FILSAFAT
POLITIK: aktivitas manusia sejauh manusia
sebuah refleksi atas filsafat politik
Semua manusia bisa berpolitik?
Berpolitik
adalah tugas dan aktifitas manusia sejauh itu adalah manusia. Artinya berpolitik
bukan monopoli para politikus dan orang-orang yang terjun di dunia
perpolitikan. Pengalaman keseharian setiap manusia memberi ruang tersendiri
baginya untuk bertindak sesuai panggilan nuraninya. Inilah yang menjadikan
manusia itu sebagai makhluk yang dipenuhi degan hasrat dan keinginan untuk
hidup bersama. Berpolitik bukan sekedar duduk merenung dan memejamkan mata
namun lebih mengarah kepada kegiatan, pengamatan dan pengalaman keseharian
manusia. (Politik= polis <Yunani>, yg artinya negara, kota, tata hidup
bersama).
Sejarah dan identitas?
Ilmu
politik pertama-tama menggeluti bidang sejarah dan identitas. Semua ini
dicakup dalam wilayah yang amat luas. Inilah tema-tema yang amat krusial:
sejarah dan identitas. Berbicara mengenai identitas tentu tidak lepas dari
pemberian makna kehadiran. Perkara identitas kerap berada dalam wilayah
ketegangan subjektivitas dan objektivitas. Sejarah
tidak serta merta dilupakan dalam dunia perpolitikan. Sebab aktivitas
berpolitik tidak bisa dicabut dari pergumulan dan warisan leluhur sejarah.
Sebagai contoh, kita tidak bisa menutup mata terhadap para korban G30S yang
konon mencapai jutaan nyawa tak berdosa.
Politik itu mengedepankan nilai-nilai luhur manusia.
Hal ini berkaitan dengan politik simpatik. Artinya politik itu tidak sekedar
pencitraan belaka melainkan perkara pengelolaan tata hidup bersama yang
menjadikan negara itu layak huni, manusiawi dan baik. Perluasan makna politik
juga merambah ke wilayah agama dengan segala macam “gandeng”-nya kekerasan dan
agama seperti terorisme dan radikalisme. Terorisme telah menjadi problem pelik
seakan membuat bangsa ini berjalan maju mundur.
Berpolitik kerap
berada pada wilayah ketegangan pertarungan yang merambah identitas. Para elite politik menempatkan identitas pada ranah darah
dan keturunan, pada wilayah agama dan ideologi, dan pada ranah geografis
kedaerahan suku. Politik identitas adalah politik primordial. Negara ini
disusun berdasarkan pergulatan identitas. “Siapakah manusia-manusia
Indonesia?”. Pertanyaan “siapakah” meminta definisi identitas. Sukarno
merumuskan identitas Indonesia dalam bungkus Pancasila. Politik pergumulan identitas
bangsa ini memiliki rujukan indah pada semangat awali “gerakan-gerakan
pencerahan”. Aktifitas berpolitik memiliki tujuan indah agar Indonesia semakin
menjadi bangsa. Tujuannya tidak pernah tuntas. Namun setiap momen peradaban
mengukir pelajaran berharga dalam rangka “menjadi bangsa”
Kaitan politik dengan filsafat?
Filsafat politik
berada pada ranah ilmu politik. Sokrates
sang politikus sejati memproklamirkan bahwa filsafat adalah aktifitas pencarian
kebijaksanaan. Dunia yang menjadi locus/tempat dalam berfilsafat memberi nilai lebih
dalam memandangnya sebagai tempat yang layak untuk dihuni, yang diisi dengan
solidaritas dan hormat manusiawi satu sama lain. Aristoteles menunjukkan
bagaimana filsafat itu adalah sebuah ilmu yang sangat agung. Baginya politik
adalah lapangan ilmu yang melingkupi berbagai disiplin ilmu lain. Kita mengenal
Soekarno, Tan Malaka dan Mohamad Hatta sebagai orang yang memaknai
politik sebagai sarana untuk berjuang melawan ketidakadilan saat itu.
Berfilsafat
politik memiliki kaitan erat dengan sebuah tindakan merenung dan merefleksikan
pergumulan tata hidup manusia sehari-hari. Politik itu refleksif dengan kodrat
refleksivitas kehadiran manusia. Refleksivitas menggapai kedalaman dan
kebenaran hidup manusia. Eric Voegelin, Leo Strauss, Martin Heidegger, Charles
Taylor menggarisbawahi makna keseharian untuk mencapai kepenuhan. Politik tanpa
refleksivitas adalah kedangkalan. Tata hidup bersama jika dikelola dalam
kedangkalan akan didominasi oleh kerancuan dan kebobrokan.
Jauh
dari itu ternyata ilmu politik kerap bersentuhan dengan ilmu pengetahuan benar
atau salah dalam kebijakan politik. Salah benar itu berada dalam pengetahuan
budi dan bukan dalam ranah konkret hidup sehari-hari. Bersinggungan dengan
paradigma utilitarian ialah berlakunya prinsip mayoritas minoritas.
Latar
belakang Politik
Politik memiliki
latar atau konteks peradaban filosofis. Menarik bahwa latar konteks filosofis
itu dikemas dalam bungkus “postmodern”. Postmodern ingin mengkritik kemajuan
manusia modern yang kurang manusiawi. Penekanan di sini ialah postmodern
mengarah pada wilayah politik. Politik postmodern mempromosikan equality. Jika politik identik dengan
urusan maskulin, kini juga merambah wilayah feminitas yang lebih
menyetarakan kedudukan perempuan sama dengan laki-laki. Derrida, Simone de
Bauvoir dan Julia Kristeva adalah filsuf-filsuf yang mengkritik peradaban
maskulinistik sebagai produk kesombongan societas. Martabat wanita yang
direndahkan dalam kancah politik kini ditinggikan. Keterpurukan societas
melahirkan terorisme dan radikalisme atas nama agama. Keadaan itu diperburuk
oleh keadaan societas yang kondusif: perkara kesejahteraan ekonomi dan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar