Rabu, 14 Oktober 2015

Perjanjian Damai Tumbang Anoi 1894



SEJARAH
" RAPAT DAMAI TUMBANG ANOI "
TAHUN 1894

Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi sebenarnya diawali dengan adanya Pertemuan Pendahulu di Kuala Kapuas, tanggal 14 Juni 1893. Dalam pertemuan tersebut membahas beberapa hal diantaranya  adalah :
1.  Memilih siapa yang berani dan sanggup menjadi ketua dan sekaligus sebagai Tuan Rumah untuk menghentikan 3 H (Hakayau=Saling Mengayau, Hapunu=Saling Membunuh, dan Hatetek=Saling Memotong Kepala Musuhnya).
2.   Merencanakan Tempat Rapat Damai.
3.      Kapan Pelaksanaan Rapat Damai.
4.      Berapa lama Sidang Rapat Damai itu bisa dilaksanakan.
Satu-satunya Kepala Suku yang mengajukan diri untuk menjadi Tuan Rumah Pertemuan Akbar itu adalah Damang Batu, yaitu Kepala Suku Dayak Ot Danum di Tumbang Anoi. Terpilihnya Damang Batu karena semua yang hadir, juga tahu bahwa Damang Batu memiliki wawasan yang luas tentang adat-istiadat Suku Dayak di Kalimantan pada waktu itu Damang Batu juga Menyanggupi untuk menjadi Tuan Rumah sekaligus Menanggung Biaya Pertemuan yang direncanakan kurang lebih selama 3 bulan. Ketika itu Damang Batu sudah berumur 73 tahun tapi masih kelihatan sehat, Perawakan Tinggi dan agak Kurus.

Akhirnya dalam Pertemuan Pendahulun ini disepakati bahwa :
1.  Pertemuan Damai akan dilaksanakan di Tumbang Anoi, yaitu di Betang tempat tinggalnya Damang Batu.
2.      Diberikan waktu 6 bulan bagi Damang Batu untuk persiapan.
3.      Pertemuan itu akan berlangsung selama 3 (tiga) bulan lamanya.
4.   Undangan disampaikan melalui Tokoh Adat/Kepala Suku masing-masing daerah secara lisan sejak bubarnya rapat di Tumbang Kapuas.
5.  Utusan yang akan menghadiri Pertemuan Damai itu haruslah Tokoh atau Kepala Suku yang betul-betul menguasai adat-istiadat di daerahnya masing-masing.
6.    Pertemuan Damai itu akan di mulai tepat pada tanggal 1 Januari 1894 dan akan berakhir pada tanggal 30 Maret 1894.

Selama lima bulan hingga akhir 1893, Damang Batu tak pernah menetap di desanya. Ia terus berkeliling ke desa lain untuk mengumpulkan makanan. Damang Batu juga menyiapkan 100 kerbau miliknya untuk makanan para undangan. Ia juga meminta masyarakat di Tumbang Anoi dan sekitarnya membangun pondok bagi tamu Undangan Rapat.

Sebanyak 152 Suku telah  Hadir di Tumbang Anoi, dalam Rapat yang berlangsung selama  2 bulan sejak 22 Mei hingga 24 Juli 1894 itu, sekitar 1.000 orang hadir. Mereka terdiri dari Kepala Suku-Suku Dayak dan sejumlah Pejabat Kolonial Belanda wilayah Borneo.

Nama-nama yang Hadir dalam Pertemuan tersebut sebagaimana Catatan Damang Pijar, Kepala Adat Kahayan Hulu, adalah sebagai berikut:

Pejabat Kolonial Belanda
1.     Asisten Residen Hoky dari Banjarmasin
2.     Kapten Christofel dari Kuala Kapuas
3.     Letnan Arnold dari Kuala Kapuas
4.     Raden Johannes Bangas dari K. Kapuas
5.     Jaksa Sahabu dari Kuala Kapuas
6.     Tamanggung Dese dari Kuala Kapuas
7.     Juragan Tumbang dari Kuala Kapuas

Sungai Barito (Kalimantan Tengah)
8.    Suta Nagara, Telang
9.   Tamanggung Jaya Karti, Buntok
10.  Tamanggung Sura, Buntok
11.  Mangku Sari, Tumbang Teweh
12.  Tamanggung Surapati, Siang
13.  Tamanggung Awan, Saripoi
14.  Tamanggung Udan, Nyarung Uhing
15.  Jaga Beruk, Tumbang Kunyi
16.  .Raden Sahidar, Tumbang Jelay
17.  .H. Bamin, Tumbang Jelay
18.  Tamanggung Hadangan, Tumbang Likoi
19.  Tamanggung Lenjung, Tumbang Lahei
20.  H. Bahir, Tumbang Lahung
21.  H. Halip, Tumbang Lahung

Sungai Mahakam (Kalimantan Timur)
22.   Bang Ijuk, Batu Salak
23.   Kawing Irang, Batu salak
24.   Bang Lawing, Batu salak
25.   Taman Lasak, Tumbang Pahangei
26.   Juk Bang, Tumbang Pahangei
27.   Juk Lai, Tumbang Pahangei
28.   H. Burit, Samarinda
29.   Taman Jejet, Long Iram
30.   Taman Kuling, Kenyahulu
31.   Hang Lasan, Tumbang Nawang
32.   Barau Lulung, Tumbang Pahangei

Sungai Kapuas (Kalimantan Tengah)
33.  Damang Ujang, Pujon
34.  Tamanggung Tukei, Tumabang Bukoi
35.  Damang Suling, Tumbang Tihis
36.  Damang Jungan, Tumbang Bukoi
37.  Damang Pilip, Tumbang Rujak
38.  Temanggung Tewung, Tumbang Sirat
39.  Damang Antis, Taran
40.  Jaga Ajun, Tumbang Tampang
41.  Tamanggung Jahit, Danau Tarung
42.  Tamanggung Tiung, Tumbang Tarang
43.  Siang Irang, Bulau Ngandung
44.  Raden Timbang, Tumbang Tihis
45.  Damang Rahu, Tumbang Tihis

Sungai Kahayan (Kalimantan Tengah)
46.  Damang Rambang, Pangkoh
47.  Singa Rawe, Petak Bahandang
48.  Ngabeh Suka, Pahandut
49.  Tamanggung lawak, Bukit Rawi
50.  Jaga Kamis, Bawan
51.  Damang Sawang, Pahawan
52.  Tundan, Guha
53.  Dambung Tahunjung, Sepang Simin
54.  Dambung Turung, Tuyun
55.  Jaga Saki, Luwuk Sungkai
56.  Kiai Nusa, Tumbang Hakau
57.  Singa Laju, Hurung Bunut
58.  Singa Mantir, Tewang Pajangan
59.  Raden Binti, Tampang
60.  Mangku Tarung, Tampang
61.  Tamanggung Tuwan, Kuala Kurun
62.  Singa Ranjau, Kuala Kurun
63.  Ngabe Hanjung, Tumbang Manyangan
64.  Damang Murai, Tewah
65.  Dambung Nyaring, Tewah
66.  Singa Mantir, Kasintu
67.  Singa Antang, Batu Nyiwuh
68.  Tamanggung Tawa, Tumbang Habaon
69.  Tembak, Tumbang Hanbaon
70.  Damang Sangkurun, Kuala Kurun
71.  Damang Kacu, Datah Pacan
72. Mangku Saman, Tumbang Marikoi
73.  Singa Saing, Tumbang Marikoi
74.  Bahau, Tumbang Marikoi
75.  Singa Ringin, Tumbang Maraya
76.  Mangku Rambung, Lawang Kanji
77.  Akin, Lawang Kanji
78.  Mangku Rambung, Tumbang Rambangun
79.  Damang Batu, Tumbang Anoi
80.  Dambung Karati, Tumbang Anoi
81.  Dambung Sanduh, Lawang Dahorang
82.  Singa Dohong, Tumbang Mahorai
83.  Raden Pulang, Tumbang Mahorai

Sungai Miri - Hamputung (KalTeng)
84.   Dambung Odong, Tumbang Miri
85.   Dambung Saiman, Sungai Hurus
86.  Singa Kenting, Tumbang Korik
87.  Jaga Jalan, Tumbang Korik,
88.  Tamanggung Paron, Tumbang Sonang
89.  Damang Kawi, Tumbang Sonang
90.   Tamanggung Pandung, Tumbang Musang
91.   Damang Teweh, Tumbang Pikot
92.   Damang Patak, Tumbang Hujanoi
93.  Mangku Turung, Mangkuhung
94.   Dambung Besin, Tumbang Manyei
95.   Singa Tukan, Tumbang Masukih
96.   Singa Dengen, Harueu
97.   Damang Jinan, Tumbang Manyoi

Sungai Rungan, dan Manuhing (KalTeng)
98.   Damang Singa Rangan, Tumbang Malahoi,
99.   Singa Ringka, Tumbang Malahoi
100. Damang Bakal, Manuhing
101. Tamanggung Hening, Manuhing

Sungai Katingan,Samba, Seruyan, Kalang, Sanamang (Kalimantan Tengah)
102. Damang Anggen
103.  Dambung Rahu, Talunei
104.  Damang Sindi, Lahang
105.  Damang Bundan, Tumbang Sanamang
106.  Raden Runjang, Tumbang Panei
107. Dambung Panganen, Tumbang Panei
108.  Raden Tinggi, Balai Behe
109.  Tamanggung Penyang, Tumbang Bemban
110.  Tamanggung Rangka, Tumbang Sanamang
111.  Tamanggung Tumbun, Rantau Pulut
112.  Damang Jungan, Tumbang Kalanti
113.  Singa Antang Kalang, Tumbang Gagu
114.  Tamanggung Johan, Tumbang Manggu
115.  Damang Awat, Tumbang Basain
116.  Tamanggung Bahe, Rantau Tapang
117.  Raden Maung, Tumbang Hangei
118.  Tamanggung Luhing, Tumbang Atei

Kalimantan Barat
119.  Condrohur, Tumbang Jinuh
120.  H. Mansyur, Tumbang Jinuh
121.  Tamanggung Bungai, Tumbang Ela
122.  Marta Jani, Nasa Jinuh
123.  Kiai Saleh, Manukung
124.  Raden Adong, Manukung
125.  Raden Paku, Manukung
126.  H.Mas Maruden, Sakasa

Sungai Serawai, Serawak (Kalimantan Utara
127.  Raden Lang Laut, S. Sarawai
128.  Raden Bundung, Tuntama, S.Serawai
129. Raden-Singa Luwu, Malakan, S. Serawai
130.  Raden Damang Bewe, Mantonai, S. Serawai
131.  Tamanggung Singa Nagara, Tumbang Nyangai, S. Serawai
132.  Tamanggung Mangan, Batu Saban, S. Serawai
133. Tamanggung Tingai, Punan Mandalan, S. Serawai
134.  Tam Juhan, Tumbang Karamei, S Serawai
135.  Tam Dulah, Tumbang Balimbing, S. Serawak
136.  Tam Sarang, Mondai, S. Serawai.

Dari Sumber  Lain :

Utusan Kalimantan Selatan
- Kerajaan Banjar Kayu Tangi oleh Pangeran Hidayatullah di kirim utusan khusus
  sebanyak 3 (tiga) orang.

Utusan Kalimantan Barat
- Utusan dari Kesultanan KalBar :  Raden Mas Brata Kusuma Jaya.
- Utusan dari Kolonial Belanda kedudukan di Nanga Pinuh di hadiri oleh Controleur C.W.Aernout.

Utusan dari Kalimantan Timur :
1. Ketua : Bang Cuk Lui (Suku Dayak Kenyah)
2. Wakil Ketua : Bang Lawing
3. Anggota : Taman Jajit,  Taman Kuling  Haji Burit
4. Haji Bamin (Utusan Kutai)

Sungai Kapuas
1.  Damang Anum Jayakersa (Pulau Petak)
2.  Raden Huda Jaya Pati Rapat (Muara Kuatan).

Sumber:
http://kulturdayak.blogspot.com/p/perjanjian-damai-suku-dayak-tumbang-anoi.html

Cerpen Budaya



Mondok 

Pada zaman dahulu hiduplah sepasang suami isteri dengan dua orang anak yakni si sulung Bujang dan si kecil Bagas. Keluarga ini sangat sederhana dengan pekerjaan tetap sebagai petani karet. Karet merupakan andalan keluarga mereka disamping berladang. si sulung berusia sekitar duabelas tahun dan si kecil berusia lima tahun.
Pada suatu pagi yang cerah di musim libur, kedua kakak beradik ini ikut kedua orangtuanya bekerja di ladang. Si kecil hanya duduk-duduk saja di atas sebatang pohon besar yang sudah tumbang di tengah ladang mereka. ia menggunakan tangoi untuk melindungi dirinya dari sengatan matahari. Dan si sulung sedang asyik mencabuti rumput liar di sekitar tanaman padi dan tanaman sayuran lainnya seperti mentimun, kacang, labu dll dekat adiknya duduk. Sesekali ia memperhatikan adiknya yang asyik bermain dengan belalang yang ditangkapnya. Namun siang itu cuaca berubah dan mulai tampak mendung. Saat itu cuaca sedang buruk. Di langit mulai terdengar bunyi halilintar bersahutan. Tak lama kemudian si sulung mengajak adik kesayangannya pergi ke pondok yang tidak jauh dari ladang. Ia menggendong adiknya di tengah ladang rimba yang banyak rawa-rawa kecil. Dan sesekali kakinya terperosok ke dalam lumpur hingga sebatas lututnya.
Dalam gendongan kakaknya, si kecil sesekali bertanya tentang sesuatu yang ia lihat di tengah ladang.
“Apa tu bang?” katanya seraya menunjukkan telunjuknya ke atas.
“Oo.. itu burung punai dik”
“Bang liat” sekali lagi ia menunjuk namun ke arah yang berbeda.
“dik, itu namanya sarang tupai..” kebetulan ada seekor tupai melintas di atas mereka. saat itu si sulung teringat entelong tupai  yang dibuatnya dekat pondok mereka.
Tampaknya adiknya ini memiliki rasa ingin tahu yang dalam. Kakaknya dengan sabar menjelaskan apa saja yang dilihatnya dengan senyuman dan tawa kecil karena adiknya itu amat lucu. Ketika hendak memasuki pondok sederhana yang terbuat dari atap daun jaong dan bertiang kayu bulat yang kuat serta berdinding kelibak yang cukup kuat, kakaknya menurunkan adiknya dan ia menarik sebuah tangga kecil yang dinaikkan ke atas pondok. Kebiasaan penduduk yang memiliki pondok di ladang ialah menarik tangga dan memasukkan ke dalam pondok jika pemilik pondok tidak di tempat. Hal ini untuk menghindari masuknya binatang atau anjing yang kadang-kadang mengganggu peralatan masak di dalam pondok.
Saat berada di dalam pondok, si sulung melepaskan bajunya karena basah kena keringat dan menjemurnya dijemuran pondok. Sedangkan adiknya langsung duduk di dalam pondok dengan masih memegang seekor belalang tangkapan kakaknya. Tak lama kemudian gerimis mulai turun, makin lama makin menjadi dan akhirnya hujan deras turunlah pula. Dari jauh dilihatnya kedua orangtuanya sedang tergesa-gesa menuju pondok. Mereka tampak basah karena kehujanan. Si sulung mulai menyalakan api dan memanaskan air yang ada di dalam panci kecil. Rupanya ia tahu kebiasaan ibunya yang setiap kali datang dari ladang pastilah membawa sayur-sayuran untuk disantap saat makan siang.
“Bujang, tolong bersihkan dulu bayam ini, setelah itu dimasak ya nak” perintah ibunya yang tampak kelelahan. “Ibu mau membersihkan badan dulu di sungai”. Katanya lagi.
“iya bu” jawab si sulung dengan bergegas ia mengeluarkan bayam dan jenis sayuran lain dari dalam taken  ibunya. Sementara itu sang ayah duduk sambil melintingi rokoknya. Sesekali ia juga memperhatikan anak bungsunya yang sedang asyik bermain dengan belalangnya. Untuk usia seperti itu seharusnya ia sudah duduk di bangku TK, namun di desa mereka belum ada TK. Tahun depan ia sudah mulai masuk SD.
Kehidupan ekonomi mereka boleh dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga biaya sekolah si sulung. Namun sang ayah juga harus lebih berusaha dan giat bekerja demi masa depan kedua anaknya. Ia tak ingin kedua anaknya hidup seperti mereka. Rupanya tanpa sepengetahuan si sulung, sang ayah sudah menyiapkan sejumlah uang hasil karet dan ladangnya untuk menyekolahkan si sulung ke tingkat SLTP. Karena selain menjual karet-karet yang ditoreh pada waktu senggang, ia juga sudah cukup lama menjadi salah satu dari anggota CU yang cukup berkembang dan kebetulan di desanya ada TP dari CU tersebut. Hal ini sudah lama ia pikirkan dan tentunya ia selalu bediskusi dengan isterinya tentang masa depan kedua anak mereka.
Hari sudah menunjukkan pukul empat sore namun hujan masih turun. Mereka bersantap siang bersama di pondok dan sesekali si sulung menoleh ke arah luar hendak melihat apakah mendung masih menebal atau sudah berkurang. Si kecil rupanya sudah tertidur di dekat ibunya yang lagi membersihkan sawi hasil panennya di ladang tadi. Sang ibu sesekali memperhatikan anak bungsunya yang tampak lelah. Mungkin karena capai atau mungkin juga kebiasaan si kecil yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur. Jelas anak seusianya belumlah bisa membantu orangtuanya. Yang bisa dilakukannya mungkin hanya bisa bermain, menangis dan tertawa. Namun mereka sangat menyayanginya ditambah lagi si kecil adalah anak yang periang dan suka bertanya-tanya tentang sesuatu yang belum jelas baginya walau kata-katanya kadang masih belum sempurna.
Tak lama kemudian hujan pun mulai reda. Pekerjaan di ladang tidak bisa diteruskan karena hari hampir petang. Mereka bergegas berkemas dan ibu menggendong si kecil. Sementara itu si sulung menggendong kayu bakar untuk keperluan di rumah. Ayah saat itu sedang membawa senjata lantak dan hari itu ia tidak mendapat seekorpun binatang buruan. Biasanya ladang mereka sering di ganggu sekawanan babi hutan yang ingin mencari makan, tapi hari itu tak seekor pun muncul. Ayah memang tidak suka berburu namun ia terkadang merasa terganggu dengan kehadiran babi hutan yang mengganggu tanaman mereka.
Sesampai di rumah hari pun mulai tampak sedikit agak gelap. Kebetulan jarak antara ladang dan rumah tidaklah jauh hanya sebatang rokok saja. Ibu memandikan si kecil di sungai dan si sulung merapikan kayu-kayunya. Si kecil tampak senang ketika diajak mandi di sungai. Bahkan ia hampir tak mau diajak pulang.
“maa..mandinya lama-lama ya ma?” katanya.
“Gak boleh nak, nanti kamu kedinginan, mama juga udah selesai nyuci, ayo kita pulang nak” jawab ibunya.
Kebiasaan ibunya ialah mencuci pakaian kotor sambil memandikan anaknya. Ibu membiarkan si kecil bermain didekatnya sambil bermain-main air yang tak dalam.
Malam harinya sesudah makan sang ayah duduk di teras rumah sambil menghisap rokoknya dan ibu meneruskan pekerjaan yang biasa dilakukannya pada malam hari yakni menganyam berbagai jenis anyaman. Malam ini ibu menganyam bakul kecil yang biasa digunakan untuk membersihkan beras. Si Bujang sedang membaca di dalam kamar dengan hanya menggunakan pelita kecil. Bujang adalah anak yang cukup pintar di sekolahnya. Selain rajin, dia juga amat patuh dan taat kepada kedua orangtuanya. Meskipun libur seperti saat ini, ia tidak melupakan tugasnya sebagai pelajar. Sementara anak-anak lain mungkin sedang asyik bermain-main di halaman.

  Pembuktian Kebenaran dan Pengandaian Kesalahan (Resensi dan Kajian Moral atas Film DOUBT)   (Oleh: Werenvridus Sadan, dkk)     I  ...