Mondok
Pada
zaman dahulu hiduplah sepasang suami isteri dengan dua orang anak yakni si
sulung Bujang dan si kecil Bagas. Keluarga ini sangat sederhana dengan
pekerjaan tetap sebagai petani karet. Karet merupakan andalan keluarga mereka
disamping berladang. si sulung berusia sekitar duabelas tahun dan si kecil
berusia lima tahun.
Pada
suatu pagi yang cerah di musim libur, kedua kakak beradik ini ikut kedua
orangtuanya bekerja di ladang. Si kecil hanya duduk-duduk saja di atas sebatang
pohon besar yang sudah tumbang di tengah ladang mereka. ia menggunakan tangoi untuk melindungi dirinya dari
sengatan matahari. Dan si sulung sedang asyik mencabuti rumput liar di sekitar
tanaman padi dan tanaman sayuran lainnya seperti mentimun, kacang, labu dll
dekat adiknya duduk. Sesekali ia memperhatikan adiknya yang asyik bermain
dengan belalang yang ditangkapnya. Namun siang itu cuaca berubah dan mulai
tampak mendung. Saat itu cuaca sedang buruk. Di langit mulai terdengar bunyi
halilintar bersahutan. Tak lama kemudian si sulung mengajak adik kesayangannya
pergi ke pondok yang tidak jauh dari ladang. Ia menggendong adiknya di tengah
ladang rimba yang banyak rawa-rawa kecil. Dan sesekali kakinya terperosok ke
dalam lumpur hingga sebatas lututnya.
Dalam
gendongan kakaknya, si kecil sesekali bertanya tentang sesuatu yang ia lihat di
tengah ladang.
“Apa
tu bang?” katanya seraya menunjukkan telunjuknya ke atas.
“Oo..
itu burung punai dik”
“Bang
liat” sekali lagi ia menunjuk namun ke arah yang berbeda.
“dik,
itu namanya sarang tupai..” kebetulan ada seekor tupai melintas di atas mereka.
saat itu si sulung teringat entelong
tupai yang dibuatnya dekat pondok
mereka.
Tampaknya
adiknya ini memiliki rasa ingin tahu yang dalam. Kakaknya dengan sabar
menjelaskan apa saja yang dilihatnya dengan senyuman dan tawa kecil karena
adiknya itu amat lucu. Ketika hendak memasuki pondok sederhana yang terbuat
dari atap daun jaong dan bertiang
kayu bulat yang kuat serta berdinding kelibak
yang cukup kuat, kakaknya menurunkan adiknya dan ia menarik sebuah tangga
kecil yang dinaikkan ke atas pondok. Kebiasaan penduduk yang memiliki pondok di
ladang ialah menarik tangga dan memasukkan ke dalam pondok jika pemilik pondok
tidak di tempat. Hal ini untuk menghindari masuknya binatang atau anjing yang
kadang-kadang mengganggu peralatan masak di dalam pondok.
Saat
berada di dalam pondok, si sulung melepaskan bajunya karena basah kena keringat
dan menjemurnya dijemuran pondok. Sedangkan adiknya langsung duduk di dalam
pondok dengan masih memegang seekor belalang tangkapan kakaknya. Tak lama
kemudian gerimis mulai turun, makin lama makin menjadi dan akhirnya hujan deras
turunlah pula. Dari jauh dilihatnya kedua orangtuanya sedang tergesa-gesa
menuju pondok. Mereka tampak basah karena kehujanan. Si sulung mulai menyalakan
api dan memanaskan air yang ada di dalam panci kecil. Rupanya ia tahu kebiasaan
ibunya yang setiap kali datang dari ladang pastilah membawa sayur-sayuran untuk
disantap saat makan siang.
“Bujang,
tolong bersihkan dulu bayam ini, setelah itu dimasak ya nak” perintah ibunya
yang tampak kelelahan. “Ibu mau membersihkan badan dulu di sungai”. Katanya
lagi.
“iya
bu” jawab si sulung dengan bergegas ia mengeluarkan bayam dan jenis sayuran
lain dari dalam taken ibunya. Sementara itu sang ayah duduk sambil
melintingi rokoknya. Sesekali ia juga memperhatikan anak bungsunya yang sedang
asyik bermain dengan belalangnya. Untuk usia seperti itu seharusnya ia sudah
duduk di bangku TK, namun di desa mereka belum ada TK. Tahun depan ia sudah
mulai masuk SD.
Kehidupan
ekonomi mereka boleh dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
juga biaya sekolah si sulung. Namun sang ayah juga harus lebih berusaha dan
giat bekerja demi masa depan kedua anaknya. Ia tak ingin kedua anaknya hidup
seperti mereka. Rupanya tanpa sepengetahuan si sulung, sang ayah sudah
menyiapkan sejumlah uang hasil karet dan ladangnya untuk menyekolahkan si
sulung ke tingkat SLTP. Karena selain menjual karet-karet yang ditoreh pada
waktu senggang, ia juga sudah cukup lama menjadi salah satu dari anggota CU
yang cukup berkembang dan kebetulan di desanya ada TP dari CU tersebut. Hal ini
sudah lama ia pikirkan dan tentunya ia selalu bediskusi dengan isterinya
tentang masa depan kedua anak mereka.
Hari
sudah menunjukkan pukul empat sore namun hujan masih turun. Mereka bersantap
siang bersama di pondok dan sesekali si sulung menoleh ke arah luar hendak
melihat apakah mendung masih menebal atau sudah berkurang. Si kecil rupanya
sudah tertidur di dekat ibunya yang lagi membersihkan sawi hasil panennya di
ladang tadi. Sang ibu sesekali memperhatikan anak bungsunya yang tampak lelah.
Mungkin karena capai atau mungkin juga kebiasaan si kecil yang lebih banyak
menghabiskan waktu untuk tidur. Jelas anak seusianya belumlah bisa membantu
orangtuanya. Yang bisa dilakukannya mungkin hanya bisa bermain, menangis dan
tertawa. Namun mereka sangat menyayanginya ditambah lagi si kecil adalah anak
yang periang dan suka bertanya-tanya tentang sesuatu yang belum jelas baginya
walau kata-katanya kadang masih belum sempurna.
Tak
lama kemudian hujan pun mulai reda. Pekerjaan di ladang tidak bisa diteruskan
karena hari hampir petang. Mereka bergegas berkemas dan ibu menggendong si
kecil. Sementara itu si sulung menggendong kayu bakar untuk keperluan di rumah.
Ayah saat itu sedang membawa senjata lantak dan hari itu ia tidak mendapat
seekorpun binatang buruan. Biasanya ladang mereka sering di ganggu sekawanan
babi hutan yang ingin mencari makan, tapi hari itu tak seekor pun muncul. Ayah
memang tidak suka berburu namun ia terkadang merasa terganggu dengan kehadiran
babi hutan yang mengganggu tanaman mereka.
Sesampai
di rumah hari pun mulai tampak sedikit agak gelap. Kebetulan jarak antara
ladang dan rumah tidaklah jauh hanya sebatang
rokok saja. Ibu memandikan si kecil di sungai dan si sulung merapikan
kayu-kayunya. Si kecil tampak senang ketika diajak mandi di sungai. Bahkan ia
hampir tak mau diajak pulang.
“maa..mandinya
lama-lama ya ma?” katanya.
“Gak
boleh nak, nanti kamu kedinginan, mama juga udah selesai nyuci, ayo kita pulang
nak” jawab ibunya.
Kebiasaan
ibunya ialah mencuci pakaian kotor sambil memandikan anaknya. Ibu membiarkan si
kecil bermain didekatnya sambil bermain-main air yang tak dalam.
Malam
harinya sesudah makan sang ayah duduk di teras rumah sambil menghisap rokoknya
dan ibu meneruskan pekerjaan yang biasa dilakukannya pada malam hari yakni
menganyam berbagai jenis anyaman. Malam ini ibu menganyam bakul kecil yang
biasa digunakan untuk membersihkan beras. Si Bujang sedang membaca di dalam
kamar dengan hanya menggunakan pelita kecil. Bujang adalah anak yang cukup
pintar di sekolahnya. Selain rajin, dia juga amat patuh dan taat kepada kedua
orangtuanya. Meskipun libur seperti saat ini, ia tidak melupakan tugasnya
sebagai pelajar. Sementara anak-anak lain mungkin sedang asyik bermain-main di
halaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar