Rabu, 20 April 2016

Dialog Sebagai Jembatan Rekonsiliasi Antaragama



Dialog Sebagai Jembatan Rekonsiliasi Antaragama
(Suatu Telaah atas Pemikiran H. G. Gadamer)

I. Pendahuluan
Pada dasarnya semua agama menuju pada satu kebenaran, yakni Allah. Mungkin kita pernah mendengar dan mengingat adagium klasik yang berbunyi: “banyak jalan menuju Roma”. Hal ini mau mengartikan bahwa semua agama menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda.
Fokus persoalan runyam sekarang ini adalah wajah agama-agama di Indonesia yang tercoreng oleh sikap sebagian pemeluknya yang fanatik dan arogansi dengan keyakinannya. Sehingga, menutup diri terhadap eksistensi iman dari pemeluk agama lain. Sikap ini akan menabur benih konflik, dan akhirnya akan menuai permusuhan yang berkepanjangan. Karena persoalan yang sebetulnya masalah personal, antara manusia dengan Sang Penciptanya, diperdebatkan dalam forum dan dalam realitas keseharian. Lahirnya sikap fanatik dan eksklusif ini, berawal dari pemahaman para pemeluk agama yang kaku dan sempit terhadap sumber-sumber ajarannya.
                Pada bagian awal paper ini akan dituliskan riwayat hidup dan karya Gadamer dalam dunia filsafat. Kemudian, kita akan masuk pada realitas persoalan pluralitas agama yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Melalui kenyataan ini, penulis berusaha untuk menawarkan solusi pemikiran Filsafat Hermeneutik Hans-Georg Gadamer, yang mencoba mengungkapkan hakikat pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya. Dengan kata Gadamer, kita menunda prasangka-prasangka dan menyampingkan sebentar titik tolak dan keyakinan-keyakinan kita untuk memandang dunia dari pandangan orang lain. [1] Lebih sederhananya, Gadamer menawarkan pola dialog demi terciptanya rekonsiliasi antaragama (agama maksudnya ialah para pemeluk agama/subyeknya).

II. Riwayat hidup dan Karya Gadamer[2]
Gadamer dilahirkan di Marburg, Jerman, sebagai anak seorang kimiawan farmasi yang belakangan juga menjadi rektor universitas di sana. Gadamer melawan desakan ayahnya agar mempelajari ilmu-ilmu alam dan makin lama makin tertarik akan humaniora. Ia bertumbuh dan belajar di Breslau di bawah Hönigswald, namun tak lama kemudian kembali ke Marburg untuk belajar dengan para filsuf Neo-Kantian Paul Natorp dan Nicolai Hartmann. Ia mempertahankan disertasinya pada 1922.
Tak lama kemudian, Gadamer mengunjungi Freiburg dan mulai belajar dengan Martin Heidegger, yang saat itu merupakan seorang sarjana muda yang menjanjikan namun belum memperoleh gelar profesor. Ia kemudian menjadi salah satu dari kelompok mahasiswa seperti Leo Strauss, Karl Löwith, dan Hannah Arendt. Ia dan Heidegger menjadi akrab, dan ketika Heidegger mendapatkan posisi di Marburg, Gadamer mengikutinya di sana.
Gadamer menyusun habilitasinya pada 1929 dan menghabiskan masa-masa awal 1930-an untuk memberikan kuliah di Marburg. Berbeda dengan Heidegger, Gadamer sangat anti-Nazi, meskipun ia tidak aktif secara politik pada masa Reich Ketiga. Pada saat itulah ia menyelesaikan adi karyanya Truth and Method ("Kebenaran dan Metode") (1960) dan terlibat dalam perdebatannya yang terkenal dengan Jürgen Habermas mengenai kemungkinan dalam mentransendensikan sejarah dan kebudayaan guna menemukan posisi yang benar-benar obyektif yang daripadanya orang dapat mengkritik masyarakat. Perdebatan ini tidak menemukan kesimpulannya, tetapi merupakan awal dari hubungan yang hangat antara kedua orang ini. Gadamerlah yang pertama-tama membuka jalan bagi Habermas untuk mendapatkan gelar profesornya di Heidelberg. Upaya yang lain untuk melibatkan Jacques Derrida ternyata kurang memberikan hasil karena kedua pemikir tidak banyak memiliki kesamaan.
Proyek filsafat Gadamer, seperti dijelaskan dalam Truth and Method, adalah menguraikan konsep "hermeneutika filosofis", yang dimulai oleh Heidegger namun tak pernah dibahasnya secara panjang lebar. Tujuan Gadamer adalah mengungkapkan hakikat pemahaman manusia. Dalam bukunya Gadamer berargumen bahwa "kebenaran" dan "metode" saling bertentangan. Ia bersikap kritis terhadap kedua pendekatan terhadap humaniora (Geisteswissenschaften). Di satu pihak, ia kritis terhadap pendekatan-pendekatan modern terhadap humaniora yang mengikuti model ilmu-ilmu alam (dan dengan demikian menggunakan metode-metode ilmiah yang ketat). Di pihak lain, ia mempersoalkan pendekatan tradisional dalam humaniora, yang muncul dari Wilhelm Dilthey, yang percaya bahwa penafsiran yang tepat tentang teks berarti mengungkapkan niat asli si pengarang yang menuliskannya.

III. Potret Pluralitas Agama di Indonesia
            Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dunia dewasa ini, meskipun dalam arti tertentu pluralisme keagamaan selalu ada bersama kita.[3] Pluralisme agama sebagai peluang tantangan Islam dan Kristen di Indonesia mempunyai sejarah pertengkaran yang panjang. Bahkan suasana pertengkaran ini sudah muncul sebelum keduanya masuk Indonesia. Sampai kini gema atau sisa-sisa ketegangan itu masih terus dirasakan. Di sana- sini muncul ketegangan serta kecurigaan di antara keduanya.[4]
Ketegangan antarpemeluk agama dalam silang pendapat masalah iman, sering melahirkan konflik dan berakhir dengan tindak kekerasan. Banyak peristiwa-peristiwa tragis dan berdarah, yang menelan korban begitu banyak, karena tindak kekerasan atas nama cinta akan agamanya.  Cinta yang dangkal terhadap agamanya inilah yang biasa disebut sebagai sikap eksklusif dan fanatik. Bertumbuh suburnya sikap eksklusif dan fanatik ini, disebabkan para pemeluk agama yang begitu kaku dan tekstual dalam menafsir dan memahami sumber-sumber ajaranya.
 Konflik dan kerusuhan atas nama agama ini, banyak terjadi di belahan bumi pertiwi Indonesia ini.  Misalnya; kerusuhan Poso di Sulawesi, pembakaran gereja-gereja dan tragedi malam natal di Jawa, kerusuhan Maluku, pencemaran hosti yang sering terjadi di Flores dan masih banyak konflik lain yang terjadi di wilayah Nusantara ini.[5] Konflik  horizontal antaragama ini berlangsung begitu dramatis dan meninggalkan trauma yang mendalam bagi para pemeluk agamanya.
           
IV. Hermeneutis dan Disiplin Dialog Gadamer
4.1. Teori Hermeneutik Landasan bagi Dialog yang Sejati
          Hermeneutic, dari bahasa Yunani hermeneutikos (penafsiran). Hermeneutika berarti ilmu dan teori tentang penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik obyektif (arti gramatikal kata-kata dan variasi-variasi historisnya), maupun subyektif (maksud pengarang).[6]  Prinsip hermeneutika Gadamer ini memberikan banyak kontribusi pada persoalan-persoalan agama, khususnya dalam dialog antaragama. Berdasarkan pemahaman dan penafsiran yang benar terhadap teks-teks ajaran agama, sangat diharapkan nantinya para pemeluk agama dapat berdialog dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar. “Bahasa memiliki sesuatu yang spekulatif-tidak hanya dalam pengertian Hegel, sebagai pra-pengembaraan instingtif terhadap refleksi logis—namun sebagai realisasi dari makna, sebagai peristiwa tuturan, peristiwa mediasi, dan peristiwa sampai pada sebuah pemahaman.... Seseorang yang punya sesuatu dikatakan mencari dan menemukan kata-kata agar dia bisa dimengerti oleh orang lain.” [7]
            Sungguh tak dapat dipungkiri lagi, bahwa untuk menghasilkan suatu dialog yang baik dibutuhkan pula pemahaman yang baik. Oleh karena itu, konsep hermeneutika dapat menjadi landasan yang penting, demi lahirnya pemahaman yang benar terhadap ajaran yang berbeda–beda dari setiap agama. Gadamer melanjutkan: “Mengatakan apa yang dimaksud....untuk membuat seseorang jadi dipahami—berarti menangkap dan memegang apa yang dikatakan terhadapnya sekaligus apa yang tak dikatakan di dalam suatu makna yang padu dan memastikan bahwa hanya dengan cara inilah perkataan itu dapat dipahami.”[8]
            Selanjutnya penulis akan menjelaskan tentang batasan (definisi) dan pokok-pokok dalam dialog. Fokus perhatian dan pembahasan kita akan mengarah pada pola-pola dialog yang ditawarkan oleh Gadamer demi terciptanya rekonsiliasi pemahaman yang berbeda dari setiap manusia yang beragama.

4. 2. Konsep Gadamer tentang dialog
            Bagi Gadamer, disiplin dialog memiliki posisi menonjol dalam mencapai kebenaran. Ia menekankan bahwa dialog merupakan kriteria kebenaran yang efektif dan uiniversal.[9] Dengan dialog dimungkinkan manusia dapat memperoleh pegetahuan. Dan pengetahuan itu mengantar manusia pada pencaharian terus-menerus akan nilai kebenaran. Nilai kebenaran yang diperoleh bersifat universal, artinya umum, tidak diperuntukkan bagi kelompok tertentu. Dialog membuat kita mampu bersahabat dengan semua manusia secara bebas.
            Ada dua model dialog yang ditawarkan oleh Gadamer, yaitu dialog dengan teks dan dialog dengan manusia. Dialog dengan teks lebih merujuk pada terjemahan teks atau bahasa dalam sebuah buku atau kitab suci. Sedangkan, dialog dengan manusia lebih diartikan sebagai suatu percakapan. Namun, dari ke-dua model ini akan kita dalami model dialog dengan manusia (percakapan). Dalam bukunya Truth and Method, Gadamer memberikan definisi percakapan sebagai proses saling memahami antara dua orang.[10] Batasan ini kesannya sangat sederhana, namun bagaimana cara untuk sampai pada tahap saling memahami ini merupakan pekerjaan yang rumit.
            Gadamer menekankan bahwa dialog bukan sesuatu yang kita ciptakan tetapi kita terlibat di dalamnya, dan ini merupakan percakapan fundamental di mana tidak ada yang memimpin atau yang dipimpin.[11] Pemimpin dan ada yang dipimpin ini dimaksudkan sebagai tidak ada orang yang memonitor atau mengawasi jalannya dialog, sehingga dialog itu kesannya seperti direkayasa. Setiap manusia diberi kebebasan untuk terlibat dalam percakapan, tanpa harus takut pada pengawasan orang lain. Karena setiap percakapan manusia itu membawa kebenarannya sendiri.
            Di lain sisi, kita dapat mengatakan bahwa dengan melakukan dialog kita dapat memperoleh pandangan dan pemahaman yang lebih baik. Pemahaman ini baru memiliki dayanya, bila kita mengerti bahasa percakapan dengan baik. Dengan dialog pula, dimaksudkan agar setiap manusia mampu keluar dari pemahamannya yang sempit, eksklusif dan kaku terhadap suatu konsep. Dalam hal ini pemahaman manusia akan konsep ajaran agamanya. Dengan dialog diharapkan sesama manusia mampu menerima pandangan dan jalan pikiran dari manusia lainnya. Tetapi bukan maksud untuk menyamaratakan heterogenitas pemahaman ke dalam satu pemahaman yang tunggal. Jadi, tujuan percakapan bukan untuk mencari pendirian yang sama atau mengadaptasi dua pendirian yang berbeda.[12] Namun, kebenaran yang dicari dalam sebuah percakapan akan mendorong masing-masing partisipan mengadopsi tindakan tertentu dari partisipan yang lain.[13] Dengan kata lain, dengan adanya perbedaan pemahaman dan pandangan, menyebabkan kita lebih berani untuk berkompromi, dan membangun percakapan yang sehat, demi meretas sikap mental kita yang eksklusif dan kaku.
            Percakapan juga mensyaratkan kedua pertisipan saling membuka diri dan mengakui nilai pemikiran orang lain.[14] Ini berarti para partisipan dituntut mau mendengar dan merespon argumen partisipan lain dengan sikap yang arif. Bukan malah menghakimi dan mengkritik argumen partisipan lain dengan nada yang sinis. Bila hal ini terjadi, maka benih konflik akan muncul. Selanjutnya, Gadamer menegaskan bahwa keterbukaan adalah penerimaan terhadap pandangan orang lain sebagai sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan dan melihat apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan.[15] Artinya lebih penting isi dialog atau percakapannya, dari pada subyek yang mengutarakannya. Konsep Gadamer ini dipengaruhi oleh karakter filsafat barat, yang lebih melihat kata (isi) dari pada manusianya.
            Keterbukaan dalam konsep Gadamer memiliki dua arti, yakni keterbukaan untuk belajar dan keterbukaan untuk merespon. Yang pertama menekankan bahwa seseorang ingin mempelajari cakrawala orang lain. Ini hanya terjadi jika seseorang memandang cakrawala orang lain bernilai. Yang kedua berarti seseorang ingin merespon dengan bijaksana....Oleh karena itu, keterbukaan adalah ciri dari koreksi diri terhadap pemahaman.[16]

V. Penutup
         Setelah menyimak realitas pluralitas agama yang terjadi belakangan di negara Indonesia ini. Penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pluralitas agama ini dapat membawa dampak positif dan negatif. Dampak negatifnya ialah tumbuhnya sikap eksklusif dan fanatik dari para pemeluknya. Tidak jarang karena pluralitas agama ini banyak terjadi perdebatan dan konflik. Lebih buruknya lagi, karena pluralitas agama ini sampai berujung pada tindak kekerasan, dengan maksud untuk memusnahkan agama tertentu. Sedangkan, dampak positifnya ialah pelestarian keanekaragaman dan kekayaan iman, yang dipandang sebagai keunikan bangsa Indonesia.           
Konsep Gadamer tentang dialog sangat releven bila digunakan pada realitas pluralitas agama di Indonesia. Selama ini dialog yang dijalankan masih hanya terbatas pada pertemuan formalitas para pemuka agama saja. Dialog masih belum menyentuh para pemeluk agama yang eksklusif dan fanatik. Melalui gagasan Gadamer, baiklah bila komunitas keagamaan yang ada di Indonesia menerapkan disiplin dialog yang saling memahami. Demi terciptanya rekonsiliasi dari setiap konflik agama. Dialog antaragama memang menjadi harga mati, yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal utama yang harus dipegang teguh dalam dialog ialah keterbukaan diri partisipan dialog. Keterbukaan ini melibatkan hati dan pikiran, sehingga sesama partisipan dialog dapat saling memahami perbedaan iman akan agamanya.
             Sikap dialog memang menjadi kebutuhan dasar yang harus segara dan selalu dipenuhi oleh setiap agama. Hal ini dilakukan demi mendesak setiap kelompok-kelompok agama untuk membangun pengertian yang benar terhadap agama-agama lain. Dengan peran dialog yang ditawarkan oleh Gadamer ini, diharapkan konflik pluralitas agama yang terjadi di Indonesia dapat terselesaikan dengan baik dan aman.


Daftar Pustaka

Buku-buku:
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Coward, Harold. Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Grondin, Jean. Sejarah Hermeneutika dari Plato sampai Gadamer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Hidayati, Mega. Jurang di antara Kita,Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Internet:

Benny, Guchek. Kekerasan dan Rekonsiliasi. (/http://my.opera.com/guchek%20 benny/blog/2008/01/06, diakses 18 September 2009).



[1] Mega Hidayati, Jurang di antara Kita,Yogyakarta: Kanisius, 2008, hlm. 9.
[3]Harold coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hlm. 167.
[4]Guchek Benny, Kekerasan dan Rekonsiliasi, (/http://my.opera.com/guchek%20benny/blog/2008/01/06/, /diakses 18 September 2009.
[5]Guchek, Loc. cit.
[6]Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 283.
[7] WM, GwI, hlm. 472-473 sebagaimana dikutip oleh Jean Grondin, Sejarah Hermeneutika dari Plato sampai Gadamer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007, hlm. 268.
[8]Ibid., hlm. 269.
[9]Ambrosio, Gadamer, Plato, and the Discipline of Dialogue, 1987. Sebagaimana dikutip oleh Mega Hidayati, Op. cit., hlm.52.
[10] Gadamer, Truth and Method,1975, Hidayati, Op. cit., hlm. 54.
[11]Ibid.
[12] Kisiel, “The happening of Tradition: The hermeneutics of Gadamer and Heidegger” 1985, dikutp oleh Hidayati, Op.cit., hlm. 56.
[13]Misgeld, On Gadamer’s Hermeneutics, 1985, Ibid.
[14]Hidayati, Op. cit., hlm. 60.
[15]Ibid., hlm. 61.
[16]Ibid.,  hlm 63. Seperti yang diungkapkan oleh Healy.

Gaudium et Spes Art. 78



UPAYA AKTIF GEREJA DALAM MEMBANGUN PERDAMAIAN DUNIA BERDASARKAN TEKS GAUDIUM ET SPES ART. 78
DALAM KONTEKS PLURALITAS MASYARAKAT INDONESIA


1.    Pengantar
Konflik, pertikaian dan permusuhan kerap terjadi sudah sejak zaman dahulu hingga dewasa ini.  Semua ini bermuara pada satu kata yakni perang. Perang meskipun tidak selamanya memang identik dengan kekerasan. Orang juga bisa menghalalkan segala cara, ketika mengadakan perang. Perang terjadi antara dua orang atau lebih, bahkan melibatkan suatu kelompok masyarakat yang besar, yakni suatu negara. Banyak faktor yang menyebabkan lahirnya perang, bisa saja karena masalah persaingan ekonomi, hak asasi manusia, masalah perbedaan agama, masalah keadilan sosial dan masih banyak masalah sosial yang lainnya.
 Adanya berbagai konflik dan perang yang sering terjadi di dunia ini, mengakibatkan banyak manusia yang risau dan cemas akan keadaan hidupnya. Berbagai macam upaya manusia berusaha mencari upaya dan strategi yang tepat untuk menciptakan keadaan damai. Dari pihak Gereja Katolik juga berusaha keras untuk mengupayakan dan menciptakan suasana damai di dunia. Gereja, sakramen Kristus, sang pembawa dan pewarta damai, adalah pula Gereja pejuang bagi perdamaian.[1] Gereja juga mempunyai andil dan tanggungjawab untuk membangun perdamaian dunia. Sebab, kehadiran Gereja di dunia adalah sebagai terang dan damai bagi sesamanya. Gereja harus mampu menunjukkan bukti cinta kasihnya kepada sesama, terlebih kepada pihak yang sedang bertikai atau berperang karena ketidakadilan, dengan jalan membantu proses terealisasinya perdamaian.
Keterlibatan Gereja demi melahirkan perdamaian dunia, dibicarakan dalam berbagai ajarannya yang tertuang dalam Ajaran Sosial Gereja (ASG). Oleh sebab itu, dalam tulisan ini akan dipaparkan Ajaran Sosial Gereja tentang hakikat perdamaian, yang secara khusus diambil dari Gaudium et Spes (GS) yang merupakan hasil Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II  pada tahun 1965. Hakikat perdamaian yang dijelaskan oleh Ajaran Sosial Gereja ini dipusatkan pada artikel kunci GS, yakni art. 78. Namun, sebelum penulis membaca dan memahami ajaran GS art. 78 ini, penulis akan memaparkan profil tentang Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes secara umum. Bagian berikutnya, penulis berusaha memberikan komentar atas GS art. 78. Selain itu, penulis akan menunjukkan apa makna Ajaran Sosial Gereja tentang hakikat perdamaian, bagi hidup manusia sekarang ini, khususnya bagi Gereja Indonesia. Akan tetapi, porsi relevansi ini tidak akan dijabarkan semendeteil mungkin.

2.    Profil Singkat Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes Konsili Vatikan II[2]
Konsili Vatikan II pada tahun 1965 mengeluarkan Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, yang bertujuan untuk mengajak bicara semua umat manusia tentang berbagai masalah hidup (3, 1). Bukan hanya masalah hidup yang dipersoalkan, tetapi juga masalah-masalah sosial yang diangkat oleh konstitusi ini. Masalah-masalah sosial secara spesifik dibahas dalam bagian I, yakni bab 2 tentang “masyarakat manusia” (art. 23-32); dan dalam bab 3 tentang “kegiatan manusia di seluruh dunia” (art. 33-39). Kemudian itu, pada bagian II dibahas lima masalah khusus, yakni: keluarga (bab I, art. 47-52), kebudayaan (bab 2, art. 53-62), kehidupan ekonomi (bab 3, art. 63-72), kehidupan dalam masyarakat politik (bab 4, art. 73-76) dan kebersamaan internasional, khususnya masalah perdamaian dunia (bab 5, art. 77-90).
Meskipun demikian, Gaudium et Spes bukan hanya sekadar Ajaran Sosial Gereja saja. Tetapi, Gaudium et Spes juga membahas persoalan kehadiran Gereja dalam dunia modern. Dalam Gaudium et Spes dijabarkan bagaimana sikap Gereja terhadap dunia. Oleh sebab itu, Gaudium et Spes merupakan ajaran yang bertujuan untuk mengungkapkan tugas dan maksud kehadirannya di dunia, terlebih khusus tugasnya dalam mewartakan Injil, bukan hanya kepada dirinya sendiri tetapi juga kepada orang yang berada di luar dirinya sendiri (non-Gereja).
Di satu sisi, Gereja berbicara tentang keselamatan Allah yang nyata dalam diri Yesus Kristus. Tapi, di sisi lain Gereja juga berbicara tentang semua orang, yang bukan tergolong dalam kelompok Gereja tetapi sebagai manusia dalam dunia. Hal ini menegaskan, bahwa Gereja tidak bersikap eksklusif, yakni dengan menutup dirinya untuk menerima kehadiran orang lain. Inilah yang menjadi dasar bagi Gereja untuk dapat berperan aktif dalam menyelesaikan segala persoalan dunia. Sebab, Gereja juga adalah bagian dari dunia ini. Ia lahir, tumbuh, tinggal dan berkembang dalam dunia yang satu dan sama dengan orang-orang lain yang berada di sekitarnya.

3.    Pemahaman tentang  Gaudium et Spes art. 78 (Hakikat Perdamaian)
Teks Gaudium et Spes art. 78 berusaha untuk menunjukkan upaya Gereja dalam  membangun perdamaian dunia. Oleh sebab itu, pada bagian ini akan ditunjukkan isi teks Gaudium et Spes art. 78 secara apa adanya dalam bentuk setiap paragraf, beserta dengan pemahaman penulis atas isi teks yang bersangkutan.

a.    Paragraf pertama
Damai tidak melulu berarti tidak ada perang, tidak pula dapat diartikan sekedar menjaga keseimbangan saja antara kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Damai juga tidak terwujud akibat kekuasaan diktatorial. Melainkan dengan tepat dan cermat disebut “hasil karya keadilan” (Yes. 32:17). Damai merupakan buah-hasil tata-tertib, yang oleh Sang Pencipta ilahi ditanamkan dalam masyarakat manusia, dan harus diwujudkan secara nyata oleh mereka yang haus akan keadilan yang makin sempurna. Sebab kesejahteraan umum bangsa manusia dalam kenyataannya yang paling mendasar berada di bawah hukum yang kekal. Tetapi mengenai tuntutannya yang konkrit perdamaian tergantung dari perubahan-perubahan yang silih berganti di sepanjang masa. Maka tidak pernah perdamaian tercapai sekali untuk seterusnya, melainkan harus terus menenrus dibangun. Kecuali itu, karena kehendak manusia mudah goncang, dan terlukai oleh dosa, usaha menciptakan perdamaian menuntut, supaya setiap orang tiada hentinya mengendalikan nafsu-nafsunya, dan memerlukan kewaspadaan pihak penguasa yang berwenang.[3]

Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes art. 78 menyatakan, bahwa suasana damai bukan merupakan keadaan tanpa perang dan juga bukan usaha untuk menciptakan keseimbangan antara kekuatan-kekuatan yang saling berlawanan. Artinya, bahwa perdamaian tidak tercipta karena pihak yang saling bermusuhan atau bertikai tersebut dapat diredakan. Selain itu, keadaan damai juga tidak tercipta berkat kekuatan pihak yang berkuasa. Melainkan, keadaan damai merupakan “hasil karya keadilan”. Damai adalah buah ketertiban yang telah ditanamkan oleh Allah sebagai Sang Pencipta kepada semua manusia. Kedamaian ini harus segera diwujudkan oleh mereka yang haus akan keadilan yang sempurna. Sebab dalam kenyataannya yang paling mendasar, semua kesejahteraan umum bangsa manusia berada di bawah hukum yang kekal. Namun, berkaitan dengan tuntutannya yang nyata, perdamaian itu tergantung pada setiap perubahan yang datang silih berganti di sepanjang masa. Oleh karena itu, perdamaian tidak akan terwujud sekali untuk selamanya, tetapi harus secara terus-menerus dibangun dan diusahakan. Namun dari itu, karena kehendak manusia yang mudah goncang dan ternodai oleh dosa, upaya untuk membangun dan menciptakan perdamaian menuntut agar setiap orang tiada hentinya untuk berusaha mengatur dan mengendalikan segala nafsunya, dan dapat bersikap selalu waspada terhadap kekuatan penguasa yang berwenang.

b.    Paragraf kedua
Akan tetapi itu tidak cukup. Perdamaian itu di dunia tidak dapat dicapai, kalau kesejahteraan pribadi-pribadi tidak dijamin, atau orang-orang tidak penuh kepercayaan dan dengan rela hati saling berbagi kekayaan jiwa maupun daya cipta mereka. Kehendak yang kuat untuk menghormati sesama dan bangsa-bangsa lain serta martabat mereka, begitu pula kesungguhan menghayati persaudaraan secara nyata mutlak perlu untuk mewujudkan perdamaian. Demikianlah perdamaian merupakan buah cinta kasih juga, yang masih melampaui apa yang dapat dicapai melalui keadilan.[4]

Usaha untuk menciptakan perdamaian tidak hanya dengan mengendalikan nafsu-nafsu dan bersikap waspada pada pihak penguasa yang berwenang. Perdamaian di dunia akan terwujud, jika kesejahteraan setiap pribadi itu diperhatikan. Kedamaian juga akan dapat tercapai, bila setiap orang saling percaya untuk mau berbagi apa yang dimiliki, yakni berupa kekayaan sikap batin dan hasil karya yang mereka usahakan. Setiap pribadi harus dengan rela hati mengurbankan apa yang dimiliki untuk diberikan pada orang lain. Bila ingin mewujudkan suatu perdamaian, maka harus perlu dorongan yang teguh untuk saling menghargai dan menghormati martabat sesama serta segala bangsa, serta secara konkrit mau berusaha untuk menghayati nilai persaudaraan. Oleh sebab itu, perdamaian adalah buah dari cinta kasih, yang lebih mengatasi apa yang dapat dihasilkan dengan jalan menciptakan keadilan. Perdamaian tidak lahir dengan sendirinya, tapi berkat cinta kasih yang tumbuh dan berjalan beriringan dengan keadilan.

c.    Paragraf ketiga
Damai di dunia ini, yang lahir dari cinta kasih terhadap sesama, merupakan cermin dan buah damai Kristus, yang berasal dari Allah Bapa. Sebab Putera sendiri yang menjelma, Pangeran damai, melalui salib-Nya telah mendamaikan semua orang dengan Allah. Sambil mengembalikan kesatuan semua orang dalam satu bangsa dan satu tubuh, Ia telah membunuh kebencian dalam daging-Nya sendiri, dan sesudah dimuliakan dalam kebangkitan-Nya Ia telah mencurahkan Roh cinta kasih ke dalam hati orang-orang.[5]

Damai yang tercipta di muka bumi berkat cinta kasih terhadap sesama, ternyata adalah buah dan cerminan dari cinta kasih Kristus sendiri, yang juga bersumber dari Allah. Kristus menjadi perentara dan penyalur rahmat cinta kasih Allah. Kristus yang telah menjelma menjadi manusia dan Raja damai bagi semua orang, telah mendamaikan semua umat manusia dengan Allah melalui pengurbanan diri-Nya dengan wafat di atas kayu salib. Oleh karena itu, Gereja mengajak semua manusia dengan penuh semangat untuk berdoa memohonkan rahmat perdamaian, yang diberikan oleh Yesus kepada semua umat manusia.  Gereja sangat mengharapkan agar Kristus mendorong hati semua manusia, untuk membongkar segala penghalang terciptanya perdamaian. Gereja juga memohon agar melalui kuasa dan dorongan Kristus, semua bangsa saling berusaha untuk mengusahakan perdamaian, yang didambakan oleh semua umat manusia (Bdk. PT art. 171: hlm. 268). Dengan pengurbanan diri Yesus ini, Ia telah mengalahkan segala kebencian dan memberikan kedamaian terhadap suatu bangsa, dengan mengembalikan kesatuan hubungan mereka sebagai satu tubuh. Setelah kebangkitan-Nya yang penuh mulia itu, Yesus menganugerahkan secara cuma-cuma Roh cinta kasih ke dalam hati setiap umat manusia.         

d.   Paragraf keempat
Oleh karena itu segenap umat Kristen dipanggil dengan mendesak, supaya “sambil melaksanakan kebenaran dalam cinta kasih” (Ef. 4:15), menggabungkan diri dengan mereka yang sungguh cinta damai, untuk memohon dan mewujudkan perdamaian.[6]

Demi membangun dan mengusahakan perdamaian dunia, seluruh umat Kristiani dipanggil untuk mewujudkan kebenaran dalam cinta kasih (Ef. 4:15). Segenap umat Kristen diajak dengan penuh semangat untuk berani berbagi cinta kasih dengan sesamanya. Selain itu, seluruh umat Kristen juga sangat diharapkan untuk dapat menyatukan diri dengan setiap manusia yang sangat cinta akan kedamaian. Hal ini dilakukan, karena Gereja tidak dapat melakukannya sendirian. Gereja butuh relasi dengan orang lain, terutama dengan mereka yang mengusahakan perdamaian dunia.

e.    Paragraf kelima
Digerakkan oleh semangat itu juga, kami merasa wajib memuji mereka, yang dalam memperjuangkan hak-hak manusia menolak untuk menggunakan kekerasan, dan menempuh upaya-upaya pembelaan, yang tersedia pula bagi mereka yang tergolong lemah, asal itu dapat terlaksana tanpa melanggar hak-hak serta kewajiban-kewajiban sesama maupun masyarakat.[7]

Pada dasarnya, Ajaran Sosial Gereja didukung juga oleh semangat untuk melaksanakan kebenaran dalam cinta kasih, demi terciptanya perdamaian. Gereja sangat mendukung dan memuji setiap gerakan yang berusaha untuk memperjuangkan hak-hak kemanusian dengan jalan perdamaian (tanpa kekerasan). Sebagai contoh, sebut saja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibentuk pada 26 Juni 1945, merupakan salah satu gerakan dunia yang bertujuan khusus untuk mengharmoniskan dan memantapkan perdamaian antar bangsa. Gerakan ini  (PBB) juga berusaha untuk mendorong relasi yang bersahabat antara bangsa-banngsa, berdasarkan nilai-nilai kesamaan derajat, sikap saling menghormati dan kerja sama yang mendalam pada bidang kemanusiaan (Bdk. PT art. 142: hlm. 257-258). Hak dan kewajiban hidup setiap manusia harus dicapai melalui jalan damai. Gereja tidak akan mentolerir cara-cara yang ‘tidak sehat’, yang coba digunakan oleh pihak-pihak yang mengusahakan hak dan kewajiban setiap manusia. Oleh sebab itu, Gereja sangat mengharapkan bahwa mereka yang berusaha untuk membantu  dan membela pihak yang lemah, mampu melaksanakannya dengan tidak melanggar hak serta kewajiban sesama dalam masyarakat. Kepada orang-orang yang lemah inilah Gereja menunjukkan perhatiannya.


f.     Paragraf keenam
Karena manusia itu pendosa, maka selalu terancam, dan hingga kedatangan Kristus tetap akan terancam bahaya perang. Tetapi sejauh orang-orang terhimpun oleh cinta kasih mengalahkan dosa, juga tindakan-tindakan kekerasan akan diatasi, hingga terpenuhilah sabda: “Mereka akan menempa pedang-pedang mereka menjadi mata bajak, dan tombak-tombak mereka menjadi pisau pemangkas. Bangsa tidak lagi akan mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak  lagi akan belajar perang” (Yes. 2:4).[8]

Pada kenyataannya, semua umat manusia itu adalah orang yang berdosa. Oleh sebab itu, dalam hidupnya selalu tidak aman dan selalu merasa terancam, bahkan sampai pada kedatangan Kristus, manusia selalu terancam bahaya perang. Akan tetapi, jika setiap manusia itu mampu hidup dalam ikatan cinta kasih dan mampu memerangi kekerasan, maka akan tergenapilah nubuat nabi Yesaya: “Mereka akan menempa pedang-pedang mereka menjadi mata bajak, dan tombak-tombak mereka menjadi pisau pemangkas. Bangsa tidak lagi akan mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak lagi akan belajar perang” (Yes. 2:4). Jadi, kekuatan cinta kasih mampu mengubah kekerasan menjadi kelembutan. Tentunya dengan sikap berani mengubah segala yang jahat dengan berbagai bentuk sikap kehidupan yang lebih baik.

4.    Komentar (Analisis) atas Teks Gaudium et Spes Artikel 78
Pada dasarnya memang harus diakui, bahwa Gereja begitu menaruh  perhatian dan minat yang besar terhadap masalah sosial manusia yang ada di muka bumi ini. Gereja tidak dapat berdiam diri melihat segala bentuk kekerasan, perang dan berbagai konflik yang dilakukan atas nama keadilan sosial. Oleh karena itu, Gereja menunjukkan keprihatinannya dengan jalan mengupayakan secara aktif, untuk membangun dan menciptakan perdamaian dunia. Melalui teks Gaudium et Spes art. 78, Gereja “angkat bicara” tentang hakikat perdamaian.
Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes art. 78, Gereja menyatakan bahwa keadaan damai bukan hanya merupakan suatu suasana dunia yang tenang tanpa perang, hilangnya konflik, melainkan keadaan damai lahir karena adanya keadilan dalam hidup masyarakat. Jadi, hakikat perdamaian dunia ialah tumbuh dan terpeliharanya prinsip keadilan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu, sangat diharapkan oleh Gereja bahwa setiap umat manusia mampu secara terus-menerus untuk mengusahakan terciptanya perdamaian dunia.
Teks Gaudium et Spes art. 78 juga menegaskan, bahwa perdamaian akan tercipta bila setiap manusia mampu menghormati martabat sesamanya dan mampu menghidupi semangat persaudaraan. Hal ini berarti, setiap manusia dituntut untuk berani mengubah sikap hati. Sebab perdamaian yang sejati berakar pada kedalaman hati manusia, yang telah menyusun tahap demi tahap upaya untuk membangun perdamaian dari lingkup yang paling kecil hingga ke lingkup yang lebih besar.[9] Hanya orang yang berani mengubah segala yang jahat, yang dapat mengubah dunia ini menjadi lebih damai.
Ajaran Sosial Gereja GS art. 78 juga meyakini, bahwa damai yang tercipta di dunia adalah berkat rahmat cinta kasih Allah, yang telah dicurahkan kepada manusia melalui perantaraan Yesus Kristus, Putera-Nya. Melalui wafat dan kebangkitan Kristus, mengalirlah buah perdamaian. Sebab, dengan jalan pengurbanan diri Kristus atas dosa umat manusia, segala bentuk kebencian dan permusuhan yang ada di muka bumi ini dilenyapkan. Kristus juga berkenan memberikan buah Roh cinta kasih kepada semua manusia, demi membangun perdamaian dunia. Oleh sebab itu, Gereja juga mengharapkan bahwa umat manusia mampu membangun relasi yang baik dengan Allah melalui perantaraan Kristus. Relasi ini mengandaikan manusia berupaya melalui doa, untuk memohonkan rahmat perdamaian dunia. Melalui doa, manusia mampu menimba rahmat kekuatan dari Allah, demi membangun perdamaian yang sejati. Sebab, perdamaian yang sejati bukan semata-mata usaha manusia, melainkan melulu hanya berkat dari Allah.[10] Manusia hanya sebagai penyalur berkat rahmat Allah untuk membangun perdamaian dunia. Manusia harus dengan rendah hati menjalankan anugerah dan berkat damai dari Allah.
Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes art. 78 menyerukan kepada seluruh orang Kristen agar dapat menyatukan diri dengan orang-orang yang sungguh cinta akan perdamaian. Dengan kata lain, ajaran GS art. 78 ini mengajak segenap umat Kristen mampu bekerja dengan siapa saja yang punya perhatian dan minat untuk membangun serta menciptakan perdamaian dunia. Gereja sangat menghargai berbagai upaya orang-orang yang memperjuangkan hak-hak manusia dengan jalan tanpa kekerasan. Hal ini berarti, perdamaian merupakan tanggungjawab dunia (universal). Dengan berbagai upaya apapun tidak akan mampu membuahkan perdamaian yang sejati bila tidak mengikutsertakan semua pihak, terlebih mereka yang secara nyata menjadi korban dari berbagai konflik dan pertikaian. Sebab, orang-orang yang demikianlah yang haus akan perdamaian dan persaudaraan di tengah kehidupan bersama dengan orang lain.[11] Akan tetapi, Gereja tetap mengharapkan agar semua pihak yang terlibat dalam upaya perdamaian dunia itu tetap memperhatikan hak dan kewajiban setiap orang. Terlebih hak dan kewajiban setiap orang yang lemah, miskin dan tertindas.
Gereja kerap kali mengadakan kerja sama dan dialog dengan agama-agama lain, terlebih dalam usaha untuk membangun perdamaian dunia. Agama dan perdamaian merupakan dua unsur hakiki yang tak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, segala bentuk lingkaran kekerasan dan perang atas nama hak-hak kemanusian adalah sesuatu yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama, salah satunya nilai kedamaian. Setiap agama di dunia hendaknya mengembangkan budaya damai.[12] Setiap agama juga dituntut untuk berani bersikap terbuka, sehingga dalam upaya untuk membangun perdamaian dunia itu dapat terwujud dengan baik.
Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes art. 78 mengakui bahwa semua manusia adalah orang yang berdosa, dan hidupnya akan selalu terancam pada bahaya perang. Oleh karena itu, Gereja berusaha mengingatkan semua manusia untuk dapat hidup dalam ikatan cinta kasih, sehingga bahaya perang yang ditakuti tersebut dapat dilenyapkan. Gereja berusaha menyakinkan semua manusia, bahwa dengan ikatan cinta kasih yang kuat dan mendalam semua bentuk kekerasan akan dapat diatasi. Berkat ikatan cinta kasih itu pula, nubuat nabi Yesaya tentang perdamaian itu akan dapat terlaksana (Bdk. Yes. 2:4).
Perdamaian sejati didasarkan pada keadilan, pada penghargaan atas kesamaan keluhuran martabat manusia. Perdamaian bisa terwujud jika dalam prinsip tersebut tumbuh penghargaan akan sesama, agar tak ada pribadi maupun kelompok yang diutamakan hak maupun kepentingannya dari pada yang lain.[13] Dengan kata lain, keadilan merupakan muara terakhir pencarian mausia akan perdamaian. Namun, perdamaian itu akan dapat dinikmati dan dialami oleh semua orang, bila dalam diri setiap orang tersebut tumbuh benih sikap saling menghormati harkat dan martabat sesamanya. Hal ini dilakukan demi menghindari kecenderungan negatif setiap pribadi, yang hanya mau mengusahakan keadilan dan perdamaian untuk kepentingan dirinya sendiri dan hanya untuk kepentingan komunitasnya. Keadilan dan perdamaian itu diperuntukkan untuk semua orang, tanpa membuat pembedaan. Keadilan dan perdamaian harus dinikmati oleh semua kalangan masyarakat, baik oleh anak kecil, orang tua, kaya, miskin, tua, muda, dan berbagai tingkatan dan status sosial manusia dalam masyarakat.

5.    Aktualitas dan Relevansi Gaudium et Spes Artikel 78
Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes lahir dari sebuah konsili akbar, yakni Konsili Vatikan II pada tahun 1965. Hal ini berarti konstitusi pastoral ini telah berusia kurang lebih 50 tahun. Persoalannya, masih aktualkah ajaran Gaudium et Spes art. 78 yang berusaha membangun perdamaian di dunia, khususnya di Indonesia. Apa relevansinya bagi Gereja Indonesia?
Masih segar dalam ingatan kita kasus-kasus semisal, kerusuhan Mei 1998, Tragedi Ambon, Sitobondo, Trisakti, Semanggi, Pelanggaran HAM Timtim adalah contoh di depan mata kita yang hampir tak bisa tersentuh hukum. Korupsi dan kolusi serta nepotisme adalah wajah lain dari kekerasan yang semakin membelenggu kaum miskin-papa.[14] Melihat kenyataan ini, kita dapat mengatakan bahwa  Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes art. 78 ini masih sangat aktual bagi Gereja Indonesia, dalam upaya untuk membangun perdamaian. Gereja berusaha menyuarakan perdamaian bagi seluruh rakyat Indonesia, melalui berbagai ajarannya. Gereja Indonesia diharapkan tidak menutup mata akan segala kekerasan dan berbagai tindak ketidakadilan, yang akhir-akhir ini semakin menindas rakyat.
Berdasarkan ajaran Gaudium et Spes art. 78, Gereja harus berusaha mencari cara untuk membangun perdamaian di Indonesia. Gereja Indonesia (sebagai Gereja Lokal) dipanggil secara mendesak dalam kesatuannya dengan Gereja Universal untuk mengusahakan perdamaian. Usaha perdamaian itu harus ditanamkan dengan benih cinta kasih Allah sendiri, melalui perantaraan Yesus Kristus. Benih cinta kasih ini merupakan rahmat dari Allah. Karena itu, Gereja harus membangun relasi yang baik dengan Allah melalui doa. Gereja Indonesia tidak hanya dituntut untuk berdoa bagi keselamatan dan terciptanya perdamaian bagi rakyat Indonesia pada umumnya, tetapi terlebih khusus bagi mereka yang sedang mengalami ketidakadilan dan berbagai tindak kekerasan lainnya. Gereja Indonesia juga diharapkan dapat menjalin relasi dan kerja sama dengan berbagai pihak yang sama-sama mengusahakan terciptanya perdamaian. Biasanya Gereja menjalin kerja sama dengan agama-agama lain.
Dalam kenyataannya, konflik dan berbagai kekerasan yang terjadi di Indonesia disebabkan karena minimnya nilai keadilan sosial. Prinsip kesejahteraan umum tidak dapat dirasakan oleh semua elemen masyarakat. Prinsip bonum commune itu hanya menjadi slogan yang formal. Sebab, dalam realitasnya banyak rakyat Indonesia yang tidak merasakan adanya keadilan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan hukum. Persoalan lain ialah, hilangnya sikap saling menghargai agama yang satu dengan yang lainnya, serta ada kecenderungan untuk merendahkan harkat dan martabat sesamanya. Masih banyak persoalan yang menyebabkan lahirnya konflik dan kekerasan di Indonesia ini. Namun, persoalan-persoalan yang telah disebutkan di atas telah mengusik hati Gereja Indonesia, untuk mengusahakan keadilan dan terciptanya kedamaian.
Perdamaian di Indonesia akan terwujud, bila semua persoalan-persoalan yang menyangkut prinsip keadilan sosial dapat diatasi. Oleh sebab itu, Gereja Indonesia diajak untuk menyadarkan semua elemen masyarakat, bahwa kesejahteraan setiap pribadi harus diperhatikan secara merata dan adil. Orang harus berani untuk saling berbagi akan apa yang dimilikinya.
Gereja juga dituntut untuk mendorong semua pihak agar dapat menghargai harkat dan martabat setiap pribadi. Selain itu, Gereja Indonesia juga berusaha untuk menumbuhkembangkan semangat persaudaraan yang sejati dengan sesamanya tanpa memandang bulu. Dengan demikian, Gereja Indonesia telah menampakkan wajah Kristus yang penuh cinta kasih akan sesamanya, terlebih kepada mereka yang menderita karena pertikaian, kekerasan dan karena ketidakadilan. Kristus adalah Raja damai, karena itu juga Gereja Indonesia harus menjadi penyalur kedamaian bagi sesamanya.


Daftar Pustaka

Hardawiryana, R, SJ. (Terj.). 1999. Konstitusi Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan): dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 (dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI.
Kieser,  B., SJ,  Dr. 1992. Solidaritas: 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja. Yogyakarta: Kanisius.
Krispurwana, Cahyadi T., SJ. 2007.  Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan. Jakarta: Obor.
Muller-Fahrenholz, Geiko. 2005. Rekonsiliasi: Upaya Memecahkan Spiral Kekerasan dalam Masyarakat, terj. Dr. Georg Kirchberger dan Yosef M. Florisan, Maumere: Ledalero.  


[1]T. Krispurwana Cahyadi, SJ, Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, Jakarta: Obor, 2007, hlm. 321.
[2]Bdk.  Dr. B. Kieser, SJ, Solidaritas: 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 139-140.
[3]Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Konstitusi Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan): dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 (dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus), terj. R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Dokpen KWI, 1999, hlm. 376-377.

[4]Ibid., hlm. 377.
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Ibid., hlm. 377-378.
[8]Ibid., hlm. 378.
[9]Bdk. T. Krispurwana Cahyadi, SJ, Op. Cit., hlm. 322.
[10]Bdk. Ibid., hlm. 325.
[11]Bdk. Ibid.
[12]Bdk. Ibid., hlm. 328.
[13]Ibid., hlm. 354.
[14]Geiko Muller-Fahrenholz, Rekonsiliasi: Upaya Memecahkan Spiral Kekerasan dalam Masyarakat, terj. Dr. Georg Kirchberger dan Yosef M. Florisan, Maumere: Ledalero,  2005, hlm. vii.

  Pembuktian Kebenaran dan Pengandaian Kesalahan (Resensi dan Kajian Moral atas Film DOUBT)   (Oleh: Werenvridus Sadan, dkk)     I  ...