Rabu, 14 Oktober 2015

Cerpen Budaya



Mondok 

Pada zaman dahulu hiduplah sepasang suami isteri dengan dua orang anak yakni si sulung Bujang dan si kecil Bagas. Keluarga ini sangat sederhana dengan pekerjaan tetap sebagai petani karet. Karet merupakan andalan keluarga mereka disamping berladang. si sulung berusia sekitar duabelas tahun dan si kecil berusia lima tahun.
Pada suatu pagi yang cerah di musim libur, kedua kakak beradik ini ikut kedua orangtuanya bekerja di ladang. Si kecil hanya duduk-duduk saja di atas sebatang pohon besar yang sudah tumbang di tengah ladang mereka. ia menggunakan tangoi untuk melindungi dirinya dari sengatan matahari. Dan si sulung sedang asyik mencabuti rumput liar di sekitar tanaman padi dan tanaman sayuran lainnya seperti mentimun, kacang, labu dll dekat adiknya duduk. Sesekali ia memperhatikan adiknya yang asyik bermain dengan belalang yang ditangkapnya. Namun siang itu cuaca berubah dan mulai tampak mendung. Saat itu cuaca sedang buruk. Di langit mulai terdengar bunyi halilintar bersahutan. Tak lama kemudian si sulung mengajak adik kesayangannya pergi ke pondok yang tidak jauh dari ladang. Ia menggendong adiknya di tengah ladang rimba yang banyak rawa-rawa kecil. Dan sesekali kakinya terperosok ke dalam lumpur hingga sebatas lututnya.
Dalam gendongan kakaknya, si kecil sesekali bertanya tentang sesuatu yang ia lihat di tengah ladang.
“Apa tu bang?” katanya seraya menunjukkan telunjuknya ke atas.
“Oo.. itu burung punai dik”
“Bang liat” sekali lagi ia menunjuk namun ke arah yang berbeda.
“dik, itu namanya sarang tupai..” kebetulan ada seekor tupai melintas di atas mereka. saat itu si sulung teringat entelong tupai  yang dibuatnya dekat pondok mereka.
Tampaknya adiknya ini memiliki rasa ingin tahu yang dalam. Kakaknya dengan sabar menjelaskan apa saja yang dilihatnya dengan senyuman dan tawa kecil karena adiknya itu amat lucu. Ketika hendak memasuki pondok sederhana yang terbuat dari atap daun jaong dan bertiang kayu bulat yang kuat serta berdinding kelibak yang cukup kuat, kakaknya menurunkan adiknya dan ia menarik sebuah tangga kecil yang dinaikkan ke atas pondok. Kebiasaan penduduk yang memiliki pondok di ladang ialah menarik tangga dan memasukkan ke dalam pondok jika pemilik pondok tidak di tempat. Hal ini untuk menghindari masuknya binatang atau anjing yang kadang-kadang mengganggu peralatan masak di dalam pondok.
Saat berada di dalam pondok, si sulung melepaskan bajunya karena basah kena keringat dan menjemurnya dijemuran pondok. Sedangkan adiknya langsung duduk di dalam pondok dengan masih memegang seekor belalang tangkapan kakaknya. Tak lama kemudian gerimis mulai turun, makin lama makin menjadi dan akhirnya hujan deras turunlah pula. Dari jauh dilihatnya kedua orangtuanya sedang tergesa-gesa menuju pondok. Mereka tampak basah karena kehujanan. Si sulung mulai menyalakan api dan memanaskan air yang ada di dalam panci kecil. Rupanya ia tahu kebiasaan ibunya yang setiap kali datang dari ladang pastilah membawa sayur-sayuran untuk disantap saat makan siang.
“Bujang, tolong bersihkan dulu bayam ini, setelah itu dimasak ya nak” perintah ibunya yang tampak kelelahan. “Ibu mau membersihkan badan dulu di sungai”. Katanya lagi.
“iya bu” jawab si sulung dengan bergegas ia mengeluarkan bayam dan jenis sayuran lain dari dalam taken  ibunya. Sementara itu sang ayah duduk sambil melintingi rokoknya. Sesekali ia juga memperhatikan anak bungsunya yang sedang asyik bermain dengan belalangnya. Untuk usia seperti itu seharusnya ia sudah duduk di bangku TK, namun di desa mereka belum ada TK. Tahun depan ia sudah mulai masuk SD.
Kehidupan ekonomi mereka boleh dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga biaya sekolah si sulung. Namun sang ayah juga harus lebih berusaha dan giat bekerja demi masa depan kedua anaknya. Ia tak ingin kedua anaknya hidup seperti mereka. Rupanya tanpa sepengetahuan si sulung, sang ayah sudah menyiapkan sejumlah uang hasil karet dan ladangnya untuk menyekolahkan si sulung ke tingkat SLTP. Karena selain menjual karet-karet yang ditoreh pada waktu senggang, ia juga sudah cukup lama menjadi salah satu dari anggota CU yang cukup berkembang dan kebetulan di desanya ada TP dari CU tersebut. Hal ini sudah lama ia pikirkan dan tentunya ia selalu bediskusi dengan isterinya tentang masa depan kedua anak mereka.
Hari sudah menunjukkan pukul empat sore namun hujan masih turun. Mereka bersantap siang bersama di pondok dan sesekali si sulung menoleh ke arah luar hendak melihat apakah mendung masih menebal atau sudah berkurang. Si kecil rupanya sudah tertidur di dekat ibunya yang lagi membersihkan sawi hasil panennya di ladang tadi. Sang ibu sesekali memperhatikan anak bungsunya yang tampak lelah. Mungkin karena capai atau mungkin juga kebiasaan si kecil yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur. Jelas anak seusianya belumlah bisa membantu orangtuanya. Yang bisa dilakukannya mungkin hanya bisa bermain, menangis dan tertawa. Namun mereka sangat menyayanginya ditambah lagi si kecil adalah anak yang periang dan suka bertanya-tanya tentang sesuatu yang belum jelas baginya walau kata-katanya kadang masih belum sempurna.
Tak lama kemudian hujan pun mulai reda. Pekerjaan di ladang tidak bisa diteruskan karena hari hampir petang. Mereka bergegas berkemas dan ibu menggendong si kecil. Sementara itu si sulung menggendong kayu bakar untuk keperluan di rumah. Ayah saat itu sedang membawa senjata lantak dan hari itu ia tidak mendapat seekorpun binatang buruan. Biasanya ladang mereka sering di ganggu sekawanan babi hutan yang ingin mencari makan, tapi hari itu tak seekor pun muncul. Ayah memang tidak suka berburu namun ia terkadang merasa terganggu dengan kehadiran babi hutan yang mengganggu tanaman mereka.
Sesampai di rumah hari pun mulai tampak sedikit agak gelap. Kebetulan jarak antara ladang dan rumah tidaklah jauh hanya sebatang rokok saja. Ibu memandikan si kecil di sungai dan si sulung merapikan kayu-kayunya. Si kecil tampak senang ketika diajak mandi di sungai. Bahkan ia hampir tak mau diajak pulang.
“maa..mandinya lama-lama ya ma?” katanya.
“Gak boleh nak, nanti kamu kedinginan, mama juga udah selesai nyuci, ayo kita pulang nak” jawab ibunya.
Kebiasaan ibunya ialah mencuci pakaian kotor sambil memandikan anaknya. Ibu membiarkan si kecil bermain didekatnya sambil bermain-main air yang tak dalam.
Malam harinya sesudah makan sang ayah duduk di teras rumah sambil menghisap rokoknya dan ibu meneruskan pekerjaan yang biasa dilakukannya pada malam hari yakni menganyam berbagai jenis anyaman. Malam ini ibu menganyam bakul kecil yang biasa digunakan untuk membersihkan beras. Si Bujang sedang membaca di dalam kamar dengan hanya menggunakan pelita kecil. Bujang adalah anak yang cukup pintar di sekolahnya. Selain rajin, dia juga amat patuh dan taat kepada kedua orangtuanya. Meskipun libur seperti saat ini, ia tidak melupakan tugasnya sebagai pelajar. Sementara anak-anak lain mungkin sedang asyik bermain-main di halaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Pembuktian Kebenaran dan Pengandaian Kesalahan (Resensi dan Kajian Moral atas Film DOUBT)   (Oleh: Werenvridus Sadan, dkk)     I  ...