Senin, 11 Februari 2019

MEMBANGUN DAN MENGEMBANGKAN PERSEKUTUAN UMAT BASIS (KOINONIA)

MEMBANGUN DAN MENGEMBANGKAN
PERSEKUTUAN UMAT BASIS
(KOINONIA)

oleh: Werenvridus Sadan, S.S


     1.   Pengantar
Pemahaman kita mengenai Komunitas Umat Basis adalah suatu pesekutuan umat yang relatif kecil, saling mengenal, tinggal berdekatan atau memiliki kepentingan bersama, yang secara berkala mengadakan pertemuan. Mereka berdoa, membaca dan mengadakan sharing Kitab Suci. Dengan terang Injil pula, mereka mengadakan sharing pengalaman keseharian,mencari solusi dan mengadakan kegiatan nyata bersama-sama untuk anggota, masyarakat dan lingkungan alam sekitarnya dan yang terpenting bahwa mereka berada dibawah naungan Gereja universal. Dengan kata lain komunitas Gerejawi, atau apapun namanya, sesungguhnya adalah “Gereja dalam wujud nyata, ditingkat akar rumput, yang terbuka dan senantiasa membantu masyarakat, terutama yang miskin dan terpinggirkan, dan mempedulikan alam lingkungan sekitarnya. Bentuk Gereja yang fokus pada kelompok kecil mengambil jemaat perdana sebagai model dan teladan, ia berakar dalam Kitab Suci dan gambaran tentang Gereja yang kita temukan dalam Kitab Suci.

      2.  Dasar-Dasar Pembentukan Komunitas Basis
A.    Dasar Biblis 
Pembentukan Komunitas Basis Gerejawi diinspirasi dari Kitab Suci Perjanjian Baru, terutama  dari  Kisah Para Rasulyang berbunyi, “Mereka bertekun dalam persekutuan, tetap bersatu hati, berkumpul bersama-sama (bidang persekutuan), bertekun dalam pengajaran rasul-rasul (bidang pewartaan), selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa, memuji Allah (bidang liturgi), membagi-bagi sesuai dengan keperluan masing-masing (bidang pelayanan), mereka  disukai semua orang (kesaksian)” (Bdk. Kis 2:42-47).  Selain itu dalam Kis 4:32-37, ditonjolkan bahwa  ”Komunitas Jemaat Perdana senantiasa sehati dan sejiwa”. Sedangkan dalam  Rm 12:3-13,  memberikan tekanan bahwa ”Gereja sebagai suatu persekutuan”.Dan surat Santo Paulus kepada umat di Korintus, menekankan bahwa Gereja sebagai suatu tubuh: “Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun  banyak, merupakan suatu tubuh, demikian pula Kristus. Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum  dari satu Roh. Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota. Allah telah menyusun tubuh kita begitu rupa, sehingga kepada anggota yang tidak mulia diberikan penghormatan khusus, supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan. Karena itu jika satu anggota menderita, semua turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya ...”  (1Kor 12:12-30).
Dari kutipan-kutipan ini dapat diambil suatu gambaran tentang misi Komunitas Basis Gerejawi, yaitu: suatu kesatuan dalam Roh yang terarah kepada Bapa, di mana semua anggota menjadi kawanan orang-orang kudus, keluarga Allah dengan dasar ajaran Para Rasul (apostolik) dan para nabi, di dalam Kristus sebagai pemimpin di mana tubuh seluruh bangunan menjadi Bait Allah yang kudus.

B.  Dasar Teologis
            Gagasan tentang komunitas basis diinspirasi oleh ajaran tentang Allah Trinitas; yakni Allah sebagai persekutuan antarpribadi yang sempurna. Leonardo Boff menegaskan bahwa dalam diri Allah ketiga Pribadi illahi memiliki segala sesuatu secara bersama-sama dan saling memberikan segala sesuatu kepada yang lain, kecuali kekhasan yang membentuk identitas masing-masing Pribadi. Identitas Bapa ialah kenyataan bahwa Ia mengasalkan kedua Pribadi yang lain, identitas Putera bahwa ia berasal dari Bapa dan identitas Roh ialah bahwa Ia dihembuskan oleh Bapa dan Putera. Hanya satu ciri itu khas pada setiap Pribadi selain itu mereka memiliki seluruh hakikat dan kekayaan illahi secara bersama-sama. Dengan demikian Allah Tritunggal merupakan persekutuan sempurna di mana identitas masing-masing dipertahankan, tidak dileburkan dan sekaligus kebersamaan itu sedalam-dalamnya. Boff, melukiskan bahwa persekutuan Trinitas sebagai persekutuan cinta dan kehidupan yang kekal. Aspek teologis yang ditekankan adalah aspek communio:untuk menanamkan wawasan tentang sifat persekutuan, persatuan dan kesatuan yang dijiwai oleh roh dan semangat cinta kasih dan kristiani.
Allah Tritunggal itulah yang menciptakanmanusia sebagai makhluk yang dialogal yang diarahkan kepada persekutuan dengan Allah dan di antara manusia satu sama lain. Akibat dosa persekutuan asli manusia dengan Allah dan antara manusia tercerai-berai. Dalam sejarah keselamatan Allah berusaha dengan pelbagai cara untuk memulihkan kembali persekutuan yang Ia ciptakan dan maksudkan sejak awal mula. Sejarah keselamatan itu mencapai puncaknya dalam diri Yesus dari Nasaret. Ia terutama berusaha untuk membongkar tembok pemisah di antara manusia dan memulihkan persekutuan manusia dengan Allah dan di antara mereka satu sama lain.
Maka communio, persekutuan menjadi kerinduan, keprihatinan dan doa serta usaha utama Yesus Kristus sendiri dalam membangun Kerajaan Allah di dunia. Gereja merupakan ahli waris dan penerus semangat dan Roh Yesus Kristus di atas bumi ini sepanjang zaman. Ia dijiwai oleh Roh Pembentuk persekutuan di dalam diri Allah, maka Gereja mengejawantahkan identitasnya, apabila ia menampilkan aspek persekutuan ini, yakni persekutuan iman, harapan dan kasih, dalam satu  keseluruhan, baik aspek communio vertikal-nya (satu kesatuan dari atas sampai ke basis) maupun aspek communio horizontal-nya (terdiri dari dan dihidupkan oleh persekutuan-persekutuan kecil yang ada di dalamnya; persekutuan-persekutuan basis).
Wawasan ini penting untuk menyadari bahwa satu usaha utama dalam karya pastoral ialah menciptakan persekutuan, sehingga di dalam Kristus tidak ada lagi “orang Yahudi atau Yunani, wanita atau laki-laki, hamba atau orang merdeka, karena semuanya telah menjadi anak-anak Allah”. Demikian pula paroki hendaknya dipandang sebagai suatu persekutuan, yang satu dalam kegiatan dan tindakan, yang bersatu hati dalam kehidupan bergereja dan berparoki tanpa membebankan salah satu pihak. Paroki yang tanpa membeda-bedakan warga asli dan pendatang, orang pinggiran dan orang-orang elit. Semua ini demi menciptakan persekutuan-persekutuan basis (pelbagai kelompok basis, baik kategorial maupun teritorial) di dalam paroki. Dengan demikian mengantar umat kepada kesadaran bahwa keselamatan yang dibawakan Kristus adalah terutama keselamatan dalam persekutuan, iman yang dianut adalah iman dalam persekutuan, dan segala tindakan dan perubahan serta pelayanan persaudaraan terjadi dalam persekutuan.
Dalam doa kita setiap hari kita selalu menyapa Allah sebagai Bapa dan Ibu yang baik hati, yang senantiasa mencurahkan berkat dan rahmat atas usaha dan perjuangan hidup kita, Allah pemersatu dan Allah yang setia membantu manusia dalam suka duka hidup ini. Dengan ini kita  berusaha mewujudkan relasi Tritunggal Maha Kudus dalam kehidupan kombas. Bagi kita kebaikan Allah hadir secara nyata dalam diri sesama warga kombas yang memiliki kepekaan hati dan budi untuk merasakan penderitaan serta kesusahan warga kombas, dalam bentuk relasi yang harmonis (tanpa adanya jarak serta kecurigaan antara satu dengan yang lain), dalam diri anggota kombas yang senantiasa mencurah tenaga dan pikiran untuk kepentingan bersama. Allah juga hadir dalam liturgi (ibadat dan perayaan ekaristi), karena itu aspek sikap liturgis mendapat tempat di hati mereka dan dirayakan secara khusuk. Demikian pula simbol liturgis seperti patung Yesus dan Bunda Maria, salib Yesus, rosario, Kitab Suci, buku-buku doa, bunga dan lilin dapat membatu mereka memahami siapakah Allah itu sesungguhnya.

C.   Dasar  Eklesiologis 
                  1). Visi Gereja
            Gereja adalah persekutuan orang-orang beriman yang percaya kepada Yesus dari Nazaret sebagai Tuhan dan Kristus, begitu rupa sehingga dalam persekutuan itu semua orang beriman bersatu sebagai saudara-saudari seperjuangan. Mereka melibatkan diri dalam “peristiwa Yesus” di tengah dunia melalui kesaksian hidup. Keterlibatannya dimungkinkan oleh karunia Roh Kudus yang mengarah kepada tujuan persekutuan ke dalam Kerajaan Allah. Dalam Gereja semua orang beriman berdasarkan sakramen Baptis, mengambil bagian dalam tugas Yesus Kristus sebagai nabi, imam dan raja sehingga perutusan dan karya Kristus diteruskan dan dikonkritkan di semua tempat di dunia sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.
Dalam konstitusi Konsili Vatikan II tentang Gereja, Lumen Gentium dikatakan, Gereja Katolik yang satu dan tunggal terwujukan dalam diri Gereja-Gereja lokal. Pusat Gereja adalah altar di mana dirayakan Ekaristi. Kristus hadir dalam Gereja Katolik, dalam seluruh jemaat kaum beriman setempat yang sah. Pusat Gereja adalah Kristus (art. 23, 26). Dengan pandangan ini berarti Gereja dibangun dari bawah. Dasarnya adalah janji Kristus: “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”(Matius 18:20). Lumen Gentium (art. 11) berbicara mengenai “Gereja keluarga” dan orang beriman yang ber-“communio”, tidak hanya menghayati iman secara perorangan, tetapi juga sebagai “Gereja”, secara paling dasariah dalam keluarga dan dalam komunitas kecil, di mana semua anggota saling mengenal. Dari kelompok kecil terbentuklah kelompok besar.
                    2).   Misi Gereja
            Gereja dipanggil menjadi “sakramen” atau tanda yang menyatakan kepada masyarakat luas,  bahwa Allah menghendaki keselamatan semua dan setiap orang (LG 1). Misi yang diemban Gereja dilaksanakan dalam bentuk kerja sama dengan siapa saja yang berkehendak baik, menyatu dan membaur dalam masyarakat sekitar, dalam konteks sosial budaya, sosial ekonomi dan memberi kesaksian serta pewartaan tentang Injil Yesus Kristus. Dengan cara demikian Gereja sungguh solider dengan masyarakat, sebab kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan masyarakat dirasakan oleh murid-murid Kristus juga (GS 1).
Tugas ini dijalankan oleh seluruh anggota Gereja, di mana  berdasarkan karisma yang khusus setiap anggota menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan umum Gereja. Pelaksanaan tugas Gereja dinyatakan dalam bentuk pelayanan informal, yaitu: Pengabdian di dalam Gereja yang dijalankan oleh umat pada umumnya berdasarkan sakramen pembaptisan. Pelayanan formal dalam bentuk tugas gerejawi yang dilaksanakan oleh hierarki. Semua anggota Gereja yang terlibat dalam “karya pelayanan”, entah informal maupun formal, dipanggil oleh Roh yang satu untuk bekerja sama, seperti anggota-anggota satu tubuh bekerja sama demi kesejahteraan tubuh itu (1Kor 12).
            Paus Yohanes Paulus II menamai kelompok basis dalam Gereja itu Ecclesial Basic Community (komunitas Basis Gerejawi). Para uskup Asia menyebut gerakan menggereja itu sebagai a new way of being church atau “cara baru menggereja”. Konferensi Para Uskup Asia (FABC) di Bandung menyebutnya sebagai ”rumah dan keluarga bagi setiap orang” dan di Bangkok menyebutnya persekutuan iman yang sejati. Komunitas Basis Gerejawi sebagai gerakan dan strategi menggereja Indonesia, dicanangkan dalam SAGKI 2000.
Konsili Vatikan II  dalam dekrit mengenai tugas misioner Gereja menegaskan, “para Misionaris, yakni para pekerja yang diutus Allah, harus membangun komunitas-komunitas kaum beriman, sehingga mereka mampu menyebarluaskan tugas-tugas keimaman, kenabian dan rajawi yang dipercayakan kepada mereka oleh Tuhan. Sehubungan dengan hal itu, komunitas-komunitas tersebut akan menjadi suatu pratanda bagi kehadiran Allah di dunia” (artikel 15).
            Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik mengenai tugas misioner Gereja Redemptoris Missio (RM art.51) menekankan ”Komunitas Basis Gerejawi merupakan suatu pratanda dari daya hidup (vitalitas) Gereja sendiri, suatu perangkat untuk pembentukan dan pewartaan Injil, serta menjadi permulaan yang mantap bagi suatu masyarakat baru yang berdasarkan cinta kasih. Komunitas-komunitas tersebut bersifat desentral dan membentuk perkumpulan-perkumpulan komunitas paroki, di mana perkumpulan-perkumpulan itu senantiasa dipersatukan ..., dalam perkumpulan itu setiap orang Kristen mengalami perkembangan komunitasnya bahkan rasa dan makna dari komunitas, di mana  mereka berperan aktif dan terdorong untuk berbagi pengalaman serta pemahaman di dalam tugas bersama ... berbarengan dengan itu, berkat karunia cinta Kristus, komunitas-komunitas basis juga menunjukkan betapapun peliknya masalah yang dihadapinya seperti perpecahan atau konflik, masalah kesukuan, atau ras, ternyata bisa diatasi.

           D.  Dasar Sosiologis 
            Arus informasi dan globalisasi telah mengubah struktur-struktur masyarakat. Persekutuan hidup primer yang di dalam masyarakat tradisional dan tertutup menjadi sikap dan cara hidup sehari-hari, akhirnya terkikis oleh perubahan masyarakat. Arus urbanisasi dan migrasi menyebabkan hilangnya hubungan persekutuan antar manusia yang primer itu. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak merasakan kebahagiaan, jika di dalam hidupnya tidak dapat menentukan persekutuan primer, tempat berbagi rasa, pengalaman dan tugas-tugas hidupnya. Terdapat kecenderungan untuk menciptakan komunitas-komunitas baru yang tidak berdasarkan atas ikatan tempat tinggal saja, melainkan juga atas ikatan-ikatan profesi, pekerjaan hoby, keprihatinan, dan sebagainya. Maka dalam Gereja mulai dihidupkan persekutuan dasar itu, yang dikenal dengan istilah KBG (Komunitas Basis Gerejawi).
Kalau membaca dan menanggapi situasi zaman ini, kita dapat melihat bahwa pilihan strategis hidup menggereja yang menjawabi tantangan zaman adalah komunitas basis. Zaman ini ditandai oleh berbagai perubahan dalam berbagai bidang kehidupan yang juga turut mempengaruh cara hidup menggereja. Menurut Rm. Mangunwijaya, masyarakat Indonesia sudah hidup dalam zaman modern dan bahkan pascamodern. Pada zaman seperti ini manusia kembali lagi ke budaya nomad kaum pengembara dan perantau sebagai akibat mobilitas yang tinggi. Karena itu pelayanan berbasis kelompok besar dan penghayatan cara menggereja yang bersifat masal menjadi semakin sulit. Pada saat yang sama, justru kelompok kecil atau keluargalah yang menjadi sasaran pengaruh buruk perkembangan dunia modern. Karena itu situasi menuntut agar bimbingan kehidupan keluarga akan menjadi program Gereja yang sentral dan fundamental.
Persekutuan-persekutuan ini merupakan kekuatan nyata yang dapat mengubah tatanan hidup masyarakat yang beradab dan mereka berada di bawah kendali kaum awam, bukan hierarki Gereja. Akan tetapi jika kita mengembangkan program KBG, orang-orang dalam KBG adalah orang-orang yang sama yang berada dalam organisasi kemasyarakatan. Dengan demikian Gereja menggunakan pengaruhnya dalam tingkat kehidupan masyarakat. Tetapi ini tidak langsung KBG hadir sebagai pusat refleksi biblis-teologis di mana anggota-anggotanya menggali Kitab Suci dan nilai-nilai Kerajaan Allah, di mana mereka digerakkan dan dibimbing oleh ajaran kenabian dan oleh hidup Yesus dan Gereja Perdana. Yang dibawa oleh KBG ke dalam program dan aksi organisasi kemasyarakatan adalah spiritualitas dan semangat Yesus Kristus. Di sini unsur kunci dalam perjuangan bagi pemerdekaan adalah organisasi kemasyarakatan. Masyarakat sendiri yang harus menghadapi masalah mereka sendiri. Mereka harus mengambil keputusan sendiri, dan oleh karenanya memikul tanggung jawabnnya. Bagaimana mungkin mereka dapat menjalankan tugas ini jikalau mereka tidak diorganisir? Karena itu Gereja dapat memainkan peran dalam pengembangan organisasi kemasyarakatan di mana mereka berada. Gereja menjadi pendamping, membantu memudahkan kelahiran organisasi seperti ini.

      3.      Sebab-Sebab  Munculnya  Komunitas Umat Basis/KBG
Berdasarkan sejarahnya, ada beberapa sebab munculnya Komunitas Basis Gerejawi
                A.Kekurangan Pastor dan Tantangan Diktator Militer
Gerakan KBG itu bisa lahir dan berkembang pesat di Brasil bersamaan dengan meluasnya pengaruh teologi pembebasan. Ada beberapa alasan, di antaranya:
            Pertama, Paroki dengan pastor yang terbatas jumlahnya tak mungkin mampu melayani umat untuk urusan liturgi, peribadatan, dan pelayanan sakramental lainnya. Seperti disebut di atas, jumlah penduduk negeri itu sekitar 170 juta (berdasarkan sensus tahun 2000). Kendati hampir semua dibaptis dan menikah secara Katolik, yang boleh disebut Katolik betulan tak lebih dari 74%. Menurut catatan CNBB, Konferensi Waligereja Brasil, dari total penduduk negeri itu, yang benar-benar aktif ke gereja pada hari Minggu cuma 20%. Wilayah paroki sangat luas, pemukiman warga tersebar di seluruh pelosok negeri. Para pastor tidak mungkin bisa mela­yaninya secara intensif, apalagi tiap hari minggu di setiap stasi atau pemukiman yang jauh dari jangkauan pusat paroki. Banyak stasi yang tak terjangkau oleh pelayanan pastor paroki, yang biasanya tinggal di kota­-kota kecil atau kota besar. Maka; lewat KBG, muncul­lah kaum awam setempat yang kemudian mengambil peranan dalam pembinaan keimanan umat, tanpa ha­rus menunggu atau menggantungkan diri pada pela­yanan para pastor.
            Kedua, Hampir semua negara di Amerika Latin mendapat pe­ngaruh yang besar dari Gereja Katolik Spanyol. Na­mun, lain halnya dengan Brasil. Negeri samba itu sangat dipengaruhi oleh Gereja Prancis. Dalam sejarah Gereja Katolik Prancis abad ke-20, banyak lahir unsur dan paham radikal, selain sosialisme Kristen. Semen­tara, ikatan kedua negara juga dipererat oleh pengaruh tarekat yang berkarya di Brasil, yakni Ordo Domini­kan, Apa pengaruhnya? Orang Katolik Brasil sangat terbuka untuk menerima gagasan atau pengaruh ba­ru dari luar, termasuk pengaruh yang radikal sekalipun.
Ketiga, Diktator militer mulai berkuasa di negeri itu tahun 1964. Rezim militer yang disebut-sebut didukung oleh Amerika Serikat untuk menumpas gerakan aksi rakyat yang dicurigai beraliran kiri – dipengaruhi paham Marxisme dan Ateisme – telah menutup berbagai saluran demokratis dari rakyat. Penguasa yang diktator telah menyudutkan Gereja sebagai tempat tumpuan bernaung bagi para penentang rezim militer. Gerakan kerakyatan berduyun-duyun masuk ke lingkaran Gereja Katolik dan membuat Gereja Ka­tolik menjadi lebih memihak kepada rakyat kecil, dan memperjuangkan pembebasan rakyat miskin. Penindasan oleh rezim militer telah dilakukan terhadap berbagai anasir dalam Gereja Katolik. Itu pula yang kemudian membuat Gereja Katolik mengambil posisi berseberangan dengan penguasa militer yang diktator, yang dibekingi oleh Amerika Serikat itu.
            Keempat, Para teolog dan pastor radikal pada tahun 1970-an sampai tahun 1980-an lebih memilih untuk melakukan gerakan "secara diam-diam". Mereka juga bersikap tidak konfrontatif dengan pihak hierarki atau autoritas Gereja sendiri, agar mereka tidak dicampakkan oleh hierarki. Mereka lebih memusatkan kegiatannya da­lam pengembangan organisasi akar rumput, KBG, dan paroki-paroki yang lebih merakyat.

                    B. Kelesuan Pastoral dan Kejutan Gereja Protestan
            Selain faktor-faktor di atas, keadaan internal Gereja Katolik sendiri dan persaingan dengan pelbagai Gereja dan sekte Protestan juga menjadi pendorong lahirnya gerakan KBG. Sejak pertengahan abad ke-20, situasi sosial dan ekonomi berkembang amat cepat. Pembangunan terus bergulir, namun guncangan politik datang silih berganti. Kudeta (atas dukungan Amerika Serikat) terjadi bertubi­-tubi. Militerisme merajalela di hampir semua negara Ame­rika Latin. Dalam situasi politik demikian itu, Gereja setempat tidak menampilkan aksinya. Gereja seolah terlena dan keasyikan dengan aneka upacara di sekitar altar. Cela­kanya lagi, Gereja boleh dibilang nyaris cuma menyentuh umatnya tiga kali selama hidup manusia, yakni pada waktu lahir (dengan baptis), menikah atau mulai berkeluarga (sakramen perkawinan), dan saat meninggal (upacara melepas jasad). Gaya menggereja yang tidak dinamis dan proaktif semacam itu, cepat atau lambat pasti akan usang alias ketinggalan zaman, tak mampu menjawab kebutuhan nyata umatnya.
Maka, mau tidak mau, Gereja harus mengubah gayanya dalam mewartakan Kabar Gembira. Nah, di saat bersantai di "sekitar altar" itu, Gereja Katolik yang sudah hampir seratus persen menguasai se­luruh Amerika Latin, tiba-tiba dikejutkan oleh perkembang­an Gereja-Gereja Kristen Pantekosta. Sebagian umat mulai terpikat oleh gerak Gereja-Gereja Kristen tersebut. Kenapa? Mereka merasa cukup lama "ditelantarkan" oleh pastor atau autoritas Gereja Katolik.
Para pastor terlalu sibuk mene­rimakan sakramen dan mengadakan upacara untuk umat­nya yang tinggal di kota-kota dan wilayah yang mudah dijangkau. Umat Katolik di daerah terpencil bersua dengan pastor tertahbis belum tentu setahun sekali. Untuk bisa ikut beribadah di kota, melewati belantara yang ganas, rasanya kecil kemungkinannya dilakukan umat. Selain minimnya fasilitas transportasi, tidak mungkin umat – yang rata-rata miskin – bisa menyisihkan uang untuk ongkos transpor­tasi ke kota. Padahal umat sebenarnya bisa dikembangkan keimanannya tanpa harus menunggu kedatangan sang pas­tor.
Hal tersebut dibuktikan oleh Gereja-Gereja Pantekosta. Mereka dibimbing dan dipimpin oleh awam, yang tampil dari antara mereka sendiri. Mereka berkumpul dan mene­guhkan iman mereka dengan sumber Kitab Suci. Gerak mereka sungguh menarik bagi umat Katolik yang sudah lama merindukan reksa pastoral dari para klerus. Ternyata, di antara kaum awam sendiri ada yang bisa melakukan "reksa pastoral" dengan gaya Kristen Protestan tersebut. Dalam waktu yang relatif singkat, mereka bisa membuka kelompok-kelompok jemaat sampai ke desa-desa. Tidak sedikit umat Katolik yang tergoda mengikuti mereka. Itu yang membuat Gereja Katolik seolah “kebakaran jenggot”. Maka, Gereja dengan cepat mengambil langkah untuk menghadapi serangan Gereja-Gereja yang gesit itu.

                   C.  Penggabungan Dua Kekuatan
         Tantangan baru itu benar-benar menyadarkan umat Katolik. Maka, mereka mulai mengembangkan gaya meng­gereja yang lebih sesuai dengan tuntutan umat dan situasi setempat. Stasi-stasi yang luas dan berjauhan kemudian dikembangkan dan dipecah-pecah menjadi komunitas-­komunitas lebih kecil, semacam lingkungan atau rukun tetangga. Stasi yang semula dipimpin oleh seorang katekis, dipecah-pecah menjadi komunitas-komunitas kecil dengan tim pastoral yang dipilih di antara umat sendiri untuk men­jadi pemimpinnya. Jadi, kepemimpinan jemaat di tingkat akar rumput berada di tangan tim pastoral yang terdiri dari orang-orang setempat. Stasi konvensional hanya ber­gerak di tataran pembinaan dan pendalaman iman dalam kehidupan sehari-hari, serta menghidupkan semangat ber­agama melalui ziarah dan aneka devosi. Sedangkan komu­nitas (jemaat) basis menghidupkan semangat Injil melalui analisis sosial dalam forum sharing alias tukar pendapat atau berbagi pengalaman dengan terang Kitab Suci. Jadi, agenda utama pertemuan KBG adalah Kitab Suci dan peng­alaman sehari-hari.
Pengembangan KBG sebagai gaya menggereja yang baru di tengah-tengah berkembangnya teologi pembe­basan di benua itu telah berhasil membangun masyarakat lebih adil dan manusiawi. Bahkan pemberdayaan komu­nitas basis juga mampu membendung kampanye yang di­lancarkan oleh Gereja-Gereja Pantekosta di sana. Mengapa gerakan KBG di Brasil dan negara-negara Amerika Latin bisa dikatakan berhasil? KBG di sana mampu menggabung­kan dua faktor kekuatan yang sangat penting. Unsur-unsur terbaik dari Gereja Protestan seperti kepemimpinan di ta­ngan awam dan penonjolan peran sentral Kitab Suci diga­bungkan dengan kekuatan yang dimiliki Gereja Katolik, yakni perayaan liturgi, devosi, dan sikap positif atau kepe­dulian yang besar terhadap masyarakat miskin, terpinggir­kan, dan dunia di sekitarnya.

                   D.  Martir Terbanyak dari Komunitas Basis
           KBG berkembang luas di seluruh Amerika Latin. Me­reka menghadapi keadaan yang sama. Kebetulan, perkem­bangan KBG begitu cepat dan meluas karena berbarengan dengan era pembaruan total Gereja Katolik yang diku­mandangkan lewat Konsili Vatikan II (1962-1965) KBG sebagai gaya menggereja yang tanggap terhadap lingkungan dan penderitaan rakyat di sekelilingnya tumbuh kian subur karena mengalami penganiayaan berat. Sejak kemuncul­annya, CEB atau KBG seperti yang dikembangkan dari Brasil itu, senantiasa berusaha menghayati Injil di tengah-­tengah suasana pemerintahan yang demokratis, yang tengah tumbuh di negara-negara Amerika Latin. Namun, pemerintahan demokratis yang mendampingi perkembangan cara baru menggereja yang juga lebih parti­sipatif itu ternyata tidak berlangsung lama.
Serangkaian kudeta militer terjadi. Pemerintahan demokratis yang per­nah ada ditumbangkan oleh rezim militer dukungan Ame­rika Serikat. Gerakan menggereja dengan KBG yang mem­bela kaum miskin dan tersisih kemudian dicurigai oleh rezim militer sebagai gerakan kiri alias dekat dengan sosialis; dan komunis. Ketika itu, AS mempunyai misi untuk mem­bendung pengaruh Marxisme dan Komunisme di depan "pintu"-nya, negara-negara Amerika Latin. Semua yang membela kepentingan rakyat dan kaum miskin dicap sebagai beraliran kiri, sebagai gerakan dari ideologi Marx­isme dan Komunisme. Pendek kata, siapa pun yang mela­kukan pembelaan terhadap kaum papa dan terpinggirkan, harus dibasmi. Maka, ribuan tokoh yang mengembangkan dan meng­gerakkan KBG seperti pendamping, fasilitator, dan aktivis ditangkap, ditahan, atau dengan gampangnya "dilenyap­kan". Termasuk di antaranya adalah pastor dan suster. Mereka yang membela kepentingan rakyat dianggap anti­rezim militer yang berkuasa. Ada pula yang mendompleng ikut membasmi penggerak KBG, yakni para tuan tanah dan penguasa yang memiliki dendam kesumat karena pernah menjadi korban landreform dan aksi keadilan lain yang dilancarkan oleh aktivis Gereja di masa pemerintahan demokratis.
Tindakan represif dan penumpasan "anasir kiri" itu secara gegabah melibas banyak korban, terutama dari para tokoh dan penggerak KBG. Bahkan bisa dicatat, bahwa dalam sejarah Gereja Katolik selama 2.000 tahun, martir terbanyak yang menyuburkan kehidupan menggereja sebenarnya justru datang dari gerakan itu di Amerika Latin. Ratusan atau bahkan ribuan orang hilang atau dibunuh hanya dalam kurun waktu 1970-1980. Yang menindas dan membasmi para anggota dan penggerak KBG, siapa lagi, kalau bukan sesama orang Katolik, yang sedang berdiri di pihak rezim militer dukungan Amerika Serikat. Penindasan dan pembasmian oleh penguasa tidak meredakan gerakan KBG.
Secara independen mereka tetap bergerak dan membela kepentingan sesamanya yang mis­kin, tak mampu, dan terpinggirkan. Demi cinta dan bela rasa dengan para korban ketidakadilan, tim pastoral de­ngan gigih kemudian menghidupkan dan menggerakkan KBG di berbagai lini. Gaya baru menggereja itu sangat berpengaruh, baik di Brasil maupun di sejumlah negara Amerika Latin. Apakah seluruh umat terlibat aktif dalam aksi menggereja yang digulirkan lewat KBG itu? Masih menurut catatan Pastor John Prior, sebenarnya yang benar-­benar terlibat dan aktif sebagai penggerak tidak banyak. Cuma sekitar 10% dari total penduduk. Persentasenya me­mang kecil, namun pengaruhnya  sungguh luar biasa. 
4. Implikasi Pastoral Dalam Hidup Menggereja Di Indonesia 
 A.   Cara Menggereja secara baru
KBG menemukan lagi Gereja perdana dan daya transformasinya. Sebagai perwujudan dari Gereja Perdana, KBG perlu membarui tugas-tugas Gereja seperti liturgi, koinonia, kerygma/martyria dan diakonia.
Liturgi: KBG sebagai wadah perayaan iman yang bertitik tolak pada realita hidup harian, wadah pengudusan. Karya keselamatan Allah dihadirkan kembali, disadari, dihayati, dirasakan dan diperteguh. Liturgi KBG menyatukan liturgi hati, liturgi kehidupan dan liturgi Gereja (Banawiratma: 48-49). Liturgi menjadi semakin hidup dan bermakna transformatif.
Koinonia: KBG sebagai sebuah persekutuan dasar yang menggereja secara baru (basis umat dan masyarakat) menghidupi pola partisipasi-demokratis, keterbukaan terhadap semua orang, dan kesetaraan dalam menjalankan amanat Injil. Komunitas yang menekankan hubungan pribadi antarumat yang mengarah pada persaudaraan Injili karena Kristus, dan bukan oleh status anggota-anggotanya (kaya-miskin, tua-muda, berpangkat-tidak berpangkat, dari kelompok ini- itu dan sebagainya), persekutuan yang dibangun atas solidaritas. Persekutuan umat yang terbuka karena siap berdialog dengan dan menjadi bagian dari masyarakat umum bahkan membuat masyarakat sekitar mengalami kebahagiaan dan makin banyak orang mengalami kesejahteraan (bdk. Kis 2:47).
Kerygma dan Martyria: KBG menawarkan pada Gereja kesatuan permenungan biblis-teologis dengan analisis sosial dalam terang Sabda Tuhan dan memberi kesaksian berdasarkan inspirasi yang ditimba dari Sabda Tuhan  untuk memperjuangkan yang benar, baik dan adil di tengah masyarakat dan bersama mereka yang berkehendak baik tanpa membedakan agama, suku, status sosial, kelompok membangun tata dunia. Basis tempat evangelisasi baru untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Diakonia: KBG memperluas pelayanan Gereja. Dengan pelayanan duniawi iman Kristiani tidak dapat disempitkan melulu pada tindakan-tindakan peribadatan saja. Pelayanan teristimewa terhadap kaum miskin menjadi buah iman. KBG sebagai wadah yang mewujudnyatakan solidaritas terhadap kecemasan dan kegembiraan dunia dengan menerapkan pola  kesederajatan dalam pelayanan.
Peran KBG di atas baru mengubah praksis Gereja untuk perubahan kalau seluruh praksis pastoral Gereja diubah dan dipahami secara baru. Di bawah ini akan disebutkan beberapa aspek pastoral yang menuntut perubahan visi dan pola kerja pastoral kita untuk mewujudkan tugas Gereja yang baru. Kami mengikuti catatan dari John Prior (Kertas Kerja: 26-31):
B.     Subjek Pastoral
Komunitas BasisGerejawi adalah Basis Pemberdayaan Umat Awam baik karena karisma mereka maupun karena KBG adalah tempat mempertemukan iman dengan kehidupan dunia di mana awam sangat berperan. Oleh karena itu sekarang waktunya para awam bangkit menjadi pelaku kerasulan dan pelaku pastoral. Awam tidak boleh dilihat lagi hanya sekadar objek pastoral atau "kaki tangan" hierarki, tetapi sungguh menjadi subjek/pelaku pastoral. Itu berarti pastoral "pastorsentris" harus sungguh direlativir.  Ujung tombak umat basis sendiri adalah awam karena panggilan awam maupun untuk menghindari efek klerikalisme.
Lalu apa peran hierarki? Hierarki tidak berfungsi untuk mengumpulkan kekuasaan ke dalam tangan mereka sendiri melainkan untuk menyatukan rupa-rupa tipe, jenis, dan fungsi pelayanan (karisma) yang ada. Hierarki memperhatikan serta memelihara keseluruhan visi, misi dan reksa pastoral. Para pemimpin tertahbis berperan untuk keseimbangan dan persaudaraan di antara sekian banyak tugas pelayanan. Karena itu, tidak mengherankan kalau dewan hierarki bertanggung jawab untuk memelihara ajaran yang benar dan memimpin sakramen penganggotaan (Baptisan-Krisma) serta sakramen-sakramen persatuan (Ekaristi, Tahbisan, dan Pengampunan). Para pastor menjadi rekan peziarah yang saling percaya. Para pastor dan umat yang lain mulai bergerak dari anggota Gereja yang membela rumusan baku menjadi umat yang sama-sama menggali kebenaran. Kalau Paroki telah ditata kembali hingga terdiri dari sejumlah (besar) persekutuan paguyuban Komunitas Basis, maka seorang wakil dari masing-masing tim pengurus Komunitas Basis Gerejawi turut mengambil bagian di dalam kepemimpinan umat pada tingkatan lebih luas sebagai anggota Dewan Pastoral Lingkungan (Wilayah, Satasi) misalnya.Pada gilirannya wakil dari masing-masing Lingkungan (Wilayah, Stasi) menjadi anggota Dewan Pastoral Paroki.
C.     Aliansi Pastoral
Kalau Gereja sampai sekarang sering beraliansi dengan para tokoh masyarakat demi keamanan dan keteguhan hidup kelompok, maka Gereja yang berbasis KBG beraliansi dengan: Kelompok "anawim" orang-orang miskin, kaum tani dan buruh, rakyat kecil khususnya kelompok marginal. Artinya pengembangan pelayanan bertolak dari kesatuan kita dengan orang miskin dan lemah di paroki. Dengan mengambil posisi orang miskin, dan orang yang terpinggirkan kegiatan dan cara pastoral dikembangkan secara baru. Pendataan dan kunjungan kepada orang miskin dan orang yang selama ini tidak diperhatikan oleh Gereja menjadi penting untuk memulai pelayanan. Orang miskin harus menjadi pelaku pastoral sehingga perlu mendapat tempat dalam proses pastoral, di Dewan Pastoral atau petugas di KBG.
D.    Gaya kepemimpinan pastoral
Kalau gaya pastoral lama (institusional) cenderung bersifat otoriter, paternalitis, dari atas ke bawah, maka gaya Gereja berbasis KBG bersifat komunikasi iman dan dialogal-partisipatif. Suatu gerakan pastoral dari bawah, dari dan antara kelompok basis. Pastoral yang beralih tekanan:
     1)  Dari pola pembinaan masal yang mengutamakan jumlah besar ke pola pastoral basis yang mengutamakan daya guna dan hasil guna.  Dari pola "serba koordinatif” yang bergaya pejabat/priayi ke pola lebih komunikatif yang merakyat supportif dan inspiratif.
     2)   Dari pola indoktrinasi yang mengejar produk sebanyak mungkin bahan/masukan ke pola partisipasi yang menekankan proses dan keterlibatan aktif peserta. Gaya pastoral baru mementingkan pola proses di mana dibangkitkan penyadaran yang mendalam. Ia tidak terlalu menekankan rumusan-rumusan doktriner tetapi kesadaran beriman. Tidak moralitas, tetapi membangun hidup yang optimis.
      3)   Dalam bidangpengudusan atau liturgi, kegiatan bersifat terpadu antara ibadat dan kehidupan nyata sehari-hari, antara rohani dan jasmani. Tidak bersifat dikotomis. Kekudusan tidak terpusatkan pada praktik-praktik kesalehan, tetapi lebih kepada komitmen, kepada sesama dan dunia. 
      4)   Dalam bidang pembangunan sosial ekonomi pendekatan partisipatif. Bersama umat, oleh umat dan untuk umat, yang membuat umat menemukan lagi kemampuan, harkat dan martabat dirinya.

E.     Bidang kegiatan pastoral
1)      Membangun komunitas kecil
Membangun Gereja/KBG menjadi komunitas kristiani lewat komunitas kecil dan basis, yang disemangati dengan cinta kasih, iman dan harapan yang sama. Gereja masyarakat injili yang berpusat pada Kristus dan dijiwai oleh Roh Kudus. Gereja/KBG yang berdaya hidup alternatif seperti Gereja perdana.
2)      Membangun Kerajaan Allah
Gereja/KBG berada dan hadir bukan untuk dirinya sendiri. Gereja/KBG hendaknya menjadi tanda dan sakramen keselamatan dunia/lingkungannya. Gereja pemerdekaan. Gereja yang akan berusaha untuk membangun Kerajaan Allah di dunia. Itu berarti:
a)   Peranan pelayanan pastoral bergeser dari perhatian pada kepentingan intern Gereja/KBG semata, kepada horison yang lebih luas, yang tujuannya ialah mengembangkan kemanusiaan yang utuh dan terpadu.
b)   Pengertian tentang pelayanan pastoral sebagai yang hanya bertolak dari sudut pandangan pemenuhan karya perutusan/misi, kini berubah menjadi satu pilihan secara sengaja memihak suatu konteks atau kelompok tertentu, di mana kesaksian kenabian, kritik, konsientisasi dan rangsangan, merupakan pelayanan pastoral tersendiri. Kita lebih terbuka pada situasi konkret masyarakat setempat, yang diwarnai oleh kemiskinan.
c)  Gereja/KBG dalam dunia melihat manusia yang konkrit sebagai "locus theologicus" sebagai pokok refleksi teologi. Dialog dengan dunia memaksa orang beriman untuk berefleksi terus atas pengungkapan iman di dalam Gereja/KBG dan perwujudannya dalam hidup sehari-hari.
    F. Tujuan Pastoral
    Tujuan pastoral yang mau dicapai ialah:
    1)  Pengembangan iman umat yang mempribadi tetapi sekaligus beraspek sosial. Ditanam rasa tanggung jawab dan kebebasan anak-anak Allah. Membangun umat yang bisa memberi kesaksian tentang cinta Allah yang menyelamatkan.
   2) Pencapaian keselamatan aktual, sekarang ini di dunia ini, selain keselamatan eskatologis, kelak di surga.
   3) Keselamatan lahir-bathin. Keselamatan bagi manusia yang utuh, keselamatan bagi jiwa raganya. Makanya kita berusaha supaya manusia sungguh menghayati martabatnya sebagai manusia secara utuh melalui proses pemerdekaan dan pemberdayaan.
   G.  Wadah-wadah Pastoral
   1) Kalau Gereja lama (institusional) melihat wilayah paroki yang luas sebagai wadah pastoralnya dengan perhatian utama pada stasi pusatnya, maka Gereja baru justru melihat kelompok basis Gerejani sebagai pusat kegiatan pastoralnya. Kelompok basis sungguh menjadi basis pastoralnya.
   2) Organisasi-organisasi massa sebagai wadah kegiatan pastoral memang tidak diabaikan, namun pola pastoral ini lebih memusatkan perhatiannya pada kelompok-kelompok kecil yang terbentuk oleh kesamaan fungsional. Perhatian pastoral tidak bersifat massal, tetapi pastoral kelompok kecil dan pastoral jaringan simpul-simpul (Mangunwijaya).
H.    Proses Pastoral
   1)   Pertama: melihat, mendalami dan menganalisis situasi sehingga kita mendapat gambaran yang cukup lengkap tentang kenyataan hidup masyarakat. Kenyataan hidup itu bisa baik, bisa juga problematis dan buruk.
   2)   Langkah berikutnya ialah refleksi biblis dan teologis. Refleksi biblis/teologis ini menolong kita untuk menemukan visi kristiani untuk menyoroti situasi yang ada dan mencari jalan untuk usaha penanganannya (membuat program). Dengan itu diharapkan program kerja yang direncanakan sungguh bersifat pastoral.
   3) Langkah berikutnya ialah menyusun rencana untuk bertindak. Rencana yang disusun hendaknya sesuai dengan tuntutan-tuntutan pembuatan suatu rencana kerja yang baik.
     4)   Langkah terakhir ialah pelaksanaan program.
Sesudah pelaksanaan program, mungkin tercipta suatu situasi baru (lebih baik atau lebih buruk) atau situasinya tetap sama (tidak atau belum berhasil). Situasi itu dilihat, dialami dan dianalisis dstnya.Ini adalah spiral pastoral yang bertujuan untuk mengubah, untuk bertransformasi. Kalau proses ini terus berjalan secara baik, ia akan membawa perubahan demi perubahan, proses transformasi dengan banyak segi bisa terjadi. Dengan demikian komunitas-komunitas itu akan semakin bersikap kristiani atau gerejani. Gaya hidup alternatif bisa dipupuk. Proses pastoral ini menuntut supaya pastisipasi umat KBG dilibatkan semaksimal mungkin. Mereka turut menganalisis situasi, merefleksikannya dari segi iman, bersama-sama menyusun rencana dan melaksanakannya. Suatu proses pemberdayaan seluruh umat sudah terjadi.



SUMBER ACUAN:

Alkitab Deuterokanonika.Jakarta: Percetakan LAI, 2012.
Dister, Nico Syukur OFM, Dr, Teologi Sistematika, Jogjakarta: Kanisius, 2004.
Diktat Matakuliah;Ajaran Sosial Gereja, STFT Widya Sasana, Malang: 2011.
___________;Pastoral Pengantar, STFT Widya Sasana Malang: 2011.
Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi, Jogjakarta: Kanisius, 1996.
Konferensi Waligereja Indonesia, Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 2004.
Margana, A, Komunitas Basis: Gerak Menggereja Kontekstual, Jogjakarta: Kanisius, 2004.
Susanto, Harry, SJ, (Terj.) Katekismus Gereja Katolik, Jogjakarta: Kanisius 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Pembuktian Kebenaran dan Pengandaian Kesalahan (Resensi dan Kajian Moral atas Film DOUBT)   (Oleh: Werenvridus Sadan, dkk)     I  ...