Dialog Sebagai Jembatan Rekonsiliasi Antaragama
(Suatu
Telaah atas Pemikiran H. G. Gadamer)
I. Pendahuluan
Pada dasarnya semua agama menuju pada satu
kebenaran, yakni Allah. Mungkin kita pernah mendengar dan mengingat adagium
klasik yang berbunyi: “banyak jalan menuju Roma”. Hal ini mau mengartikan bahwa
semua agama menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda.
Fokus persoalan runyam sekarang ini adalah
wajah agama-agama di Indonesia yang tercoreng oleh sikap sebagian pemeluknya
yang fanatik dan arogansi dengan keyakinannya. Sehingga, menutup diri terhadap
eksistensi iman dari pemeluk agama lain. Sikap ini akan menabur benih konflik,
dan akhirnya akan menuai permusuhan yang berkepanjangan. Karena persoalan yang
sebetulnya masalah personal, antara manusia dengan Sang Penciptanya,
diperdebatkan dalam forum dan dalam realitas keseharian. Lahirnya sikap fanatik
dan eksklusif ini, berawal dari pemahaman para pemeluk agama yang kaku dan sempit
terhadap sumber-sumber ajarannya.
Pada bagian awal paper ini akan dituliskan riwayat hidup
dan karya Gadamer dalam dunia filsafat. Kemudian, kita akan masuk pada realitas
persoalan pluralitas agama yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Melalui kenyataan ini, penulis berusaha untuk menawarkan solusi pemikiran Filsafat
Hermeneutik Hans-Georg Gadamer, yang mencoba mengungkapkan hakikat pemahaman
manusia terhadap ajaran agamanya. Dengan kata Gadamer, kita menunda prasangka-prasangka
dan menyampingkan sebentar titik tolak dan keyakinan-keyakinan kita untuk
memandang dunia dari pandangan orang lain. [1] Lebih
sederhananya, Gadamer menawarkan pola dialog demi terciptanya rekonsiliasi
antaragama (agama maksudnya ialah para pemeluk agama/subyeknya).
II. Riwayat
hidup dan Karya Gadamer[2]
Gadamer dilahirkan di Marburg, Jerman, sebagai anak seorang kimiawan farmasi yang
belakangan juga menjadi rektor universitas di sana.
Gadamer melawan desakan ayahnya agar mempelajari ilmu-ilmu alam
dan makin lama makin tertarik akan humaniora. Ia bertumbuh
dan belajar di Breslau
di bawah Hönigswald,
namun tak lama kemudian kembali ke Marburg untuk belajar dengan para filsuf Neo-Kantian
Paul Natorp
dan Nicolai Hartmann.
Ia mempertahankan disertasinya
pada 1922.
Tak lama kemudian, Gadamer
mengunjungi Freiburg
dan mulai belajar dengan Martin Heidegger,
yang saat itu merupakan seorang sarjana muda yang menjanjikan namun belum
memperoleh gelar profesor. Ia kemudian menjadi salah satu dari kelompok
mahasiswa seperti Leo Strauss,
Karl Löwith,
dan Hannah Arendt.
Ia dan Heidegger menjadi akrab, dan ketika Heidegger mendapatkan posisi di Marburg, Gadamer
mengikutinya di sana.
Gadamer menyusun habilitasinya
pada 1929 dan menghabiskan masa-masa awal 1930-an untuk memberikan kuliah di
Marburg. Berbeda dengan Heidegger, Gadamer sangat anti-Nazi, meskipun ia tidak
aktif secara politik pada masa Reich Ketiga. Pada saat
itulah ia menyelesaikan adi karyanya Truth and Method
("Kebenaran dan Metode") (1960) dan terlibat dalam perdebatannya yang
terkenal dengan Jürgen Habermas
mengenai kemungkinan dalam mentransendensikan sejarah dan kebudayaan guna
menemukan posisi yang benar-benar obyektif yang daripadanya orang dapat
mengkritik masyarakat. Perdebatan ini tidak menemukan kesimpulannya, tetapi
merupakan awal dari hubungan yang hangat antara kedua orang ini. Gadamerlah yang
pertama-tama membuka jalan bagi Habermas untuk mendapatkan gelar profesornya di
Heidelberg. Upaya yang
lain untuk melibatkan Jacques Derrida
ternyata kurang memberikan hasil karena kedua pemikir tidak banyak memiliki
kesamaan.
Proyek filsafat Gadamer,
seperti dijelaskan dalam Truth and Method,
adalah menguraikan konsep "hermeneutika filosofis",
yang dimulai oleh Heidegger namun tak pernah dibahasnya secara panjang lebar. Tujuan Gadamer adalah mengungkapkan
hakikat pemahaman manusia. Dalam bukunya Gadamer berargumen bahwa
"kebenaran" dan "metode" saling bertentangan. Ia bersikap
kritis terhadap kedua pendekatan terhadap humaniora (Geisteswissenschaften).
Di satu pihak, ia kritis terhadap pendekatan-pendekatan modern terhadap
humaniora yang mengikuti model ilmu-ilmu alam (dan dengan demikian menggunakan
metode-metode ilmiah yang ketat). Di pihak lain, ia mempersoalkan pendekatan
tradisional dalam humaniora, yang muncul dari Wilhelm Dilthey, yang
percaya bahwa penafsiran yang tepat tentang teks berarti mengungkapkan niat
asli si pengarang yang menuliskannya.
III. Potret Pluralitas Agama di Indonesia
Pluralisme
keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dunia dewasa
ini, meskipun dalam arti tertentu pluralisme keagamaan selalu ada bersama kita.[3]
Pluralisme agama sebagai peluang tantangan Islam dan Kristen di Indonesia
mempunyai sejarah pertengkaran yang panjang. Bahkan suasana pertengkaran ini
sudah muncul sebelum keduanya masuk Indonesia. Sampai kini gema atau sisa-sisa
ketegangan itu masih terus dirasakan. Di sana- sini muncul ketegangan serta
kecurigaan di antara keduanya.[4]
Ketegangan antarpemeluk agama
dalam silang pendapat masalah iman, sering melahirkan konflik dan berakhir
dengan tindak kekerasan. Banyak peristiwa-peristiwa tragis dan berdarah, yang
menelan korban begitu banyak, karena tindak kekerasan atas nama cinta akan agamanya. Cinta yang dangkal terhadap agamanya inilah
yang biasa disebut sebagai sikap eksklusif dan fanatik. Bertumbuh suburnya
sikap eksklusif dan fanatik ini, disebabkan para pemeluk agama yang begitu kaku
dan tekstual dalam menafsir dan memahami sumber-sumber ajaranya.
Konflik
dan kerusuhan atas nama agama ini, banyak terjadi di belahan bumi pertiwi
Indonesia ini. Misalnya;
kerusuhan Poso di Sulawesi, pembakaran gereja-gereja dan tragedi malam natal di
Jawa, kerusuhan Maluku, pencemaran hosti yang sering terjadi di Flores dan
masih banyak konflik lain yang terjadi di wilayah Nusantara ini.[5]
Konflik horizontal antaragama ini
berlangsung begitu dramatis dan meninggalkan trauma yang mendalam bagi para
pemeluk agamanya.
IV. Hermeneutis
dan Disiplin Dialog Gadamer
4.1. Teori Hermeneutik
Landasan bagi Dialog yang Sejati
Hermeneutic, dari bahasa Yunani hermeneutikos (penafsiran).
Hermeneutika berarti ilmu dan teori tentang penafsiran yang bertujuan
menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik obyektif (arti gramatikal
kata-kata dan variasi-variasi historisnya), maupun subyektif (maksud
pengarang).[6] Prinsip hermeneutika Gadamer ini memberikan
banyak kontribusi pada persoalan-persoalan agama, khususnya dalam dialog
antaragama. Berdasarkan pemahaman dan penafsiran yang benar terhadap teks-teks
ajaran agama, sangat diharapkan nantinya para pemeluk agama dapat berdialog
dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar. “Bahasa memiliki sesuatu yang
spekulatif-tidak hanya dalam pengertian Hegel, sebagai pra-pengembaraan
instingtif terhadap refleksi logis—namun sebagai realisasi dari makna, sebagai
peristiwa tuturan, peristiwa mediasi, dan peristiwa sampai pada sebuah
pemahaman.... Seseorang yang punya sesuatu dikatakan mencari dan menemukan
kata-kata agar dia bisa dimengerti oleh orang lain.” [7]
Sungguh
tak dapat dipungkiri lagi, bahwa untuk menghasilkan suatu dialog yang baik
dibutuhkan pula pemahaman yang baik. Oleh karena itu, konsep hermeneutika dapat
menjadi landasan yang penting, demi lahirnya pemahaman yang benar terhadap
ajaran yang berbeda–beda dari setiap agama. Gadamer melanjutkan: “Mengatakan
apa yang dimaksud....untuk membuat seseorang jadi dipahami—berarti menangkap
dan memegang apa yang dikatakan terhadapnya sekaligus apa yang tak dikatakan di
dalam suatu makna yang padu dan memastikan bahwa hanya dengan cara inilah perkataan
itu dapat dipahami.”[8]
Selanjutnya
penulis akan menjelaskan tentang batasan (definisi) dan pokok-pokok dalam
dialog. Fokus perhatian dan pembahasan kita akan mengarah pada pola-pola dialog
yang ditawarkan oleh Gadamer demi terciptanya rekonsiliasi pemahaman yang
berbeda dari setiap manusia yang beragama.
4. 2. Konsep Gadamer
tentang dialog
Bagi
Gadamer, disiplin dialog memiliki posisi menonjol dalam mencapai kebenaran. Ia
menekankan bahwa dialog merupakan kriteria kebenaran yang efektif dan
uiniversal.[9]
Dengan dialog dimungkinkan manusia dapat memperoleh pegetahuan. Dan pengetahuan
itu mengantar manusia pada pencaharian terus-menerus akan nilai kebenaran. Nilai
kebenaran yang diperoleh bersifat universal, artinya umum, tidak diperuntukkan
bagi kelompok tertentu. Dialog membuat kita mampu bersahabat dengan semua
manusia secara bebas.
Ada
dua model dialog yang ditawarkan oleh Gadamer, yaitu dialog dengan teks dan
dialog dengan manusia. Dialog dengan teks lebih merujuk pada terjemahan teks
atau bahasa dalam sebuah buku atau kitab suci. Sedangkan, dialog dengan manusia
lebih diartikan sebagai suatu percakapan. Namun, dari ke-dua model ini akan
kita dalami model dialog dengan manusia (percakapan). Dalam bukunya Truth
and Method, Gadamer memberikan definisi percakapan sebagai proses saling
memahami antara dua orang.[10] Batasan ini kesannya sangat
sederhana, namun bagaimana cara untuk sampai pada tahap saling memahami ini merupakan
pekerjaan yang rumit.
Gadamer
menekankan bahwa dialog bukan sesuatu yang kita ciptakan tetapi kita terlibat
di dalamnya, dan ini merupakan percakapan fundamental di mana tidak ada yang
memimpin atau yang dipimpin.[11] Pemimpin dan ada yang
dipimpin ini dimaksudkan sebagai tidak ada orang yang memonitor atau mengawasi
jalannya dialog, sehingga dialog itu kesannya seperti direkayasa. Setiap
manusia diberi kebebasan untuk terlibat dalam percakapan, tanpa harus takut
pada pengawasan orang lain. Karena setiap percakapan manusia itu membawa
kebenarannya sendiri.
Di
lain sisi, kita dapat mengatakan bahwa dengan melakukan dialog kita dapat
memperoleh pandangan dan pemahaman yang lebih baik. Pemahaman ini baru memiliki
dayanya, bila kita mengerti bahasa percakapan dengan baik. Dengan dialog pula,
dimaksudkan agar setiap manusia mampu keluar dari pemahamannya yang sempit,
eksklusif dan kaku terhadap suatu konsep. Dalam hal ini pemahaman manusia akan
konsep ajaran agamanya. Dengan dialog diharapkan sesama manusia mampu menerima
pandangan dan jalan pikiran dari manusia lainnya. Tetapi bukan maksud untuk
menyamaratakan heterogenitas pemahaman ke dalam satu pemahaman yang tunggal.
Jadi, tujuan percakapan bukan untuk mencari pendirian yang sama atau
mengadaptasi dua pendirian yang berbeda.[12] Namun, kebenaran yang
dicari dalam sebuah percakapan akan mendorong masing-masing partisipan
mengadopsi tindakan tertentu dari partisipan yang lain.[13] Dengan kata lain, dengan
adanya perbedaan pemahaman dan pandangan, menyebabkan kita lebih berani untuk
berkompromi, dan membangun percakapan yang sehat, demi meretas sikap mental
kita yang eksklusif dan kaku.
Percakapan juga mensyaratkan
kedua pertisipan saling membuka diri dan mengakui nilai pemikiran orang lain.[14] Ini
berarti para partisipan dituntut mau mendengar dan merespon argumen partisipan
lain dengan sikap yang arif. Bukan malah menghakimi dan mengkritik argumen
partisipan lain dengan nada yang sinis. Bila hal ini terjadi, maka benih
konflik akan muncul. Selanjutnya, Gadamer menegaskan bahwa keterbukaan adalah
penerimaan terhadap pandangan orang lain sebagai sesuatu yang layak untuk
dipertimbangkan dan melihat apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan.[15] Artinya
lebih penting isi dialog atau percakapannya, dari pada subyek yang
mengutarakannya. Konsep Gadamer ini dipengaruhi oleh karakter filsafat barat,
yang lebih melihat kata (isi) dari pada manusianya.
Keterbukaan
dalam konsep Gadamer memiliki dua arti, yakni keterbukaan untuk belajar dan
keterbukaan untuk merespon. Yang pertama menekankan bahwa seseorang ingin
mempelajari cakrawala orang lain. Ini hanya terjadi jika seseorang memandang
cakrawala orang lain bernilai. Yang kedua berarti seseorang ingin merespon
dengan bijaksana....Oleh karena itu, keterbukaan adalah ciri dari koreksi diri
terhadap pemahaman.[16]
V. Penutup
Setelah menyimak realitas pluralitas agama yang
terjadi belakangan di negara Indonesia ini. Penulis dapat menarik kesimpulan
bahwa pluralitas agama ini dapat membawa dampak positif dan negatif. Dampak
negatifnya ialah tumbuhnya sikap eksklusif dan fanatik dari para pemeluknya.
Tidak jarang karena pluralitas agama ini banyak terjadi perdebatan dan konflik.
Lebih buruknya lagi, karena pluralitas agama ini sampai berujung pada tindak
kekerasan, dengan maksud untuk memusnahkan agama tertentu. Sedangkan, dampak
positifnya ialah pelestarian keanekaragaman dan kekayaan iman, yang dipandang
sebagai keunikan bangsa Indonesia.
Konsep Gadamer tentang dialog sangat
releven bila digunakan pada realitas pluralitas agama di Indonesia. Selama ini
dialog yang dijalankan masih hanya terbatas pada pertemuan formalitas para
pemuka agama saja. Dialog masih belum menyentuh para pemeluk agama yang
eksklusif dan fanatik. Melalui gagasan Gadamer, baiklah bila komunitas
keagamaan yang ada di Indonesia menerapkan disiplin dialog yang saling
memahami. Demi terciptanya rekonsiliasi dari setiap konflik agama. Dialog antaragama
memang menjadi harga mati, yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal utama yang
harus dipegang teguh dalam dialog ialah keterbukaan diri partisipan dialog.
Keterbukaan ini melibatkan hati dan pikiran, sehingga sesama partisipan dialog
dapat saling memahami perbedaan iman akan agamanya.
Sikap dialog memang menjadi kebutuhan dasar
yang harus segara dan selalu dipenuhi oleh setiap agama. Hal ini dilakukan demi
mendesak setiap kelompok-kelompok agama untuk membangun pengertian yang benar
terhadap agama-agama lain. Dengan peran dialog yang ditawarkan oleh Gadamer
ini, diharapkan konflik pluralitas agama yang terjadi di Indonesia dapat
terselesaikan dengan baik dan aman.
Daftar
Pustaka
Buku-buku:
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2005.
Coward, Harold. Pluralisme
Tantangan Bagi Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius,
1989.
Grondin, Jean. Sejarah
Hermeneutika dari Plato sampai Gadamer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Hidayati, Mega. Jurang di antara Kita,Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Internet:
Benny, Guchek. Kekerasan dan Rekonsiliasi. (/http://my.opera.com/guchek%20 benny/blog/2008/01/06, diakses 18 September 2009).
http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer,
diakses 15 oktober 2009.
[1] Mega Hidayati, Jurang di antara Kita,Yogyakarta:
Kanisius, 2008, hlm. 9.
[3]Harold coward, Pluralisme Tantangan Bagi
Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hlm. 167.
[4]Guchek Benny, Kekerasan dan Rekonsiliasi, (/http://my.opera.com/guchek%20benny/blog/2008/01/06/,
/diakses 18 September 2009.
[5]Guchek, Loc. cit.
[6]Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 283.
[7] WM, GwI, hlm. 472-473 sebagaimana dikutip oleh Jean
Grondin, Sejarah Hermeneutika dari Plato sampai Gadamer, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2007, hlm. 268.
[9]Ambrosio, Gadamer, Plato, and the Discipline of
Dialogue, 1987. Sebagaimana dikutip oleh Mega Hidayati, Op. cit.,
hlm.52.
[10] Gadamer, Truth and Method,1975, Hidayati, Op.
cit., hlm. 54.
[12] Kisiel, “The happening of Tradition: The
hermeneutics of Gadamer and Heidegger” 1985, dikutp oleh Hidayati,
Op.cit., hlm. 56.
[13]Misgeld, On Gadamer’s Hermeneutics, 1985, Ibid.
[14]Hidayati, Op. cit., hlm. 60.