Jumat, 09 Oktober 2015

FILSAFAT POLITIK : AKTIVITAS MANUSIA



FILSAFAT POLITIK: aktivitas manusia sejauh manusia
sebuah refleksi atas filsafat politik 

Semua manusia bisa berpolitik?
Berpolitik adalah tugas dan aktifitas manusia sejauh itu adalah manusia. Artinya berpolitik bukan monopoli para politikus dan orang-orang yang terjun di dunia perpolitikan. Pengalaman keseharian setiap manusia memberi ruang tersendiri baginya untuk bertindak sesuai panggilan nuraninya. Inilah yang menjadikan manusia itu sebagai makhluk yang dipenuhi degan hasrat dan keinginan untuk hidup bersama. Berpolitik bukan sekedar duduk merenung dan memejamkan mata namun lebih mengarah kepada kegiatan, pengamatan dan pengalaman keseharian manusia. (Politik= polis <Yunani>, yg artinya negara, kota, tata hidup bersama).

Sejarah dan identitas?
Ilmu politik pertama-tama menggeluti bidang sejarah dan identitas. Semua ini dicakup dalam wilayah yang amat luas. Inilah tema-tema yang amat krusial: sejarah dan identitas. Berbicara mengenai identitas tentu tidak lepas dari pemberian makna kehadiran. Perkara identitas kerap berada dalam wilayah ketegangan subjektivitas dan objektivitas. Sejarah tidak serta merta dilupakan dalam dunia perpolitikan. Sebab aktivitas berpolitik tidak bisa dicabut dari pergumulan dan warisan leluhur sejarah. Sebagai contoh, kita tidak bisa menutup mata terhadap para korban G30S yang konon mencapai jutaan nyawa tak berdosa.
Politik itu mengedepankan nilai-nilai luhur manusia. Hal ini berkaitan dengan politik simpatik. Artinya politik itu tidak sekedar pencitraan belaka melainkan perkara pengelolaan tata hidup bersama yang menjadikan negara itu layak huni, manusiawi dan baik. Perluasan makna politik juga merambah ke wilayah agama dengan segala macam “gandeng”-nya kekerasan dan agama seperti terorisme dan radikalisme. Terorisme telah menjadi problem pelik seakan membuat bangsa ini berjalan maju mundur.
Berpolitik kerap berada pada wilayah ketegangan pertarungan yang merambah identitas. Para elite politik menempatkan identitas pada ranah darah dan keturunan, pada wilayah agama dan ideologi, dan pada ranah geografis kedaerahan suku. Politik identitas adalah politik primordial. Negara ini disusun berdasarkan pergulatan identitas. “Siapakah manusia-manusia Indonesia?”. Pertanyaan “siapakah” meminta definisi identitas. Sukarno merumuskan identitas Indonesia dalam bungkus Pancasila. Politik pergumulan identitas bangsa ini memiliki rujukan indah pada semangat awali “gerakan-gerakan pencerahan”. Aktifitas berpolitik memiliki tujuan indah agar Indonesia semakin menjadi bangsa. Tujuannya tidak pernah tuntas. Namun setiap momen peradaban mengukir pelajaran berharga dalam rangka “menjadi bangsa”

Kaitan politik dengan filsafat?
Filsafat politik berada pada ranah ilmu politik. Sokrates sang politikus sejati memproklamirkan bahwa filsafat adalah aktifitas pencarian kebijaksanaan. Dunia yang menjadi locus/tempat dalam berfilsafat memberi nilai lebih dalam memandangnya sebagai tempat yang layak untuk dihuni, yang diisi dengan solidaritas dan hormat manusiawi satu sama lain. Aristoteles menunjukkan bagaimana filsafat itu adalah sebuah ilmu yang sangat agung. Baginya politik adalah lapangan ilmu yang melingkupi berbagai disiplin ilmu lain. Kita mengenal Soekarno, Tan Malaka dan Mohamad Hatta sebagai orang yang memaknai politik sebagai sarana untuk berjuang melawan ketidakadilan saat itu.
Berfilsafat politik memiliki kaitan erat dengan sebuah tindakan merenung dan merefleksikan pergumulan tata hidup manusia sehari-hari. Politik itu refleksif dengan kodrat refleksivitas kehadiran manusia. Refleksivitas menggapai kedalaman dan kebenaran hidup manusia. Eric Voegelin, Leo Strauss, Martin Heidegger, Charles Taylor menggarisbawahi makna keseharian untuk mencapai kepenuhan. Politik tanpa refleksivitas adalah kedangkalan. Tata hidup bersama jika dikelola dalam kedangkalan akan didominasi oleh kerancuan dan kebobrokan.
Jauh dari itu ternyata ilmu politik kerap bersentuhan dengan ilmu pengetahuan benar atau salah dalam kebijakan politik. Salah benar itu berada dalam pengetahuan budi dan bukan dalam ranah konkret hidup sehari-hari. Bersinggungan dengan paradigma utilitarian ialah berlakunya prinsip mayoritas minoritas.
Latar belakang Politik
Politik memiliki latar atau konteks peradaban filosofis. Menarik bahwa latar konteks filosofis itu dikemas dalam bungkus “postmodern”. Postmodern ingin mengkritik kemajuan manusia modern yang kurang manusiawi. Penekanan di sini ialah postmodern mengarah pada wilayah politik. Politik postmodern mempromosikan equality. Jika politik identik dengan urusan maskulin, kini juga merambah wilayah feminitas yang lebih menyetarakan kedudukan perempuan sama dengan laki-laki. Derrida, Simone de Bauvoir dan Julia Kristeva adalah filsuf-filsuf yang mengkritik peradaban maskulinistik sebagai produk kesombongan societas. Martabat wanita yang direndahkan dalam kancah politik kini ditinggikan. Keterpurukan societas melahirkan terorisme dan radikalisme atas nama agama. Keadaan itu diperburuk oleh keadaan societas yang kondusif: perkara kesejahteraan ekonomi dan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Pembuktian Kebenaran dan Pengandaian Kesalahan (Resensi dan Kajian Moral atas Film DOUBT)   (Oleh: Werenvridus Sadan, dkk)     I  ...