakan: “Keraguan dapat menjadi ikatan yang sama kuat dan menyokong seperti kebenaran.”

Di samping Gereja Santo Nicholas terdapat sekolah untuk anak-anak remaja, sebut saja SMP (Sekolah Menengah Pertama). Sekolah ini dikepalai Suster Aloysius. Suster Aloysius adalah seseorang yang berkepribadian tegas, kaku dan konservatif. Lihat saja, sikap suster Aloysius yang tidak mengijinkan siswa menggunakan Bulpoin, lagu profan tidak boleh dinyanyikan dalam perayaan Natal dan minum teh dengan racikan tiga kaping gula tidak diperkenankan.

Seorang anak kulit hitam, Donald Miller, mendapat kesempatan untuk masuk dalam pelayanan baik di Gereja tempat Bapa Flynn bertugas maupun di sekolah yang dipegang Suster Aloysius. Di Gereja, Donald, nama panggilannya, diberi kepercayaan menjadi putra Altar. Donald juga diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan di sekolah Suster Aloysius. Sayangnya, keberadaan Donald tidak dihargai semua orang. Bapa Flynn menjadi malaikat pelindung bagi Donald di tengah keteralienasian yang dialaminya.

Pada suatu hari, Bapa Flynn memanggil Donald ke kantornya. Setelah keluar dari kantor Bapa Flynn, Donald terlihat ketakutan; lebih dari itu: dari mulutnya tercium bau alkohol. Keanehan pada diri Donald dilihat oleh Suster James, suster rekan dari Suster Aloysius, juga tenaga pengajar di sekolah Santo Nicholas. Suster James yang melihat hal itu menenggarai bahwa Bapa Flynn melakukan hal yang buruk pada Donald. Asumsi Suster James semakin bertambah mana kala ia mendapati Bapa Flynn secara diam-diam meletakkan sesuatu di dalam loker penyimpanan milik Donald. Suster James memeriksa loker itu dan menemukan bahwa yang ditaruh Bapa Flynn adalah kemeja. Suster James memberitahukan kejadian ini kepada Suster Aloysius dan juga segala kecurigaannya.

Laporan Suster James semakin menambah rasa curiga Suster Aloysius terhadap Bapa Flynn. Suster Aloysius memang sudah menaruh curiga pada bapa Flinn. Kecurigaan itu didasarkan pada kepindahan Bapa Flynn yang mendadak; yakni dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Santo Nicholas adalah paroki ketiga yang disinggahi oleh Bapa Flynn. Menurut presumsi negatif Suster Aloysius, Bapa Flynn pasti melakukan hal-hal buruk di paroki-paroki sebelumnya. Hal ini semakin ditegaskan tatkala Suster Aloysius melihat kejadian di mana Bapa Flynn memegang paksa pegelangan tangan William London, seorang siswa yang suka berbuat nakal. Dari kejadian-kejadian ini, Suster Aloysius menarik kesimpulan bahwa Bapa Flynn adalah seorang  pedofil. Maka dari itu, Suster Aloysius bertekad akan membuka samaran Bapak Flynn.

Untuk itu, Suster Aloysius memanggil baik Bapa Flynn maupun Suster James ke Katornya untuk membahas masalah itu. Saat pertemuan bergulir Suster Aloysius meminta dengan paksa, bahkan dengan nada penuh tuduhan agar Bapa Flynn menjelaskan perbuatan yang dilakukannya pada Donald. Lantaran dipojokkan, Bapa Flynn mengatakan alasan mengapa Donald dipanggil; yakni untuk menyelesaikan pelanggarn yang dilakukan Donald: ia minum anggur altar. Alasan yang diberikan Bapa Flynn ini melegakan Suster James, tetapi Suster Aloysius tidak mempercayai Bapa Flynn. Ia masih meragukan apa yang dikatakan Bapa Flynn, dan karenanya ia memanggil Nyonya Miller, ibu Donald, untuk membuktikan keyakinannya.

Dari pembicaraan dengan Nyonya Miller, keyakinan Suster Aloysius semakin dikokohkan. Menurut pengakuan Nyonya Miller, Donald memang memiliki kelainan seksual. Hal inilah mendorong Suster Aloysius untuk menyingkirkan Bapa Flynn dari lingkungan gereja Santo Nicholas. Suster Aloysius memperoleh kemenangan atas Bapa Flynn. Bapa Flynn dipindah-tugaskan ke paroki lain. Akan tetapi, keberhasilan ini menyisakan keraguan yang amat mendalam dalam diri Suster Aloysius. Adapun penyebabnya adalah Suster Aloysius mengakui bahwa ia tidak mendapatkan bukti atas tuduhan atau kecurigaannya terhadap Bapa Flynn. Kecurigaan terhadap Bapa Flynn hanya didasarkan pada keyakinannya belaka.

Apabila kita mengikuti jalan cerita film ini sampai selesai, kita juga tidak tahu apakah Bapa Flynn memang seorang fedofil atau bukan – tidak diberikan jawaban. Di sinilah letak kehebatan film ini; di mana kita dalam memberikan penilaian dan keputusan moral seringkali dihinggapi keraguan.

 

II    DOUBT dan Persoalan Moral

2.1. Keraguan

Hati nurani adalah senjata yang ditanamkan Allah dalam diri manusia. hati nurani, tempat Allah bersemayam, diperuntukkan sebagai kompas yang menuntun tingkah laku manusia; dan dapat pula sebagai barometer untuk menindak sebuah objek perbuatan susila. Untuk yang terakhir disebutkan, hati nurani mengerakkan seseorang untuk mengambil jarak terhadap penilaian moral ketika seseorang dihadapkan pada pilihan untuk bertindak atau tidak. Pada saat seperti inilah hati nurani bisa menjadi ragu-ragu. Jika seseorang dihadapkan pada suara hati yang bimbang atau ragu-ragu, seseorang tidak boleh bertindak. Sebab melakukan tindakan tertentu dengan hati nurani yang ragu-ragu, berresiko untuk masuk ke dalam dosa dan ketidak-adilan.[1]

Dalam film DOUBT, persoalan hati nurani yang ragu-ragu Suster Aloysius sangat menarik untuk dicemati. Suster Aloysius sebenarnya ragu untuk menilai benarkah Bapa Flynn sungguh  seorang fedofil sebagaimana ia akui sendiri? Keraguan Suster Aloysius ini juga dirasakan oleh Suster James yang turut mencurigai Bapa Flynn. Kecurigaan Suster James muncul kembali karena ia melihat kesungguhan tekad Suster Aloysius untuk membongkar kedok Bapak Flynn.  Padahal, setelah ia mendengarkan alasan mengapa Bapa Flynn memanggil Donald kecurigaan itu perlahan-lahan mulai meninggalkannya. Keraguan kedua dilanda hati nurani yang ragu-ragu.  

Dalam perspektif moral, seharusnya baik Suster James dan Suster Aloysius menunda untuk membuat keputusan sampai mereka memperoleh kepastian atau kebenaran mengenai apakah Bapak Flynn memang seorang fedofil. Apabila keraguan itu terus melanda tanpa ada kepastian yang jelas, maka keduanya dapat menerapkan prinsip apa yang disebut prinsip refleks, yakni presumsi berpihak kepada terdakwa; suatu kejahatan tidak boleh diandaikan, melainkan harus dibuktikan; bukti yang menguntungkan harus ditafsir secara longgar, sedangkan bukti yang memberatkan harus ditafsir secara sempit.[2]

Pada titik ini, sampailah kita pada kesimpulan bahwa Suster James melupakan kaidah penilaian moral ini, terutama Suster Aloysius yang tidak henti-hentinya menyudutkan Bapak Flynn sampai-sampai berniat mengusir Bapak Flynn dari Paroki Santo Nicholas, meskipun hanya berbekal bukti yang didasarkan pada asumsi belaka.

2.2. Kecurigaan

Kecurigaan tanpa alasan adalah kecenderungan untuk berpikir buruk mengenai sesama tanpa alasan.[3] Sikap seperti ini bertedensi untuk mengedepankan prasangka-prasangka negatif dan mengabaikan pencarian kesahihan bukti di lapangan. Karena itu, sikap ini secara moral tidak dapat dibenarkan. Alasannya adalah sikap ini tidak didasarkan pada keyakinan pasti, tetapi lebih pada tuduhan negatif yang tak beralasan; dapat pula didasarkan pada perkiraan buruk mengenai sesama. Ini sangat merugikan kehormatan personal dan sosial seseorang.    

Dalam film DOUBT, sikap curiga mengejewantah dalam diri Suster Aloysius dan Suster James. Selain Kecurigaan buta Suster James terhadap Bapa Flynn menggerakkan dia untuk melaporkan kecurigaan yang ada dalam benak kesadarannya itu kepada Suster Aloysius. Menurut hemat penulis, tindakan Suster James memberitahukan kecurigaannya kepada Suster James hanya untuk mencari dukungan. Tindakan semacam ini malah membesar-besarkan sesuatu yang tidak pasti. Ketika hal-hal negatif diperbincangkan cendrung ada upaya untuk meluaskan domain hal itu. Ada juga kecurigaan buta Suster Aloysius muncul dari proses kepindahan Bapa Flynn yang tidak lazim, tindakan Bapa Flynn menarik paksa tangan William London, informasi dari Suster James, pembicaraan dengan ibu Donald dan penafsiran atas raut muka Bapa Flynn. Kecurigaan Suster Aloysius ini membuatnya merasa tak wajib untuk memperoleh  bukti yang pasti. Suster Aloysius mendasarkan buktinya hanya pada keyakinan yang dipegangnya untuk memastikan bahwa Bapa Flynn adalah seorang fedofil. Suster Aloysius rupanya lupa bahwa kebenaran tidak diperoleh hanya dengan mendasarkan diri pada rentetan pengamatan yang perifial. Padahal sesuatu itu baru dikatakan kebenaran bila diteguhkan dengan penemuan bukti yang tak terelakkan. Pada poin inilah Suster Aloysius melakukan kesalahan. Bukti yang dipegannya hanya diasalkan dari asumsi. Padahal, asumsi tidak dapat digunakan untuk memperoleh validitas kebenaran.

2.3. Dusta

Dalam tradisi moral Katolik, terutama hukum dekalog VIII melarang seseorang untuk mengucapkan saksi dusta tentang sesamanya. hal ini dilarang untuk melindungi hidup bersama: lebih dari itu: dusta memasung persoalan kebenaran karena ia bertentangan dengan keyakinan batin dan pengetahuan seseorang.[4] Di film DOUBT, tindakan dusta jelas terlihat dalam diri Suster Aloysius. Suster Aloysius rela berdusta demi membongkar kedok Bapa Flynn. Suster Aloysius dengan sikap yakin mengatakan kepada Bapa Flynn bahwa ia telah menanyakan kehidupan masa lalu Bapa Flynn kepada salah satu suster di paroki yang pernah dipimpinnya. Suster Aloysius melakukan tindakan menyembunyikan fakta kebenaran. Fakta kebenaran itu adalah bahwa ia sebenarnya tidak tahu-menahu tentang kehidupan masa lalu Bapa Flynn. Apa yang dikatakannya itu adalah sebuah kebohongan saja. Ini diakuinya secara jujur kepada Suster James, bahwa ia sama sekali tidak pernah menghubungi biarawati itu. Itu diperbuatnya untuk menekan Bapa Flynn – yang dimaksudkan agar Bapa Flynn mengakui perbuatannya. Memang, Suster Aloysius sebetulnya bermaksud baik, yakni bertujuan menggali kebenaran pada diri Bapa Flynn, tetapi cara yang dipakainya secara moral salah. Tindakan Suster Aloysius ini melawan apa yang dipikirkannya. Kata-kata dusta itu hanya mendatangkan penyesatan – apa yang dikatakan tidak sama dengan fakta sebenarnya. Di sini, Suster Aloysius bertindak tidak setia kepada Tuhan, kepada sesama dan kepada diri sendiri. 

Pada sisi lain, Suster Aloysius tidak hanya bersaksi dusta dengan kata-kata, tetapi juga menyangkut sikap melawan sesama, bersifat asosial dan dapat menghancurkan sesma.[5] Suster Aloysius melancarkan perlawanan terhadap Bapa Flynn dengan gigih. Suster Aloysius tidan berhenti menekan Bapa Flynn. Suster Aloysius terus-menerus mencari bukti untuk menyingkirkan Bapa Flynn. Suster Aloysius sampai-sampai menemui Nyonya Miller, ibu Donald, untuk mencari bukti yang semakin meneguhkan keyakinannya. Sampai pada akhirnya Suster Aloysius berhasil mengusir Bapa Flynn dari paroki Santo Nicholas. Dari yang disebutkan terakhir ini, jelas nampak bahwa Suster Aloysius berdusta lewat sikap melawan Bapa Flynn. Suatu tindakan bersifat asosial. Sebab Suster Aloysius tidak segan-segan menggunakan cara yang kasar, yakni dengan mengusir. Tindakan seperti ini dalam arti tertentu menghancurkan kiprah hidup sosial Bapa Flynn bila kecurigaan tanpa alasan dari Suster Aloysius menyebar di masyarakat luas. 

2.4. Pencemaran nama baik

Nama baik adalah harta sosial, dan karenanya nama baik tidak boleh dicemarkan.[6] Pencemaran nama baik membawa kerugian pribadi dari orang yang bersangkutan. Kerugian itu berkaitan dengan ke-tidak-bisa-an menjalankan tugas publik dan menjalin hubungan sosial secara leluasa. Maka dari itu, jika nama baik seseorang dicemarkan, maka sudah barang tentu keleluasaan seseorang dalam hidup sosialnya diluluhlantakkan. Sebab, penghormatan terhadap dia sudah tidak ada. Tiadanya kehormatan pada diri seseorang berarti juga kehilangan sesuatu yang urgen; yakni martabat: hal yang menjadikan seseorang dipandang sebagai pribadi yang luhur dan mulia. Maka tidaklah mengherankan kalau kehormatan memegang peranan penting eksistensi person di dunia ini.

Adapun hal ini yang nampaknya ingin dikerjakan oleh Suster Aloysius pada Bapa Flynn dalam film DOUBT. Hanya berbekal keyakinan yang ia gengam, Suster Aloysius pun mulai melakukan aksi untuk menghancurkan reputasi atau nama baik Bapa Flynn. Jika keyakinannya itu terbukti benar, maka secara otomatis Bapa Flynn akan teralienasi dari kehidupan sosial. keteralienasian itu menjadikan Bapa Flynn tidak mampu menjalankan tugas publiknya sebagai seorang imam, dan dengan demikian ia tidak dapat dengan leluasa menjalin relasi sosial dengan bebas. Bapa Flynn akan mendapat cap dari khalayak ramai sebagai penjahat. Hal ini, dalam segi tertentu, membunuh kehidupan sosial Bapa Flynn.

 Memang, kita tidak tahu apakah Bapa Flynn melakukan hal yang dituduhkan oleh Suster Aloysius; sementara itu apakah kepergian Bapa Flynn dari Paroki Santo Nicholas memunculkan stigma buruk baginya di kalangan umat setempat. Bila kita lihat dari usaha yang dikerjakan suster Aloysius untuk menjatuhkan reputasi Bapa Flynn membuahkan keberhasilan. Keberhasilan itu ada pada poin umat pasti sikap bertanya-tanya, “Apa sebabnya Bapa Flynn pendah begitu cepat?” Seandainya pertanyaan ini dibiarkan terus-menerus tanpa ada jawaban yang pasti – dan dengan demikian kita bisa bayangkan yang terjadi adalah gosip. Dalam gosip, perkara kebenaran selalu bersifat kelam – tidak jarang menghasilkan justifikasi yang keliru dan generalisasi kesalahan.

Tindakan Suster James juga merupakan bentuk partisipasi dalam pencemaran nama baik. Suster James dikatakan turut berpartisipasi karena ia mengambil bagian dalam pembicaraan dengan Suster Aloysius untuk menjatuhkan reputasi Bapa Flynn. Keterlibatan itu tampak dari laporan yang diutarakannya kepada Suster Aloysius. Laporan yang disampaikannya itu merupakan rupa pembicaraan yang buruk terhadap Bapa Flynn karena hanya didasarkan pada presumsi negatif belaka. Akibatnya, Bapa Flynn semakin dicurigai di satu pihak, dan meyakinkan Suster Aloysius di pihak lain. Oleh karena itu, baik tindakan Suster James maupun Suster Aloysius terkategorikan pelanggaran terhadap kebenaran karena mengatakan sesuatu yang belum pasti tentang Bapa Flynn; pelanggaran terhadap keadilan karena mengabaikan hak Bapa Flynn atas nama baik; dan pelanggaran terhadap cinta kasih karena mendatangkan kerugian bagi kehormatan Bapa Flynn.  

III    Doubt dan Relevansinya

 Dalam film DOUBT, cinta akan kebenaran ditampilkan sebagai sesuatu yang dibunuh keberadaannya; di mana terjadi ketidak-sesuain antara apa yang ada dalam pikiran dan perkataan yang diucapkan. Padahal cinta akan kebenaran adalah keterarahan budi dalam mengakui kebenaran sebagai sebuah nilai yang senantiasa menjadi titik pusat perhatian.[7] Matinya cinta akan kebenaran berarti bukan hanya melemahnya nilai-nilai kehidupan masyarakat, melainkan juga kehilangan syarat elementer untuk hidup manusia.Mengapa bisa demikian? Sebab matinya kebenaran mengisyaratkan ketidak-adaan nilai idiil atau prinsip yang bisa menjadi tuntunan dan sandaran kepercayaan. Akibatnya, kehidupan manusia dan sosial kehilangan syarat elementernya; sehingga hidup lantas disesakkan oleh wajah-wajah tak berbelas kasih dan tak punya hati. Simaklah betapa keadilan negeri ini hanya diuntukkan bagi mereka yang beruang. Di mana, hukum menjadi milik tidak semua warga masyarakat. Buktinya, penjahat-penjahat berpangkat dan berdasi dibiarkan lolos lantaran sogokan uang – dan kalau pun dipenjarakan mereka masih bisa jalan-jalan ke luar negeri seperti dikatakan dalam syair lagu “Andaiku Menjadi Gayus Tambunan”; dan sebaliknya, hukum menjadi kejam terhadap masyarakat akar rumput yang tidak memiliki apa-apa.

Jika manusia sadar bahwa kebenaran adalah nilai tertinggi, maka ia harus terdesak untuk mewujudkan cinta akan kebenaran itu dalam sikapnya. Maka darinya, kebenaran itu akan dicari, dipertahankan, diperdalam dan disebarkan. Senada dengan ini Konsili Vatikan II melihat bahwa setiap orang memiliki kewajiban untuk mencari dan menerima kebenaran sebagai sebuah kewajiban yang utama.[8] Berkenaan dengan hal ini, cinta akan kebenaran mutlak harus diupayakan di satu sisi, dan diteriakkan dengan lantang untuk memerangi aneka ketidakadilan di sisi lain.

 


BAHAN ACUAN

  

Go, Piet, Moral Konkret 2: Kehormatan-Kebenaran-Kesetiaan, diktat, Malang: STFT Widya Sasana, 1980.

Peskche, Karl-Heins, Etika Kristiani Jilid I: Pendasaran Teologi Moral, (terj. Alex Armanjaya, dkk), Maumere: Penerbit Ledalero, 2003. 

--------, Etika Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, (terj. Alex Armanjaya, dkk.), Maumere: Penerbit Ledalero, 2003.








[1] Karl-Heins Peskche, Etika Kristiani Jilid I: Pendasaran Teologi Moral, (terj. Alex Armanjaya, dkk), Maumere: Penerbit Ledalero, 2003. Hlm., 214.

[2] Bdk. Ibid., hlm 217.

[3] Piet Go, Moral Konkret 2: Kehormatan-Kebenaran-Kesetiaan, diktat, Malang: STFT Widya Sasana, 1980, hlm., 22.

[4] Karl-Heins Peskche, Op. cit., hlm., 200.

[5] Piet Go, Op. cit., hlm., 31.

[6] Karl-Heins Pesckhe, Etika Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, (terj. Alex Armanjaya, dkk.), Maumere: Penerbit Ledalero, 2003, hlm., 186.

[7] Ibid., hlm., 191.

[8] bdk. Konsili Vatikan II, Dignitatis Humane art. 2.

Selasa, 26 September 2023

 

Tokoh-Tokoh Sosiologi Indonesia dan Dunia

Oleh: Werenvridus Sadan, S.S


A.      Pengantar

Sosiologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari hubungan manusia dengan yang lainnya. Hubungan itu dapat bersipat individu maupun kelompok-kelompok. Dalam hal ini hubungan antar kelompok dengan kelompok lainnya yang ada dalam masyarakat. Sosilogi sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu perlu di dalami dan dipelajari. Sebagai sebuah disiplin ilmu oleh sebab itu dapat dipelajari, ditelaah, dikembangkan dan di-diskusikan baik dalam kelompok kelas maupun dalam sebuah forum diskusi terbuka.

Sosiologi dari sendirinya tidak lahir begitu saja. Kita sudah mengenal Auguste Comte seorang bapak pendiri sosiologi. Sejarah munculnya teori sosiologi itu sendiri tidak muncul begitu saja. Ada latar belakang yang membuat sosiologi itu hadir sebagai ilmu dan sebagai sebuah disiplin ilmu. Ada dua peristiwa besar yang turut mempengaruhi munculnya teori sosiologi yakni: Revolusi Industri dan Revolusi Perancis. Revolusi Industri terjadi di benua Eropa pada abad ke 18 yang ditandai dengan berkembangnya teknologi. Masyarakat yang semula bercocok tanam (agraris) beralih menggunakan teknologi mesin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.[1] Sedangkan Revolusi Perancis mengubah sistem pemerintahan kerajaan menjadi republik. Hal ini disebabkan Raja Louis XVI dan Ratu Marie Antoinette yang sewenang-wenang. Saat itu, masyarakat Perancis dibagi menjadi 3 golongan. Golongan 3 diwajibkan untuk membayar pajak ke negara, sedangkan golongan 1 dan 2 dibebaskan dari pungutan tersebut.

Melihat kedua hal diatas maka muncullah apa itu yang kita kenal dengan istilah sosiologi. Sosiologi dicetus oleh Auguste Comte. Revolusi industri dan revolusi Perancis membuat semacam mallum dalam dunia saat itu terutama di Benua Eropa. Maka muncul masalah-masalah sosial seperti pengangguran dan kerusuhan. Lalu, tokoh yang bernama August Comte berpikir bahwa diperlukan ilmu untuk mempelajari perubahan sosial, masalah sosial yang timbul, serta penyelesaiannya.

Adapun ciri-ciri dari sosiologi adalah sebagai berikut: Empiris, Teoritis, Kumulatif, dan Non-Etis.[2] Sosiolgi memiliki ciri empiris artinya ilmu yang diperoleh berdasarkan observasi, sesuai akal sehat, semua fakta, serta tidak menghasilkan sesuatu yang bersifat spekulatif. Memiliki ciri teoritis artinya sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang selalu berusaha menyusun kesimpulanatau abstraksi dari hasil observasi. Abstraksi atau kesimpulan ini digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat sehingga menjadi sebuah teori. Sosiologi juga memiliki ciri komulatif artinya disusun atas teori-teori yang sudah ada atau memperbaiki, memperluas, serta memperkuat teori-teori terdahulu. Sedangkan ciri non-etis artinya tidak mempermasalahkan baik buruknya sesuatu, tetapi menganalisis sebab akibat dan menjelaskan secara mendalam.

B.      Tokoh-Tokoh Sosiologi Indonesia dan Dunia

Berikut akan di bahas tokoh-tokoh sosiologi yang cukup dan bahkan sangat terkenal dalam dunia sosial. Pembahasan ini hanya sekedar kulit luar saja atau pengenalan tokoh secara garis besar, apa yang ia cetus dan bagaimana teori-teorinya.

1.     Harriet Martineau

Harriet Martineau merupakan salah satu pencetus teori sosiologi yang cukup terkenal. Mengenai biografi tentang kehidupan pribadinya dikatakan demikian:

Martineau was born in 1802 in Norwich, England, where her father owned a textile manufacturing business. In poor health for much of her life, she was born hearing impaired and without her sense of smell, but was determined to complete her education and forge a career despite these challenges. She attended a school in the city of Bristol, and was drawn to Unitarianism in her teens. In the mid-1820s, her father's business failed, and she was forced to earn her own living as a result. Her hearing impairment meant that the most commonplace profession for young women of her class—teaching—was closed to her, and she turned to writing, but for many years had to support herself by taking on needlework jobs.[3]

Harriet Martineau atau yang dijuluki sebagai The Founding Mother (12 Juni 1802ー27 Juni 1876), kerap dianggap sebagai sosiolog wanita pertama di dunia. Perannya tidak kalah penting dari tokoh sosiologi lainnya. Ia menulis buku Society in America yang membahas tentang posisi perempuan di masyarakat, jauh sebelum masyarakat menggaungkan istilah feminisme. Feminisme merupakan aliran pergerakan yang memperjuangkan hak-hak wanita.

Selain itu, Harriet Martineau juga punya peran yang signifikan bagi perkembangan sosiologi. Ia menerjemahkan karya-karya Auguste Comte dari bahasa Perancis ke dalam Bahasa Inggris. Peranan Harriet membantu dalam mempelajari sosiologi terutama mereka yang bergelut dalam ilmu sosiologi atau yang sekedar ingin memperdalam ilmu sosiologi.

2.     Pitirim Alexandrovich Sorokin

Pitirim Alexandrovich Sorokin atau yang lebih dikenal dengan nama Pitirim Sorokin  adalah salah satu pakar sosiologi atau ahli dalam dunia sosiologi. Dia adalah seorang sosiolog yang lahir di Republik Komi dari Rusia. Seorang akademisi dan aktivis politik, ia beremigrasi dari Uni Soviet ke Amerika Serikat pada tahun 1923.[4]

Menurut Pitirim Sorokinsosiologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang Pertama, hubungan dan pengaruh timbal balik antar aneka macam gejala-gejala sosial. Kedua, hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala-gejala sosial dan non sosial. Ketiga, ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.

3.     W.E.B. Du Bois

Penulis The Souls of Black Folk ini memiliki nama lengkap William Edward Burghardt Du Bois (23 Februari 1868ー27 Agustus 1963). Ia merupakan African-American pertama yang mendapatkan gelar Ph.D. Latar belakang masyarakat African-American itu sarat dengan slavery atau perbudakan dan rasisme. W.E.B. Du Bois bisa mendapatkan gelar Ph.D pada masa itu.[5]

Kaitannya dengan ilmu sosiologi, ia membahas tentang relasi antar ras di Amerika Serikat. Isu-isu relasi antar ras itu menjadi support bagi teori sosiologi. Meskipun topik bahasannya pada lingkup Amerika Serikat, namun pemikirannya sangat terpakai di berbagai daerah lain, khususnya tentang rasisme.

Satu tahun setelah ia meninggal, pemerintah Amerika Serikat mengesahkan The United States Civil Rights Act. Di dalamnya merupakan hal-hal yang diperjuangkan oleh Du Bois semasa hidupnya. Dengan adanya pengesahan tersebut, relasi antara kulit hitam dan putih mengalami perubahan yang signifikan di Amerika Serikat.

4.     Koentjaraningrat

Koentjaraningrat merupakan salah satu tokoh terkenal dalam teori sosiologi terutama di Indonesia. Dia mengatakan sosiologi adalah suatu proses yaitu proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial.[6] Koentjaraningrat mengatakan sosiologi adalah suatu proses yaitu proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial.[7]

Mengenai autobiografinya dapat dilihat sebagai berikut:

Ayahnya R.M.Ng. Emmawan Brotokoesomo, adalah seorang pamong praja di lingkungan Pakualaman. Ibunya, R.A. Pratisi Tirtotenojo, sering diundang sebagai penerjemah bahasa Belanda oleh keluarga Paku Alam. Walaupun anak tunggal, didikan ala Belanda yang diterapkan ibunya membuatnya menjadi pribadi yang disiplin dan mandiri sejak kecil. Karena anak seorang bangsawan, pada saat usianya 8 tahun ia boleh bersekolah di Europeesche Lagere School (setingkat sekolah dasar yang sebetulnya hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda). Pada masa-masa itu, ia sering menghabiskan waktunya untuk bermain di lingkungan keraton. Kedekatannya dengan lingkup keraton yang kental dengan seni dan kebudayaan Jawa itu, sedikit banyak mempengaruhi pembentukan kepribadiannya sebagai seorang antropolog di kemudian hari.

Setelah lulus dari Europeesche School, pada tahun 1939 ia melanjutkan sekolah ke MULO, lantas ke AMS-A (1942). Saat bersekolah di AMS-A (sekarang SMA Negeri 1 Yogyakarta) ia mulai mempelajari seni tari di Tejakusuman. Selain itu, bersama dua sahabatnya, Koesnadi (fotografer) dan Rosihan Anwar (tokoh pers), Koentjaraningrat rajin menyambangi rumah seorang dokter keturunan Tionghoa untuk membaca; diantaranya adalah disertasi-disertasi tentang antropologi milik para pakar kenamaan.

Setelah lulus dari AMS, ia melanjutkan ke Universitas Gadjah Mada dan mengambil jurusan sastra Indonesia. Namun, baru satu tahun kuliah, terjadi Revolusi Kemerdekaan. Ia kemudian menggabungkan diri dalam Korps Mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan ditugaskan menjadi pengajar bahasa Inggris dan sejarah bagi para prajurit Brigade 29, Kediri. Dipilihnya Koentjaraningrat sebagai pengajar para prajurit karena sewaktu kuliah di Gadjah Mada, ia juga mengajar di perguruan Taman Siswa (1946-1950).

Saat terjadi Perjanjian Renville pada tahun 1948, ia kembali lagi kuliah di Universitas Gadjah Mada. Kembalinya ke kampus UGM merupakan suatu keuntungan, sebab pada tahun itu terjadi peristiwa pemberontakan PKI di Madiun. Brigade 29 yang waktu itu memihak komunis, berhasil dihancurkan oleh pasukan Siliwangi. Pada tahun 1950, Koentjaraningrat berhasil merampungkan kuliahnya dan mendapat gelar sarjana muda Sastra Indonesia di Universitas Gadjah Mada.

Koentjaraningrat tertarik pada bidang antropologi sejak menjadi asisten Prof. G.J. Heldguru besar antropologi di Universitas Indonesia, yang mengadakan penelitian lapangan di Sumbawa. Sarjana Sastra Bahasa Indonesia dari Universitas Indonesia 1952, ini meraih gelar M.A. bidang Antropologi dari Yale UniversityAS, 1956 dan doktor antropologi dari Universitas Indonesia, 1958.

Pak Koen, demikian ia disapa, merintis berdirinya sebelas jurusan antropologi di berbagai universitas di Indonesia. Ilmuwan yang mahir berbahasa Belanda dan Inggris ini juga tekun menulis. Beberapa karya tulisnya telah menjadi rujukan bagi dosen dan mahasiswa di Indonesia. Ia banyak menulis mengenai perkembangan antropologi Indonesia. Sejak tahun 1957 hingga 1999, ia telah menghasilkan puluhan buku serta ratusan artikel.

Melalui tulisannya, ia mengajarkan pentingnya mengenal masyarakat dan budaya bangsa sendiri. Buah-buah pikirannya yang terangkum dalam buku kerap dijadikan acuan penelitian mengenai kondisi sosial, budaya, dan masyarakat Indonesia, baik oleh para ilmuwan Indonesia maupun asing.

Salah satu bukunya yang menjadi pusat pembelajaran para mahasiswanya adalah Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia, yang diterbitkan pada tahun 1963. Dalam buku itu, diceritakan kegiatan Prof Dr Koentjaraningrat dalam menimba ilmu. Juga di dalamnya, dia menjadi tokoh pusat dalam perkembangan antropologi.

Berbagai penghargaan telah dianugerahkan padanya atas pengabdiannya dalam pengembangan ilmu antropologi. Di antaranya, penghargaan ilmiah gelar doctor honoris causa dari Universitas Utrecht1976 dan Fukuoka Asian Cultural Price pada tahun 1995. Mendapat penghargaan Satyalancana Dwidya Sistha dari Menhankam RI (1968 dan 1981). Pak Koent juga menerima gelar kebangsawanan Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) dari Sri Paduka Pakualam VIII pada 1990 di Kadipaten PakualamanDaerah Istimewa Yogyakarta.[8]

Jauh dari pada itu, Koentjaraningrat lebih dikenal sebagai tokoh antropologi Indonesia.[9] Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.[10] Namun pemikiran-pemikirannya dapat dikaitkan dengan perkembangan sosiologi Indonesia. Sebagai seorang antropolog, ia memberi kita wawasan mengani bagaimana orang mengenal budaya orang lain yang berbeda dengan diri kita. Sebagai seorang antropolog Indonesia beliau banyak menghasilkan karya antara lain: Pengantar Antropologi (1959), Sejarah Teori Antropologi (1987), Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (1990), Anthropology In Indonesia (1975), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1971), Beberapa Pokok Antropologi Sosial (1967), Dll.

5.     Budiono Kusumohamidjojo

Budiono Kusumohamidjojo lebih dikenal dengan antropolog Indonesia. Gagasan pemikirannya banyak mengenai kehidupan budaya Indonesia. Salah satu karya terkenalnya ialah: Filsafat Kebudayaan, Proses Realisasi Manusia. Secara eksplisit buku tersebut menjelaskan sosiologi dalam kebudayaan masyarakat Indonesia. Kebudayaan merupakan realisasi diri manusia. Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.  Gambaran tentang kebudayaan seperti ini mau mengatakan bahwa hampir keseluruhan hidup manusia itu adalah “budaya”. Kebudayaan tidak hanya dipersempit pada pengertian tentang segala hasil karya dan tindakan manusia. Kebudayaan itu, baik dalam wujud konkret maupun abstrak, merupakan suatu wujud dari realisasi diri manusia yang dinyatakan dalam kebersamaan dengan orang lain. Filsafat Kebudayaan; Proses Realisasi Manusia karya Budiono Kusumohamidjojo[11] ini ingin menegaskan bahwa Filsafat Kebudayaan adalah kritik kebudayaan. Buku ini mencoba berkelindan di antara kedua kutub ekstrim dilematis di atas sambil cenderung berat pada keinginan memetakan substansi yang bernama kebudayaan dalam konstelasi dunia-manusia mutakhir. Dalam buku ini, penulis memetakan awal permasalahan mendasar kebudayaan dalam refleksi filosofis secara sistematik dan komprehensif. Pelbagai ilustrasi konkrit membuat konteks pembicaraan terasa aktual. Alur penjelasannya yang bernas-tangkas memudahkan pembaca mencerna semua konsep yang ditawarkan, selain juga mengasyikkan.

Paradoks kebudayaan adalah bahwa kebudayaan merupakan entitas yang teramat konkrit namun sekaligus demikian abstrak. Ia konkrit karena sesungguhnya menyangkut apa pun yang nyaris ada dalam dunia-manusia.[12] Demikian abstrak karena segala bentuk pewacanaan tentangnya telah berkembang menjadi begitu rumit, skeptis, dan penuh kontroversi. Siapa pun yang mengikuti perkembangan wacana kebudayaan akan melihat kesenjangan yang kian menganga antara realitas budaya yang konkrit itu dengan kekisruhan pada wilayah pewacanaannya. Kesenjangan ini kemudian memunculkan pelbagai klaim tentang kebudayaan yang berpretensi substantif-obyektif atau bersifat empiris-positivistik (Biologi, Sosiologi, Antropologi, dan sebagainya) yang kini terasa sebagai semacam realisme-naif.

Demikian sebuah pembahasan kecil mengenai tokoh sosiologi dan bagaimana pemikiran mereka yang berguna untuk kemajuan sosiologi Indonesia dan dunia.

 


SUMBER ACUAN

 

Buku:

Koentjaraningrat, Prof, Dr.  Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1974.

---------------------. Pengantar Ilmu Antropologi, (Edisi Revisi), Jakarta: Rineka Cipta,2009.

Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Kebudayaan: Proses Realisasi Manusia, Jokjakarta: Jalasutra, 2009.

Soekamto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 1990.

 

Internet:

https://mualangmenawai.blogspot.com/2015/10/dayak-iban-dan-kebudayaannya-sebuah.html

https://www.belbuk.com/filsafat-kebudayaan-proses-realisasi-manusia/produk/8392

https://id.wikipedia.org/wiki/Koentjaraningrat.

https://id.wikipedia.org/wiki/Pitirim_Sorokin.

https://www.zenius.net/blog/tokoh-sosiologi-dan-teorinya.

https://www.brainacademy.id/blog/apa-itu-ilmu-sosiologi



[1] https://www.brainacademy.id/blog/apa-itu-ilmu-sosiologi (diakses pada Minggu 24 Sepptember 2023, Pkl 21.00)

[2] Bdk, Soerjono Soekamto , Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 1990, hlm. 29.

[3] https://www.encyclopedia.com/humanities/applied-and-social-sciences-magazines/society-america-martineau-harriet (diakses pada Minggu 24 Sepptember 2023, Pkl 21.19).

[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Pitirim_Sorokin (diakses pada Minggu 24 Sepptember 2023, Pkl 22.06).

[5] https://www.zenius.net/blog/tokoh-sosiologi-dan-teorinya (diakses pada Minggu 24 Sepptember 2023, Pkl 22.15).

[6] Bdk, Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia. 1974, hlm. 12.

[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Koentjaraningrat. (diakses pada hari Minggu tanggal 24 September 2023, Pkl 22.26).

[8] https://id.wikipedia.org/wiki/Koentjaraningrat . (diakses pada hari Minggu tanggal 24 September 2023, Pkl 22.26).

[9] Bdk, Prof. Dr. Koentjaraningrat,  Pengantar Ilmu Antropologi, (edisi revisi), Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm. 150.

[10] Bandingkan: https://mualangmenawai.blogspot.com/2015/10/dayak-iban-dan-kebudayaannya-sebuah.html (diakses pada hari Minggu 25 September 2023, Pkl 23.43).

[11] Bdk, Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan Proses Realisasi Manusia, Jogjakarta: Jalasutra, 2009, hlm. 46.

[12] Bandingkan https://www.belbuk.com/filsafat-kebudayaan-proses-realisasi-manusia/produk/8392 (diakses Minggu 25 September 2023, Pkl 23.12).

  Pembuktian Kebenaran dan Pengandaian Kesalahan (Resensi dan Kajian Moral atas Film DOUBT)   (Oleh: Werenvridus Sadan, dkk)     I  ...