MEMBANGUN
DAN MENGEMBANGKAN
PERSEKUTUAN UMAT BASIS
(KOINONIA)
oleh: Werenvridus Sadan, S.S
oleh: Werenvridus Sadan, S.S
1. Pengantar
Pemahaman kita mengenai Komunitas Umat Basis adalah suatu pesekutuan umat yang relatif kecil, saling mengenal,
tinggal berdekatan atau memiliki kepentingan bersama, yang secara berkala
mengadakan pertemuan. Mereka berdoa,
membaca dan mengadakan sharing Kitab Suci. Dengan terang Injil pula, mereka
mengadakan sharing pengalaman
keseharian,mencari solusi dan mengadakan kegiatan nyata bersama-sama untuk
anggota, masyarakat dan lingkungan alam sekitarnya dan yang terpenting bahwa
mereka berada dibawah naungan Gereja universal. Dengan kata lain komunitas
Gerejawi, atau apapun namanya, sesungguhnya adalah “Gereja dalam wujud nyata,
ditingkat akar rumput, yang terbuka dan senantiasa membantu masyarakat,
terutama yang miskin dan terpinggirkan, dan mempedulikan alam lingkungan
sekitarnya. Bentuk Gereja yang fokus pada kelompok kecil mengambil jemaat
perdana sebagai model dan teladan, ia berakar dalam Kitab Suci dan gambaran
tentang Gereja yang kita temukan dalam Kitab Suci.
2. Dasar-Dasar Pembentukan Komunitas
Basis
A. Dasar Biblis
Pembentukan
Komunitas Basis Gerejawi diinspirasi dari Kitab Suci Perjanjian Baru, terutama dari
Kisah Para Rasulyang berbunyi, “Mereka bertekun dalam persekutuan, tetap
bersatu hati, berkumpul bersama-sama (bidang persekutuan), bertekun dalam
pengajaran rasul-rasul (bidang pewartaan), selalu berkumpul untuk memecahkan
roti dan berdoa, memuji Allah (bidang liturgi), membagi-bagi sesuai dengan
keperluan masing-masing (bidang pelayanan), mereka disukai semua orang (kesaksian)” (Bdk. Kis 2:42-47). Selain itu dalam Kis 4:32-37, ditonjolkan
bahwa ”Komunitas Jemaat Perdana
senantiasa sehati dan sejiwa”. Sedangkan dalam
Rm 12:3-13, memberikan tekanan
bahwa ”Gereja sebagai suatu persekutuan”.Dan
surat Santo Paulus kepada umat di Korintus, menekankan bahwa Gereja sebagai
suatu tubuh: “Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak,
dan segala anggota itu, sekalipun
banyak, merupakan suatu tubuh, demikian pula Kristus. Sebab dalam satu
Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun
orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi
minum dari satu Roh. Karena tubuh juga
tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota. Allah telah
menyusun tubuh kita begitu rupa, sehingga kepada anggota yang tidak mulia
diberikan penghormatan khusus, supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh,
tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan. Karena itu
jika satu anggota menderita, semua turut menderita; jika satu anggota
dihormati, semua anggota turut bersukacita. Kamu semua adalah tubuh Kristus dan
kamu masing-masing adalah anggotanya ...”
(1Kor 12:12-30).
Dari
kutipan-kutipan ini dapat diambil suatu gambaran tentang misi Komunitas Basis
Gerejawi, yaitu: suatu kesatuan dalam Roh yang terarah kepada Bapa, di mana
semua anggota menjadi kawanan orang-orang kudus, keluarga Allah dengan dasar
ajaran Para Rasul (apostolik) dan para nabi, di dalam Kristus sebagai pemimpin
di mana tubuh seluruh bangunan menjadi Bait Allah yang kudus.
B. Dasar Teologis
Gagasan tentang komunitas basis
diinspirasi oleh ajaran tentang Allah Trinitas; yakni Allah sebagai persekutuan
antarpribadi yang sempurna. Leonardo Boff menegaskan bahwa dalam diri Allah
ketiga Pribadi illahi memiliki segala sesuatu secara bersama-sama dan saling memberikan
segala sesuatu kepada yang lain, kecuali kekhasan yang membentuk identitas
masing-masing Pribadi. Identitas Bapa ialah kenyataan bahwa Ia mengasalkan
kedua Pribadi yang lain, identitas Putera bahwa ia berasal dari Bapa dan
identitas Roh ialah bahwa Ia dihembuskan oleh Bapa dan Putera. Hanya satu ciri
itu khas pada setiap Pribadi selain itu mereka memiliki seluruh hakikat dan
kekayaan illahi secara bersama-sama. Dengan demikian Allah Tritunggal merupakan
persekutuan sempurna di mana identitas masing-masing dipertahankan, tidak
dileburkan dan sekaligus kebersamaan itu sedalam-dalamnya. Boff, melukiskan
bahwa persekutuan Trinitas sebagai persekutuan cinta dan kehidupan yang kekal.
Aspek teologis yang ditekankan adalah aspek communio:untuk
menanamkan wawasan tentang sifat persekutuan, persatuan dan kesatuan yang
dijiwai oleh roh dan semangat cinta kasih dan kristiani.
Allah
Tritunggal itulah yang menciptakanmanusia sebagai makhluk yang dialogal yang
diarahkan kepada persekutuan dengan Allah dan di antara manusia satu sama lain.
Akibat dosa persekutuan asli manusia dengan Allah dan antara manusia
tercerai-berai. Dalam sejarah keselamatan Allah berusaha dengan pelbagai cara
untuk memulihkan kembali persekutuan yang Ia ciptakan dan maksudkan sejak awal
mula. Sejarah keselamatan itu mencapai puncaknya dalam diri Yesus dari Nasaret.
Ia terutama berusaha untuk membongkar tembok pemisah di antara manusia dan
memulihkan persekutuan manusia dengan Allah dan di antara mereka satu sama
lain.
Maka
communio, persekutuan menjadi
kerinduan, keprihatinan dan doa serta usaha utama Yesus Kristus sendiri dalam
membangun Kerajaan Allah di dunia. Gereja merupakan ahli waris dan penerus
semangat dan Roh Yesus Kristus di atas bumi ini sepanjang zaman. Ia dijiwai
oleh Roh Pembentuk persekutuan di dalam diri Allah, maka Gereja
mengejawantahkan identitasnya, apabila ia menampilkan aspek persekutuan ini,
yakni persekutuan iman, harapan dan kasih, dalam satu keseluruhan, baik aspek communio vertikal-nya (satu kesatuan dari atas sampai ke basis)
maupun aspek communio horizontal-nya
(terdiri dari dan dihidupkan oleh persekutuan-persekutuan kecil yang ada di
dalamnya; persekutuan-persekutuan basis).
Wawasan
ini penting untuk menyadari bahwa satu usaha utama dalam karya pastoral ialah menciptakan
persekutuan, sehingga di dalam Kristus tidak ada lagi “orang Yahudi atau
Yunani, wanita atau laki-laki, hamba atau orang merdeka, karena semuanya telah
menjadi anak-anak Allah”. Demikian pula paroki hendaknya dipandang sebagai
suatu persekutuan, yang satu dalam kegiatan dan tindakan, yang bersatu hati
dalam kehidupan bergereja dan berparoki tanpa membebankan salah satu pihak.
Paroki yang tanpa membeda-bedakan warga asli dan pendatang, orang pinggiran dan
orang-orang elit. Semua ini demi menciptakan persekutuan-persekutuan basis
(pelbagai kelompok basis, baik kategorial maupun teritorial) di dalam paroki.
Dengan demikian mengantar umat kepada kesadaran bahwa keselamatan yang
dibawakan Kristus adalah terutama keselamatan dalam persekutuan, iman yang
dianut adalah iman dalam persekutuan, dan segala tindakan dan perubahan serta
pelayanan persaudaraan terjadi dalam persekutuan.
Dalam
doa kita setiap hari kita selalu menyapa Allah sebagai Bapa dan Ibu yang baik
hati, yang senantiasa mencurahkan berkat dan rahmat atas usaha dan perjuangan
hidup kita, Allah pemersatu dan Allah yang setia membantu manusia dalam suka
duka hidup ini. Dengan ini kita berusaha
mewujudkan relasi Tritunggal Maha Kudus dalam kehidupan kombas. Bagi kita
kebaikan Allah hadir secara nyata dalam diri sesama warga kombas yang memiliki
kepekaan hati dan budi untuk merasakan penderitaan serta kesusahan warga
kombas, dalam bentuk relasi yang harmonis (tanpa adanya jarak serta kecurigaan
antara satu dengan yang lain), dalam diri anggota kombas yang senantiasa
mencurah tenaga dan pikiran untuk kepentingan bersama. Allah juga hadir dalam
liturgi (ibadat dan perayaan ekaristi), karena itu aspek sikap liturgis
mendapat tempat di hati mereka dan dirayakan secara khusuk. Demikian pula
simbol liturgis seperti patung Yesus dan Bunda Maria, salib Yesus, rosario,
Kitab Suci, buku-buku doa, bunga dan lilin dapat membatu mereka memahami
siapakah Allah itu sesungguhnya.
C. Dasar Eklesiologis
1). Visi Gereja
Gereja adalah persekutuan
orang-orang beriman yang percaya kepada Yesus dari Nazaret sebagai Tuhan dan
Kristus, begitu rupa sehingga dalam persekutuan itu semua orang beriman bersatu
sebagai saudara-saudari seperjuangan. Mereka melibatkan diri dalam “peristiwa
Yesus” di tengah dunia melalui kesaksian hidup. Keterlibatannya dimungkinkan
oleh karunia Roh Kudus yang mengarah kepada tujuan persekutuan ke dalam
Kerajaan Allah. Dalam Gereja semua orang beriman berdasarkan sakramen Baptis,
mengambil bagian dalam tugas Yesus Kristus sebagai nabi, imam dan raja
sehingga perutusan dan karya Kristus diteruskan dan dikonkritkan di semua
tempat di dunia sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.
Dalam
konstitusi Konsili Vatikan II tentang Gereja, Lumen Gentium dikatakan, Gereja
Katolik yang satu dan tunggal terwujukan dalam diri Gereja-Gereja lokal. Pusat
Gereja adalah altar di mana dirayakan
Ekaristi. Kristus hadir dalam Gereja Katolik, dalam seluruh jemaat kaum
beriman setempat yang sah. Pusat Gereja adalah Kristus (art. 23, 26). Dengan
pandangan ini berarti Gereja dibangun dari bawah. Dasarnya adalah janji
Kristus: “Di mana dua atau tiga orang
berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”(Matius
18:20). Lumen Gentium (art. 11)
berbicara mengenai “Gereja keluarga” dan orang beriman yang ber-“communio”,
tidak hanya menghayati iman secara perorangan, tetapi juga sebagai “Gereja”,
secara paling dasariah dalam keluarga dan dalam komunitas kecil, di mana semua
anggota saling mengenal. Dari kelompok kecil terbentuklah kelompok besar.
2).
Misi Gereja
Gereja dipanggil menjadi “sakramen”
atau tanda yang menyatakan kepada masyarakat luas, bahwa Allah menghendaki keselamatan semua dan
setiap orang (LG 1). Misi yang diemban Gereja dilaksanakan dalam bentuk kerja
sama dengan siapa saja yang berkehendak baik, menyatu dan membaur dalam
masyarakat sekitar, dalam konteks sosial budaya, sosial ekonomi dan memberi
kesaksian serta pewartaan tentang Injil Yesus Kristus. Dengan cara demikian
Gereja sungguh solider dengan masyarakat, sebab kegembiraan dan harapan, duka
dan kecemasan masyarakat dirasakan oleh murid-murid Kristus juga (GS 1).
Tugas ini dijalankan oleh seluruh anggota
Gereja, di mana berdasarkan karisma yang
khusus setiap anggota menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan
umum Gereja. Pelaksanaan tugas Gereja dinyatakan dalam bentuk pelayanan
informal, yaitu: Pengabdian di dalam Gereja yang dijalankan oleh umat pada
umumnya berdasarkan sakramen pembaptisan. Pelayanan formal dalam bentuk tugas
gerejawi yang dilaksanakan oleh hierarki. Semua anggota Gereja yang terlibat
dalam “karya pelayanan”, entah informal maupun formal, dipanggil oleh Roh yang
satu untuk bekerja sama, seperti anggota-anggota satu tubuh bekerja sama demi
kesejahteraan tubuh itu (1Kor 12).
Paus
Yohanes Paulus II menamai kelompok basis dalam Gereja itu Ecclesial Basic Community (komunitas Basis Gerejawi). Para uskup
Asia menyebut gerakan menggereja itu sebagai a new way of being church atau “cara baru menggereja”. Konferensi
Para Uskup Asia (FABC) di Bandung menyebutnya sebagai ”rumah dan keluarga bagi
setiap orang” dan di Bangkok menyebutnya persekutuan iman yang sejati.
Komunitas Basis Gerejawi sebagai gerakan dan strategi menggereja Indonesia,
dicanangkan dalam SAGKI 2000.
Konsili
Vatikan II dalam dekrit mengenai tugas
misioner Gereja menegaskan, “para
Misionaris, yakni para pekerja yang diutus Allah, harus membangun
komunitas-komunitas kaum beriman, sehingga mereka mampu menyebarluaskan
tugas-tugas keimaman, kenabian dan rajawi yang dipercayakan kepada mereka oleh
Tuhan. Sehubungan dengan hal itu, komunitas-komunitas tersebut akan menjadi
suatu pratanda bagi kehadiran Allah di dunia” (artikel 15).
Paus
Yohanes Paulus II dalam Ensiklik mengenai tugas misioner Gereja Redemptoris Missio (RM art.51) menekankan
”Komunitas Basis Gerejawi merupakan suatu pratanda dari daya hidup (vitalitas) Gereja sendiri, suatu
perangkat untuk pembentukan dan pewartaan Injil, serta menjadi permulaan yang
mantap bagi suatu masyarakat baru yang berdasarkan cinta kasih.
Komunitas-komunitas tersebut bersifat desentral dan membentuk
perkumpulan-perkumpulan komunitas paroki, di mana perkumpulan-perkumpulan itu
senantiasa dipersatukan ..., dalam perkumpulan itu setiap orang Kristen
mengalami perkembangan komunitasnya bahkan rasa dan makna dari komunitas, di
mana mereka berperan aktif dan terdorong
untuk berbagi pengalaman serta pemahaman di dalam tugas bersama ... berbarengan
dengan itu, berkat karunia cinta Kristus, komunitas-komunitas basis juga
menunjukkan betapapun peliknya masalah yang dihadapinya seperti perpecahan atau
konflik, masalah kesukuan, atau ras, ternyata bisa diatasi.
D. Dasar Sosiologis
Arus informasi dan globalisasi telah
mengubah struktur-struktur masyarakat. Persekutuan hidup primer yang di dalam
masyarakat tradisional dan tertutup menjadi sikap dan cara hidup sehari-hari,
akhirnya terkikis oleh perubahan masyarakat. Arus urbanisasi dan migrasi
menyebabkan hilangnya hubungan persekutuan antar manusia yang primer itu.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak merasakan kebahagiaan, jika di dalam
hidupnya tidak dapat menentukan persekutuan primer, tempat berbagi rasa,
pengalaman dan tugas-tugas hidupnya. Terdapat kecenderungan untuk menciptakan
komunitas-komunitas baru yang tidak berdasarkan atas ikatan tempat tinggal
saja, melainkan juga atas ikatan-ikatan profesi, pekerjaan hoby, keprihatinan,
dan sebagainya. Maka dalam Gereja mulai dihidupkan persekutuan dasar itu, yang
dikenal dengan istilah KBG (Komunitas Basis Gerejawi).
Kalau
membaca dan menanggapi situasi zaman ini, kita dapat melihat bahwa pilihan
strategis hidup menggereja yang menjawabi tantangan zaman adalah komunitas
basis. Zaman ini ditandai oleh berbagai perubahan dalam berbagai bidang
kehidupan yang juga turut mempengaruh cara hidup menggereja. Menurut Rm.
Mangunwijaya, masyarakat Indonesia sudah hidup dalam zaman modern dan bahkan
pascamodern. Pada zaman seperti ini manusia kembali lagi ke budaya nomad kaum pengembara dan perantau
sebagai akibat mobilitas yang tinggi. Karena itu pelayanan berbasis kelompok
besar dan penghayatan cara menggereja yang bersifat masal menjadi semakin
sulit. Pada saat yang sama, justru kelompok kecil atau keluargalah yang menjadi
sasaran pengaruh buruk perkembangan dunia modern. Karena itu situasi menuntut
agar bimbingan kehidupan keluarga akan menjadi program Gereja yang sentral dan
fundamental.
Persekutuan-persekutuan
ini merupakan kekuatan nyata yang dapat mengubah tatanan hidup masyarakat yang
beradab dan mereka berada di bawah kendali kaum awam, bukan hierarki Gereja.
Akan tetapi jika kita mengembangkan program KBG, orang-orang dalam KBG adalah
orang-orang yang sama yang berada dalam organisasi kemasyarakatan. Dengan
demikian Gereja menggunakan pengaruhnya dalam tingkat kehidupan masyarakat.
Tetapi ini tidak langsung KBG hadir sebagai pusat refleksi biblis-teologis di
mana anggota-anggotanya menggali Kitab Suci dan nilai-nilai Kerajaan Allah, di
mana mereka digerakkan dan dibimbing oleh ajaran kenabian dan oleh hidup Yesus
dan Gereja Perdana. Yang dibawa oleh KBG ke dalam program dan aksi organisasi
kemasyarakatan adalah spiritualitas dan semangat Yesus Kristus. Di sini unsur
kunci dalam perjuangan bagi pemerdekaan adalah organisasi kemasyarakatan.
Masyarakat sendiri yang harus menghadapi masalah mereka sendiri. Mereka harus
mengambil keputusan sendiri, dan oleh karenanya memikul tanggung jawabnnya.
Bagaimana mungkin mereka dapat menjalankan tugas ini jikalau mereka tidak
diorganisir? Karena itu Gereja dapat memainkan peran dalam pengembangan
organisasi kemasyarakatan di mana mereka berada. Gereja menjadi pendamping,
membantu memudahkan kelahiran organisasi seperti ini.
3.
Sebab-Sebab Munculnya
Komunitas Umat
Basis/KBG
Berdasarkan sejarahnya, ada beberapa sebab
munculnya Komunitas Basis Gerejawi
A.Kekurangan Pastor dan Tantangan Diktator Militer
Gerakan KBG itu bisa lahir dan berkembang
pesat di Brasil bersamaan dengan meluasnya pengaruh teologi pembebasan. Ada
beberapa alasan, di antaranya:
Pertama, Paroki dengan pastor yang terbatas
jumlahnya tak mungkin mampu melayani umat untuk urusan liturgi, peribadatan,
dan pelayanan sakramental lainnya. Seperti disebut di atas, jumlah penduduk
negeri itu sekitar 170 juta (berdasarkan sensus tahun 2000). Kendati hampir
semua dibaptis dan menikah secara Katolik, yang boleh disebut Katolik betulan
tak lebih dari 74%. Menurut catatan CNBB, Konferensi Waligereja Brasil, dari
total penduduk negeri itu, yang benar-benar aktif ke gereja pada hari Minggu
cuma 20%. Wilayah paroki sangat luas, pemukiman warga tersebar di seluruh
pelosok negeri. Para pastor tidak mungkin bisa melayaninya secara intensif,
apalagi tiap hari minggu di setiap stasi atau pemukiman yang jauh dari
jangkauan pusat paroki. Banyak stasi yang tak terjangkau oleh pelayanan pastor
paroki, yang biasanya tinggal di kota-kota kecil atau kota besar. Maka; lewat
KBG, muncullah kaum awam setempat yang kemudian mengambil peranan dalam
pembinaan keimanan umat, tanpa harus menunggu atau menggantungkan diri pada
pelayanan para pastor.
Kedua, Hampir semua negara di Amerika Latin mendapat pengaruh yang besar
dari Gereja Katolik Spanyol. Namun, lain halnya dengan Brasil. Negeri samba
itu sangat dipengaruhi oleh Gereja Prancis. Dalam sejarah Gereja Katolik
Prancis abad ke-20, banyak lahir unsur dan paham radikal, selain sosialisme
Kristen. Sementara, ikatan kedua negara juga dipererat oleh pengaruh tarekat
yang berkarya di Brasil, yakni Ordo Dominikan, Apa pengaruhnya? Orang Katolik
Brasil sangat terbuka untuk menerima gagasan atau pengaruh baru dari luar,
termasuk pengaruh yang radikal sekalipun.
Ketiga, Diktator militer mulai berkuasa di negeri itu tahun 1964. Rezim
militer yang disebut-sebut didukung oleh Amerika Serikat untuk menumpas gerakan
aksi rakyat yang dicurigai beraliran kiri – dipengaruhi paham Marxisme dan
Ateisme – telah menutup berbagai saluran demokratis dari rakyat. Penguasa yang
diktator telah menyudutkan Gereja sebagai tempat tumpuan bernaung bagi para
penentang rezim militer. Gerakan kerakyatan berduyun-duyun masuk ke lingkaran
Gereja Katolik dan membuat Gereja Katolik menjadi lebih memihak kepada rakyat
kecil, dan memperjuangkan pembebasan rakyat miskin. Penindasan oleh rezim
militer telah dilakukan terhadap berbagai anasir dalam Gereja Katolik. Itu pula
yang kemudian membuat Gereja Katolik mengambil posisi berseberangan dengan
penguasa militer yang diktator, yang dibekingi oleh Amerika Serikat itu.
Keempat, Para teolog dan pastor radikal pada tahun 1970-an sampai tahun 1980-an
lebih memilih untuk melakukan gerakan "secara diam-diam". Mereka juga
bersikap tidak konfrontatif dengan pihak hierarki atau autoritas Gereja
sendiri, agar mereka tidak dicampakkan oleh hierarki. Mereka lebih memusatkan
kegiatannya dalam pengembangan organisasi akar rumput, KBG, dan paroki-paroki
yang lebih merakyat.
B. Kelesuan Pastoral dan Kejutan
Gereja Protestan
Selain
faktor-faktor di atas, keadaan internal Gereja Katolik sendiri dan persaingan
dengan pelbagai Gereja dan sekte Protestan juga menjadi pendorong lahirnya
gerakan KBG. Sejak pertengahan abad ke-20, situasi sosial dan ekonomi
berkembang amat cepat. Pembangunan terus bergulir, namun guncangan politik
datang silih berganti. Kudeta (atas dukungan Amerika Serikat) terjadi bertubi-tubi.
Militerisme merajalela di hampir semua negara Amerika Latin. Dalam situasi
politik demikian itu, Gereja setempat tidak menampilkan aksinya. Gereja seolah
terlena dan keasyikan dengan aneka upacara di sekitar altar. Celakanya lagi,
Gereja boleh dibilang nyaris cuma menyentuh umatnya tiga kali selama hidup
manusia, yakni pada waktu lahir (dengan baptis), menikah atau mulai berkeluarga
(sakramen perkawinan), dan saat meninggal (upacara melepas jasad). Gaya menggereja
yang tidak dinamis dan proaktif semacam itu, cepat atau lambat pasti akan usang
alias ketinggalan zaman, tak mampu menjawab kebutuhan nyata umatnya.
Maka,
mau tidak mau, Gereja harus mengubah gayanya dalam mewartakan Kabar Gembira.
Nah, di saat bersantai di "sekitar altar" itu, Gereja Katolik yang
sudah hampir seratus persen menguasai seluruh Amerika Latin, tiba-tiba
dikejutkan oleh perkembangan Gereja-Gereja Kristen Pantekosta. Sebagian umat
mulai terpikat oleh gerak Gereja-Gereja Kristen tersebut. Kenapa? Mereka merasa
cukup lama "ditelantarkan" oleh pastor atau autoritas Gereja Katolik.
Para
pastor terlalu sibuk menerimakan sakramen dan mengadakan upacara untuk umatnya
yang tinggal di kota-kota dan wilayah yang mudah dijangkau. Umat Katolik di daerah
terpencil bersua dengan pastor tertahbis belum tentu setahun sekali. Untuk bisa
ikut beribadah di kota, melewati belantara yang ganas, rasanya kecil
kemungkinannya dilakukan umat. Selain minimnya fasilitas transportasi, tidak
mungkin umat – yang rata-rata miskin – bisa menyisihkan uang untuk ongkos
transportasi ke kota. Padahal umat sebenarnya bisa dikembangkan keimanannya
tanpa harus menunggu kedatangan sang pastor.
Hal
tersebut dibuktikan oleh Gereja-Gereja Pantekosta. Mereka dibimbing dan dipimpin
oleh awam, yang tampil dari antara mereka sendiri. Mereka berkumpul dan meneguhkan
iman mereka dengan sumber Kitab Suci. Gerak mereka sungguh menarik bagi umat
Katolik yang sudah lama merindukan reksa pastoral dari para klerus. Ternyata,
di antara kaum awam sendiri ada yang bisa melakukan "reksa pastoral"
dengan gaya Kristen Protestan tersebut. Dalam waktu yang relatif singkat,
mereka bisa membuka kelompok-kelompok jemaat sampai ke desa-desa. Tidak sedikit
umat Katolik yang tergoda mengikuti mereka. Itu yang membuat Gereja Katolik
seolah “kebakaran jenggot”. Maka, Gereja dengan cepat mengambil langkah untuk
menghadapi serangan Gereja-Gereja yang gesit itu.
C. Penggabungan Dua Kekuatan
Tantangan
baru itu benar-benar menyadarkan umat Katolik. Maka, mereka mulai mengembangkan
gaya menggereja yang lebih sesuai dengan tuntutan umat dan situasi setempat.
Stasi-stasi yang luas dan berjauhan kemudian dikembangkan dan dipecah-pecah
menjadi komunitas-komunitas lebih kecil, semacam lingkungan atau rukun
tetangga. Stasi yang semula dipimpin oleh seorang katekis, dipecah-pecah
menjadi komunitas-komunitas kecil dengan tim pastoral yang dipilih di antara
umat sendiri untuk menjadi pemimpinnya. Jadi, kepemimpinan jemaat di tingkat
akar rumput berada di tangan tim pastoral yang terdiri dari orang-orang
setempat. Stasi konvensional hanya bergerak di tataran pembinaan dan
pendalaman iman dalam kehidupan sehari-hari, serta menghidupkan semangat beragama
melalui ziarah dan aneka devosi. Sedangkan komunitas (jemaat) basis menghidupkan
semangat Injil melalui analisis sosial dalam forum sharing alias tukar
pendapat atau berbagi pengalaman dengan terang Kitab Suci. Jadi, agenda utama
pertemuan KBG adalah Kitab Suci dan pengalaman sehari-hari.
Pengembangan
KBG sebagai gaya menggereja yang baru di tengah-tengah berkembangnya teologi
pembebasan di benua itu telah berhasil membangun masyarakat lebih adil dan
manusiawi. Bahkan pemberdayaan komunitas basis juga mampu membendung kampanye
yang dilancarkan oleh Gereja-Gereja Pantekosta di sana. Mengapa gerakan KBG di
Brasil dan negara-negara Amerika Latin bisa dikatakan berhasil? KBG di sana
mampu menggabungkan dua faktor kekuatan yang sangat penting. Unsur-unsur
terbaik dari Gereja Protestan seperti kepemimpinan di tangan awam dan
penonjolan peran sentral Kitab Suci digabungkan dengan kekuatan yang dimiliki
Gereja Katolik, yakni perayaan liturgi, devosi, dan sikap positif atau kepedulian
yang besar terhadap masyarakat miskin, terpinggirkan, dan dunia di sekitarnya.
D. Martir Terbanyak dari Komunitas
Basis
KBG
berkembang luas di seluruh Amerika Latin. Mereka menghadapi keadaan yang sama.
Kebetulan, perkembangan KBG begitu cepat dan meluas karena berbarengan dengan
era pembaruan total Gereja Katolik yang dikumandangkan lewat Konsili Vatikan
II (1962-1965) KBG sebagai gaya menggereja yang tanggap terhadap lingkungan dan
penderitaan rakyat di sekelilingnya tumbuh kian subur karena mengalami
penganiayaan berat. Sejak kemunculannya, CEB atau KBG seperti yang
dikembangkan dari Brasil itu, senantiasa berusaha menghayati Injil di tengah-tengah
suasana pemerintahan yang demokratis, yang tengah tumbuh di negara-negara
Amerika Latin. Namun, pemerintahan demokratis yang mendampingi perkembangan
cara baru menggereja yang juga lebih partisipatif itu ternyata tidak
berlangsung lama.
Serangkaian
kudeta militer terjadi. Pemerintahan demokratis yang pernah ada ditumbangkan
oleh rezim militer dukungan Amerika Serikat. Gerakan menggereja dengan KBG
yang membela kaum miskin dan tersisih kemudian dicurigai oleh rezim militer
sebagai gerakan kiri alias dekat dengan sosialis; dan komunis. Ketika itu, AS
mempunyai misi untuk membendung pengaruh Marxisme dan Komunisme di depan
"pintu"-nya, negara-negara Amerika Latin. Semua yang membela
kepentingan rakyat dan kaum miskin dicap sebagai beraliran kiri, sebagai
gerakan dari ideologi Marxisme dan Komunisme. Pendek kata, siapa pun yang melakukan
pembelaan terhadap kaum papa dan terpinggirkan, harus dibasmi. Maka, ribuan
tokoh yang mengembangkan dan menggerakkan KBG seperti pendamping, fasilitator,
dan aktivis ditangkap, ditahan, atau dengan gampangnya "dilenyapkan".
Termasuk di antaranya adalah pastor dan suster. Mereka yang membela kepentingan
rakyat dianggap antirezim militer yang berkuasa. Ada pula yang mendompleng
ikut membasmi penggerak KBG, yakni para tuan tanah dan penguasa yang memiliki
dendam kesumat karena pernah menjadi korban landreform dan aksi keadilan
lain yang dilancarkan oleh aktivis Gereja di masa pemerintahan demokratis.
Tindakan
represif dan penumpasan "anasir kiri" itu secara gegabah melibas
banyak korban, terutama dari para tokoh dan penggerak KBG. Bahkan bisa dicatat,
bahwa dalam sejarah Gereja Katolik selama 2.000 tahun, martir terbanyak yang
menyuburkan kehidupan menggereja sebenarnya justru datang dari gerakan itu di
Amerika Latin. Ratusan atau bahkan ribuan orang hilang atau dibunuh hanya dalam
kurun waktu 1970-1980. Yang menindas dan membasmi para anggota dan penggerak
KBG, siapa lagi, kalau bukan sesama orang Katolik, yang sedang berdiri di pihak
rezim militer dukungan Amerika Serikat. Penindasan dan pembasmian oleh penguasa
tidak meredakan gerakan KBG.
Secara
independen mereka tetap bergerak dan membela kepentingan sesamanya yang miskin,
tak mampu, dan terpinggirkan. Demi cinta dan bela rasa dengan para korban
ketidakadilan, tim pastoral dengan gigih kemudian menghidupkan dan
menggerakkan KBG di berbagai lini. Gaya baru menggereja itu sangat berpengaruh,
baik di Brasil maupun di sejumlah negara Amerika Latin. Apakah seluruh umat
terlibat aktif dalam aksi menggereja yang digulirkan lewat KBG itu? Masih
menurut catatan Pastor John Prior, sebenarnya yang benar-benar terlibat dan
aktif sebagai penggerak tidak banyak. Cuma sekitar 10% dari total penduduk.
Persentasenya memang kecil, namun pengaruhnya
sungguh luar biasa.
4. Implikasi Pastoral Dalam Hidup Menggereja Di Indonesia
A. Cara Menggereja secara baru
4. Implikasi Pastoral Dalam Hidup Menggereja Di Indonesia
A. Cara Menggereja secara baru
KBG menemukan lagi
Gereja perdana dan daya transformasinya. Sebagai perwujudan dari Gereja
Perdana, KBG perlu membarui tugas-tugas Gereja seperti liturgi, koinonia,
kerygma/martyria dan diakonia.
Liturgi: KBG sebagai wadah perayaan iman yang bertitik tolak pada realita hidup
harian, wadah pengudusan. Karya keselamatan Allah dihadirkan kembali, disadari,
dihayati, dirasakan dan diperteguh. Liturgi KBG menyatukan liturgi hati,
liturgi kehidupan dan liturgi Gereja (Banawiratma: 48-49). Liturgi menjadi
semakin hidup dan bermakna transformatif.
Koinonia: KBG sebagai sebuah persekutuan dasar yang menggereja secara baru
(basis umat dan masyarakat) menghidupi pola partisipasi-demokratis, keterbukaan
terhadap semua orang, dan kesetaraan dalam menjalankan amanat Injil. Komunitas
yang menekankan hubungan pribadi
antarumat yang mengarah pada persaudaraan Injili karena Kristus, dan bukan oleh
status anggota-anggotanya (kaya-miskin, tua-muda, berpangkat-tidak berpangkat,
dari kelompok ini- itu dan sebagainya), persekutuan yang dibangun atas
solidaritas. Persekutuan umat yang terbuka karena siap berdialog dengan dan
menjadi bagian dari masyarakat umum bahkan membuat masyarakat sekitar mengalami
kebahagiaan dan makin banyak orang mengalami kesejahteraan (bdk. Kis 2:47).
Kerygma
dan Martyria: KBG menawarkan pada Gereja kesatuan
permenungan biblis-teologis dengan analisis sosial dalam terang Sabda Tuhan dan
memberi kesaksian berdasarkan inspirasi yang ditimba dari Sabda Tuhan untuk memperjuangkan yang benar, baik dan
adil di tengah masyarakat dan bersama mereka yang berkehendak baik tanpa
membedakan agama, suku, status sosial, kelompok membangun tata dunia. Basis
tempat evangelisasi baru untuk
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Diakonia: KBG memperluas pelayanan Gereja. Dengan pelayanan duniawi iman Kristiani
tidak dapat disempitkan melulu pada tindakan-tindakan peribadatan saja. Pelayanan
teristimewa terhadap kaum miskin menjadi buah iman. KBG sebagai wadah yang
mewujudnyatakan solidaritas terhadap kecemasan dan kegembiraan dunia dengan
menerapkan pola kesederajatan dalam
pelayanan.
Peran KBG di atas baru mengubah praksis
Gereja untuk perubahan kalau seluruh praksis pastoral Gereja diubah dan
dipahami secara baru. Di bawah ini akan disebutkan beberapa aspek pastoral yang
menuntut perubahan visi dan pola kerja pastoral kita untuk mewujudkan tugas
Gereja yang baru. Kami mengikuti catatan dari John Prior (Kertas Kerja: 26-31):
B. Subjek Pastoral
Komunitas BasisGerejawi adalah Basis Pemberdayaan Umat Awam baik karena karisma mereka maupun
karena KBG adalah tempat mempertemukan iman dengan kehidupan dunia di mana awam
sangat berperan. Oleh karena itu sekarang waktunya para awam bangkit menjadi
pelaku kerasulan dan pelaku pastoral. Awam tidak boleh dilihat lagi hanya
sekadar objek pastoral atau "kaki tangan" hierarki, tetapi sungguh
menjadi subjek/pelaku pastoral. Itu berarti pastoral "pastorsentris"
harus sungguh direlativir. Ujung tombak umat basis sendiri adalah awam karena panggilan awam maupun untuk menghindari efek
klerikalisme.
Lalu apa peran
hierarki? Hierarki tidak berfungsi untuk mengumpulkan kekuasaan ke dalam tangan
mereka sendiri melainkan untuk menyatukan rupa-rupa tipe, jenis, dan fungsi
pelayanan (karisma) yang ada. Hierarki memperhatikan serta memelihara
keseluruhan visi, misi dan reksa pastoral. Para pemimpin tertahbis berperan
untuk keseimbangan dan persaudaraan di antara sekian banyak tugas pelayanan.
Karena itu, tidak mengherankan kalau dewan hierarki bertanggung jawab untuk
memelihara ajaran yang benar dan memimpin sakramen penganggotaan
(Baptisan-Krisma) serta sakramen-sakramen persatuan (Ekaristi, Tahbisan, dan
Pengampunan). Para pastor menjadi rekan peziarah yang saling percaya. Para
pastor dan umat yang lain mulai bergerak dari anggota Gereja yang membela
rumusan baku menjadi umat yang sama-sama menggali kebenaran. Kalau Paroki telah
ditata kembali hingga terdiri dari sejumlah (besar) persekutuan paguyuban
Komunitas Basis, maka seorang wakil dari masing-masing tim pengurus Komunitas
Basis Gerejawi turut mengambil bagian di dalam kepemimpinan umat pada tingkatan
lebih luas sebagai anggota Dewan Pastoral Lingkungan (Wilayah, Satasi)
misalnya.Pada gilirannya wakil dari masing-masing Lingkungan (Wilayah, Stasi)
menjadi anggota Dewan Pastoral Paroki.
C. Aliansi Pastoral
Kalau Gereja sampai
sekarang sering beraliansi dengan para tokoh masyarakat demi keamanan dan
keteguhan hidup kelompok, maka Gereja yang berbasis KBG beraliansi dengan:
Kelompok "anawim" orang-orang miskin, kaum tani dan buruh, rakyat
kecil khususnya kelompok marginal. Artinya pengembangan pelayanan bertolak
dari kesatuan kita dengan orang miskin dan lemah di paroki. Dengan mengambil
posisi orang miskin, dan orang yang terpinggirkan kegiatan dan cara pastoral
dikembangkan secara baru. Pendataan dan kunjungan kepada orang miskin dan orang
yang selama ini tidak diperhatikan oleh Gereja menjadi penting untuk memulai
pelayanan. Orang miskin harus menjadi pelaku pastoral sehingga perlu mendapat
tempat dalam proses pastoral, di Dewan Pastoral atau petugas di KBG.
D.
Gaya kepemimpinan
pastoral
Kalau gaya pastoral
lama (institusional) cenderung bersifat otoriter, paternalitis, dari atas ke
bawah, maka gaya Gereja berbasis KBG bersifat komunikasi iman dan dialogal-partisipatif. Suatu
gerakan pastoral dari bawah, dari dan antara kelompok basis. Pastoral yang
beralih tekanan:
1) Dari pola pembinaan
masal yang mengutamakan jumlah besar ke pola pastoral basis yang mengutamakan
daya guna dan hasil guna. Dari pola
"serba koordinatif” yang bergaya pejabat/priayi ke pola lebih komunikatif
yang merakyat supportif dan inspiratif.
2) Dari pola
indoktrinasi yang mengejar produk sebanyak mungkin bahan/masukan ke pola
partisipasi yang menekankan proses dan keterlibatan aktif peserta. Gaya
pastoral baru mementingkan pola proses
di mana dibangkitkan penyadaran yang mendalam. Ia tidak terlalu menekankan
rumusan-rumusan doktriner tetapi kesadaran beriman. Tidak moralitas, tetapi
membangun hidup yang optimis.
3) Dalam
bidangpengudusan atau liturgi, kegiatan bersifat terpadu antara ibadat dan
kehidupan nyata sehari-hari, antara rohani dan jasmani. Tidak bersifat
dikotomis. Kekudusan tidak terpusatkan pada praktik-praktik kesalehan, tetapi
lebih kepada komitmen, kepada sesama dan dunia.
4) Dalam bidang pembangunan sosial ekonomi pendekatan partisipatif. Bersama umat, oleh umat dan untuk umat, yang membuat umat menemukan lagi kemampuan, harkat dan martabat dirinya.
4) Dalam bidang pembangunan sosial ekonomi pendekatan partisipatif. Bersama umat, oleh umat dan untuk umat, yang membuat umat menemukan lagi kemampuan, harkat dan martabat dirinya.
E.
Bidang kegiatan
pastoral
1)
Membangun komunitas
kecil
Membangun Gereja/KBG menjadi komunitas
kristiani lewat komunitas kecil dan basis, yang disemangati dengan cinta kasih,
iman dan harapan yang sama. Gereja masyarakat injili yang berpusat pada Kristus
dan dijiwai oleh Roh Kudus. Gereja/KBG yang berdaya hidup alternatif
seperti Gereja perdana.
2) Membangun Kerajaan Allah
Gereja/KBG berada dan hadir bukan untuk
dirinya sendiri. Gereja/KBG hendaknya
menjadi tanda dan sakramen keselamatan dunia/lingkungannya. Gereja pemerdekaan.
Gereja yang akan berusaha untuk membangun Kerajaan Allah di dunia. Itu berarti:
a) Peranan pelayanan pastoral bergeser dari
perhatian pada kepentingan intern Gereja/KBG semata, kepada horison yang lebih
luas, yang tujuannya ialah mengembangkan kemanusiaan yang utuh dan terpadu.
b) Pengertian tentang pelayanan pastoral
sebagai yang hanya bertolak dari sudut pandangan pemenuhan karya
perutusan/misi, kini berubah menjadi satu pilihan secara sengaja memihak suatu
konteks atau kelompok tertentu, di mana kesaksian kenabian, kritik,
konsientisasi dan rangsangan, merupakan pelayanan pastoral tersendiri. Kita
lebih terbuka pada situasi konkret masyarakat setempat, yang diwarnai oleh
kemiskinan.
c) Gereja/KBG dalam dunia melihat manusia yang konkrit sebagai "locus theologicus" sebagai pokok
refleksi teologi. Dialog dengan dunia memaksa orang beriman untuk berefleksi
terus atas pengungkapan iman di dalam Gereja/KBG dan perwujudannya dalam hidup
sehari-hari.
F.
Tujuan Pastoral
Tujuan pastoral yang mau dicapai ialah:
1) Pengembangan iman
umat yang mempribadi tetapi sekaligus beraspek sosial. Ditanam rasa tanggung
jawab dan kebebasan anak-anak Allah. Membangun umat yang bisa memberi kesaksian
tentang cinta Allah yang menyelamatkan.
2)
Pencapaian
keselamatan aktual, sekarang ini di dunia ini, selain keselamatan eskatologis,
kelak di surga.
3) Keselamatan
lahir-bathin. Keselamatan bagi manusia yang utuh, keselamatan bagi jiwa
raganya. Makanya kita berusaha supaya manusia sungguh menghayati martabatnya
sebagai manusia secara utuh melalui proses pemerdekaan dan pemberdayaan.
G. Wadah-wadah
Pastoral
1) Kalau Gereja lama
(institusional) melihat wilayah paroki yang luas sebagai wadah pastoralnya
dengan perhatian utama pada stasi pusatnya, maka Gereja baru justru melihat
kelompok basis Gerejani sebagai pusat kegiatan pastoralnya. Kelompok basis
sungguh menjadi basis pastoralnya.
2)
Organisasi-organisasi
massa sebagai wadah kegiatan pastoral memang tidak diabaikan, namun pola
pastoral ini lebih memusatkan perhatiannya pada kelompok-kelompok kecil yang
terbentuk oleh kesamaan fungsional. Perhatian pastoral tidak bersifat massal,
tetapi pastoral kelompok kecil dan pastoral jaringan simpul-simpul
(Mangunwijaya).
H. Proses Pastoral
1)
Pertama: melihat,
mendalami dan menganalisis situasi sehingga kita mendapat gambaran yang cukup
lengkap tentang kenyataan hidup masyarakat. Kenyataan hidup itu bisa baik, bisa
juga problematis dan buruk.
2)
Langkah berikutnya
ialah refleksi biblis dan teologis. Refleksi biblis/teologis ini menolong kita
untuk menemukan visi kristiani untuk menyoroti situasi yang ada dan mencari
jalan untuk usaha penanganannya (membuat program). Dengan itu diharapkan
program kerja yang direncanakan sungguh
bersifat pastoral.
3)
Langkah berikutnya
ialah menyusun rencana untuk bertindak. Rencana yang disusun hendaknya sesuai
dengan tuntutan-tuntutan pembuatan suatu rencana kerja yang baik.
4)
Langkah terakhir
ialah pelaksanaan program.
Sesudah pelaksanaan program, mungkin
tercipta suatu situasi baru (lebih baik atau lebih buruk) atau situasinya tetap
sama (tidak atau belum berhasil). Situasi
itu dilihat, dialami dan dianalisis dstnya.Ini adalah spiral
pastoral yang bertujuan untuk mengubah, untuk bertransformasi. Kalau proses ini
terus berjalan secara baik, ia akan
membawa perubahan demi perubahan, proses transformasi dengan banyak segi bisa
terjadi. Dengan demikian komunitas-komunitas itu akan semakin bersikap
kristiani atau gerejani. Gaya hidup alternatif bisa dipupuk. Proses pastoral
ini menuntut supaya pastisipasi umat KBG dilibatkan semaksimal mungkin. Mereka
turut menganalisis situasi, merefleksikannya dari segi iman, bersama-sama
menyusun rencana dan melaksanakannya. Suatu proses pemberdayaan seluruh umat
sudah terjadi.
SUMBER
ACUAN:
Alkitab Deuterokanonika.Jakarta: Percetakan LAI, 2012.
Dister,
Nico Syukur OFM, Dr, Teologi Sistematika,
Jogjakarta: Kanisius, 2004.
Diktat
Matakuliah;Ajaran Sosial Gereja, STFT
Widya Sasana, Malang: 2011.
___________;Pastoral Pengantar, STFT Widya Sasana
Malang: 2011.
Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi,
Jogjakarta: Kanisius, 1996.
Konferensi
Waligereja Indonesia, Dokumen Konsili
Vatikan II, Jakarta: Obor, 2004.
Margana, A,
Komunitas Basis: Gerak Menggereja
Kontekstual, Jogjakarta: Kanisius, 2004.
Susanto,
Harry, SJ, (Terj.) Katekismus Gereja
Katolik, Jogjakarta: Kanisius 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar