Jumat, 09 Oktober 2015

DAYAK IBAN DAN KEBUDAYAANNYA SEBUAH TINJAUAN ANTROPOLOGIS-FILOSOFIS



DAYAK IBAN DAN KEBUDAYAANNYA
SEBUAH TINJAUAN ANTROPOLOGIS-FILOSOFIS
(Oleh: Werenvridus Sadan, S.S)
ABSTRAK
Melalui penelitian ini, kami mengundang pembaca melihat berbagai aspek kebudayaan masyarakat Dayak Iban yang berdiam di Kabupaten Kapuas Hulu. Kebudayaan, sebagai proses realisasi diri manusia, selalu bersifat dinamis. Demikian pula dengan masyarakat Dayak Iban. Kebudayaan mereka mengalami perubahan dan perkembangan. Di tengah perubahan tersebut, mereka tetap mewariskan nilai-nilai budaya mereka kepada generasi penerus. Warisan tersebut bukanlah sekadar wacana masa purba atau sekedar sebuah kisah klasik nan lagendaris, melainkan kearifan lokal (local wisdom) yang membimbing tingkah laku masyarakat dalam kaitannya dengan alam, manusia dan Tuhan.
Warisan budaya yang menjadi sorotan penelitian ini adalah pola hidup bersama (komunal) dalam rumah panjang. Rumah panjang (long house) bukan sekedar tempat tinggal melainkan tempat masyarakat Dayak Iban merajut kebudayaan mereka. Dalam penelitian ini juga akan dimunculkankan persoalan-persoalan kekinian yang dihadapi oleh masyarakat Dayak Iban, diantaranya perjuangan mereka atas hak tanah, air dan alam, hak untuk mengelola sumber daya alam, demi kelangsungan hidup dan kebudayaan mereka dalam komunitas rumah panjang.
Permasalah tidak berhenti pada tataran empiris belaka, namun menyangkut harkat dan hakikat diri manusia Iban sebagai makhluk Tuhan yang berhak mengekspresikan serta merealisasikan diri dan kelompok untuk bertahan hidup. Akankah keaslian tradisi mereka terus bertahan ditengah majunya arus globalisasi sekarang ini? 
1.      Pengantar
Tema yang diangkat penulis dalam karya tulis ini adalah kebudayaan masyarakat Dayak Iban, terutama kehidupan komunal mereka di rumah panjang. Di samping itu, cara hidup komunal masyarakat Dayak Iban merupakan sebuah tema penelitian yang menarik mengingat dalam masyarakat modern dewasa ini orang pada umumnya tinggal dalam keluarga inti dalam rumah pribadi. Penelitian tentang kehidupan komunal masyarakat Dayak Iban dapat memberi sumbangan pemahaman antropologis dan filosofis mengenai keragaman cara hidup manusia. Istilah “Dayak” lazim digunakan untuk menyebut penduduk asli Pulau Kalimantan. Dahulu istilah Dayak” digunakan dengan nada hinaan. Kata Dayak sendiri berarti ‘hulu’ dan ‘manusia’.[1] Para peneliti Eropa sekitar tahun 1800-an, mendefinisikan Dayak sebagai manusia pedalaman, non-Muslim, primitif, tidak berperadaban dan citra negatif lainnya.[2]
Berbicara tentang kebudayaan berarti berbicara tentang pikiran, karya dan hasil karya manusia secara menyeluruh yang terjadi melalui suatu proses pembelajaran bersama.[3] Kebudayaan merupakan hasil dari kreasi dan perjuangan manusia dalam rangka merealisasikan dirinya.[4] Proses realisasi diri manusia dalam masyarakat Dayak Iban tampak dalam kebersamaan dengan orang lain dalam komunitas rumah panjang. Jadi, kebudayaan masyarakat Dayak Iban berpusat di rumah panjang.[5] Proses realisasi diri manusia Dayak Iban tampak dalam setiap wujud kebudayaan yang mereka hasilkan di rumah panjang.
Dayak Iban dikenal sebagai masyarakat yang hingga saat ini mampu bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan.[6] Mereka hidup secara komunal dalam rumah panjang, atau rumah panjae dalam bahasa mereka. Sikap hidup bersama tampak dalam kebersamaan secara berdampingan dengan masyarakat lainnya di luar komunitas mereka.[7] Hal ini rupanya terkait dengan semangat egaliter yang sangat tampak dalam pola hidup bersama yang mereka hayati.[8]
Melalui kajian tentang kebudayaan Dayak Iban ini, penulis bermaksud menepis berbagai stereotipe negatif tentang identitas Dayak, misalnya cap sebagai suku liar, perusak hutan, tak beradab, pemburu kepala, primitif, terpencil dan lain-lain. Masih tetap bertahannya tradisi hidup di rumah panjang menunjukkan bahwa masyarakat Dayak Iban menjunjung tinggi nilai budaya yang diwariskan dari leluhur mereka. Berbagai macam aktivitas budaya kerap dilakukan di rumah panjang. Hal ini berarti bahwa selain berfungsi sebagai tempat tinggal, rumah panjang juga menjadi pusat kebudayaan Dayak Iban.
Penulis akan menguraikan karakteristik kebudayaan Dayak Iban berdasarkan tiga wujud kebudayaan yang digagas oleh Koentjaraningrat, yakni (1) wujud ide-ide, (2) wujud sistem sosial dan (3) wujud fisik.[9] Fungsi utama rumah panjang ialah sebagai tempat tinggal. Selain itu, rumah panjang juga menjadi pusat dari berbagai macam kegiatan budaya Dayak Iban, misalnya pesta gawai.
Selanjutnya kebudayaan yang menjadi fokus pembahasan artikel ini adalah kebudayaan masyarakat Dayak Iban yang bermukim di kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Indonesia. Pembatasan ini dimaksudkan untuk membedakan masyarakat Dayak Iban di Indonesia dengan Masyarakat Iban di Serawak, Malaysia bagian timur, dan di Brunei Darussalam.
Perlu dibedakan antara Iban sebagai rumpun suku dan Iban sebagai subsuku. Istilah “Rumpun Iban (Ibanic Groups) mengacu kepada rumpun suku. Rumpun Iban terdiri dari beberapa subsuku, seperti Iban, Mualang, Kantuk (Kantu’), Ketungau, Banyur, Desa, dan Seberuang. Rumpun Iban tersebar di tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Di Indonesia, mereka menyebar di tujuh kabupaten, yakni Kapuas Hulu, Bengkayang, Sambas, Sintang, Melawi, Sanggau dan Sekadau. Sementara itu, istilah “Dayak Iban” mengacu kepada salah satu subsuku yang termasuk ke dalam rumpun Iban.[10]
Subsuku Iban termasuk salah satu subsuku terbesar dalam Rumpun Iban. Masyarakat Dayak Iban mendiami dua negara sekaligus yakni Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia, Dayak Iban mendiami wilayah Kabupaten Putusibau yang tersebar di enam kecamatan, yakni Putusibau, Embaloh Hulu, Batang Lupar, Badau, Empenang, dan Embau.[11]

2.      Asal Usul dan Ciri-Ciri Fisik Masyarakat Dayak Iban
Migrasi kelompok Dayak secara besar-besaran terjadi sekitar tahun 300-an yang silam.[12] Migrasi kelompok Dayak tersebut dibagi menjadi tiga bagian. Kelompok pertama diperkirakan datang dari arah barat. Kemungkinan berasal dari hilir Sungai Kapuas dan anak Sungai Kapuas seperti Sekayam, Ketungau dan Sekadau. Kelompok yang dimaksud ialah subsuku Seberuang, Ensilat, Tamanik, Iban, Kantu’, Desa, Sekapat, Suaid, Mayan, Sebaruk, Rembai dan Ulu Ai’. Migrasi kelompok kedua diperkirakan berasal dari arah timur yakni daerah Data Purah. Kelompok yang dimaksud yakni Punan, Buket dan Kayaan. Sedangkan migrasi kelompok ketiga yakni subsuku Dayak Orung Da’an, Suru’ dan Mentebah.[13]
Masyarakat Dayak Iban sebagai migrasi kelompok pertama berasal dari daerah yang dulunya bernama Tanah Tampun Juah/Temawai Tampun Juah yang sekarang terletak persis di hulu Kampung Segumon[14] di daerah hulu Sungai Sekayam, Kabupaten Sanggau. Mereka berangkat menyusuri Sungai Sai, tembus ke Sungai Ketungau sampai ke Batang Lupar, Kapuas Hulu.[15] Migrasi besar-besaran ini disebabkan oleh adanya “perang” dengan roh halus yang mengusik keberadaan manusia.[16]
Suku Dayak biasanya menyebut identitas dirinya berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Sebagai contoh, Suku Dayak Mualang berasal dari nama seorang yang disegani yakni Mualang (Manok Sabung). Demikian pula, nama suku Iban berasal dari kata ivan yang berarti pengembara dalam bahasa Dayak Kayan.[17] Sumber lain mengatakan bahwa mereka menamakan dirinya Suku Batang Lupar karena berasal dari Sungai Batang Lupar, suatu daerah di perbatasan Indonesia dengan Serawak Malaysia.
Perbedaan daerah asal turut mempengaruhi perbedaan fisik. Hal ini tampak dari tiga kelompok dayak yang bermigrasi ke Kapuas Hulu, termasuk Dayak Iban. Kelompok masyarakat Iban adalah kelompok migrasi yang berasal dari daerah barat, yaitu dari daerah hilir Sungai Kapuas dan anak-anak sungainya seperti Sekayam, Ketungau dan Sekadau.[18] Kelompok ini memiliki ciri-ciri fisik gabungan dari kelompok pertama dan kedua. Ciri-ciri fisik kelompok pertama, yang berasal dari daerah timur, ialah fisik yang kekar dan tinggi, mata sipit serta berkulit sawo matang. Sementara itu, kelompok kedua memiliki fisik yang tidak terlalu tinggi namun postur tubuhnya kekar. Singkatnya, masyarakat Iban memiliki fisik yang kekar, bermata sipit dan kulitnya sawo matang.

3.      Karakteristik Kebudayaan Masyarakat Dayak Iban
Selain membedakan tiga wujud kebudayaan, Koentjaraningrat juga menyebutkan bahwa ada unsur-unsur universal yang terdapat dalam setiap kebudayaan di dunia, yaitu: (1) sistem peralatan dan perlengkapan hidup, (2) sistem mata pencaharian, (3) sistem kemasyarakatan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem pengetahuan, dan (7) sistem religi. Ketiga wujud kebudayaan di atas terdapat dalam setiap unsur kebudayaan tersebut. Karakteristik kebudayaan masyarakat Dayak Iban dapat dilihat dalam ketujuh unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat.

a. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Sistem peralatan hidup dan teknologi masyarakat Dayak Iban pertama-tama terkait dengan mata pencaharian mereka, yakni bercocok tanam, meramu dan mencari hasil hutan. Peralatan yang mereka miliki terkait dengan mata pencaharian tersebut antara lain kapak yang berfungsi untuk memotong dan membelah kayu, beliung untuk menebang kayu besar, parang untuk menebas, serta sumpit dan senjata api untuk berburu.
Pola hidup bersama dalam rumah panjang sangat erat kaitannya dengan sumber-sumber makanan yang disediakan oleh alam.[19] Rumah panjang dalam tatanan masyarakat Iban memperkuat kegiatan ekonomi. Sistem kerja secara bersama-sama atau gotong royong, atau beduruk dan besaup dalam bahasa mereka, lebih mudah dilakukan karena mereka hidup dalam satu atap.[20]  Beduruk adalah gotong royong untuk mempermudah suatu pekerjaan, misalnya salah satu keluarga akan membuka ladang baru ia mengadakan kesepakatan dengan beberapa orang untuk membentuk kelompok yang saling membantu.  Saat melakukan beduruk, satuan tenaga kerja pria dan wanita diperhitungkan dengan cermat dan sama. Sementara itu, besaup adalah gotong royong yang dilakukan untuk membantu keluarga yang mendapat kemalangan.

b. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Mata pencaharian hidup masyarakat Dayak Iban umumnya tergantung pada alam, terutama hutan. Alam telah memberikan hasilnya kepada masyarakat dengan menyediakan kebutuhan pokok hidup sehari-hari, seperti berbagai macam hasil hutan, ikan dari sungai, dan binatang buruan di hutan.[21] Hutan adalah “darah dan jiwa”  (tanah tu darah enggau sepot kitai) bagi masyarakat Dayak Iban.[22] Hutan dijaga dan dilestarikan untuk keberlangsungan hidup sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Mereka dilarang menghancurkan sumber-sumber alam lainnya secara serakah. Larangan tersebut telah diatur dalam hukum adat mereka.[23] Dengan konsep semacam itu, orang Dayak hidup menghormati hutan.
Mata pencaharian masyarakat Iban yang hidup di pedesaan sebagian besar adalah bertani secara tradisional. Sistem pertanian mereka adalah sistem ladang berpindah (shifting cultivation) dengan cara membuka hutan untuk dijadikan ladang kering (dry-rice field). Aktifitas seperti itu lazim dilakukan masyarakat Iban di penghujung musim kemarau.[24] Ada aturan yang mengikat mereka dalam membuka dan mengolah hutan untuk dijadikan ladang.[25] Aturan adat mewajibkan mereka untuk menjaga dan memelihara hutan. Menebang pohon, misalnya, hanya boleh dilakukan untuk keperluan tertentu seperti mendirikan rumah dan membuka ladang baru.
Sistem ladang berpindah dalam tradisi masyarakat Ibanik hampir sama. Perayaan pembukaan lahan dimulai oleh seorang yang dituakan dalam komunitas yakni Tuai Rumah. Dalam memilih lokasi dan menebas, peladang memulainya dengan ritus membuat patung (pentik), pembersihan lahan (bekibau) dan pemberian makan (bedarak).[26] Tujuan dari semua ritus ini adalah untuk meminta izin kepada Penguasa Tanah (Puyang Gana) dan semua roh rimba raya agar merestui ladang dan menjauhkan dari hama penyakit.
Akhir-akhir ini, ladang yang sudah dibuka tak lagi ditinggalkan dan dibiarkan menjadi hutan lagi.  Ladang tersebut dimanfaatkan untuk perkebunan terutama tanaman karet rakyat. Dewasa ini menyadap karet untuk menambah penghasilan keluarga merupakan kegiatan sehari-hari masyarakat petani Iban.[27] Karet bukanlah jenis tanaman yang asing bagi masyarakat Dayak di Kalimantan. Masyarakat Dayak sudah mengenal karet sejak dahulu. Menurut Koentjaraningrat tanaman karet sudah mulai dibudidayakan dan menjadi bahan ekspor kira-kira sejak setengah abad yang lalu tepatnya 1913.[28] Karet mula-mula dikembangkan di Sumatera Timur kemudian pada tahun 1915 menyebar dengan cepat ke daerah Kalimantan. Diperkirakan pada tahun itulah tanaman karet mulai berkembang di Kalimantan. Di samping bertani, berburu binatang hutan merupakan pilihan masyarakat Dayak Iban dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hasil buruan biasanya dibagikan kepada sesama setelah terlebih dahulu dibagikan kepada rekan-rekan dalam berburu.

c. Sistem Kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan mengatur hidup manusia dalam kelompok. Sistem kekerabatan, misalnya, memiliki kaitan dengan sistem kesatuan hidup setempat berdasarkan aspek penghunian rumah panjang yakni kebersamaan keluarga-keluarga inti. Keluarga-keluarga inti menempati satu gugusan yang tidak terpisah satu sama lain dalam komunitas rumah panjang Iban.[29] Sistem kekerabatan dalam masyarakat Iban menekankan aspek kebersamaan dalam bilek. Bilek ialah sebuah ruang untuk tempat tinggal keluarga-keluarga  dalam rumah panjang Iban.
Masyarakat Iban juga dikenal sebagai masyarakat yang egaliter. Harus diakui, dalam masyarakat Iban ada orang yang memiliki pengaruh yang lebih tinggi, seperti Tuai Rumah yakni orang yang dianggap tua, fungsionaris adat, dan pimpinan dalam melaksanakan upacara adat dalam komunitas rumah panjang, dan  Temenggung, pemegang kekuasaan tertinggi dalam kepengurusan adat yang  membawahi beberapa Tuai Rumah. Namun demikian, otoritas mereka sebatas hanya pada kepengurusan adat. Selebihnya dalam kenyataan hidup bersama sehari-hari tidak ada tingkatan tinggi rendah.
Pada hakikatnya, rumah panjang (rumah panjae) Iban merupakan kesatuan sosial yang terikat kesadaran wilayah dan genealogis.[30] Kesadaran genealogis berarti keluarga Dayak yang berwujud keluarga batih maupun keluarga luas yang hidup dalam satu rumah tangga memiliki rasa kebersamaan hidup berdasarkan garis keluarga. Sementara kesadaran wilayah lebih mengarah pada kesadaran akan kepemilikan tanah, air dan alam sekitar yang berada dalam satu kawasan adat.

d. Bahasa
Bahasa suatu suku bangsa yang besar, yang terdiri dari berjuta-juta penduduk, selalu memiliki variasi akibat faktor perbedaan geografis, lapisan sosial, serta lingkungan sosial dalam masyarakat suku bangsa tadi.[31] Berdasarkan ciri-ciri kesamaan dialek, budaya dan lokasi, para peneliti dalam bidang etnolinguistik, yakni Nothofer, James T. Collin, A. B. Hudson, dan Paul Kroeger; mengelompokkan suku Dayak Iban ke dalam kelompok yang dikenal dengan sebutan Kelompok Ibanik (Ibanic Group). Kelompok suku Dayak yang termasuk ke dalam kelompok Ibanik terdiri dari sebelas suku kecil.[32] Suku-suku kecil yang dimaksud antara lain Dayak Mualang, Kantu’, Desa, Seberuang, Bugau dan Ketungau.
Hubungan di antara mereka ditandai oleh penggunaan bahasa yang hampir sama artinya, misalnya dalam kata makan (makai), berjalan (bejalai). Meskipun demikian ada pula perbedaan-perbedaan di antara mereka. Misalnya, untuk kata kemana dalam bahasa orang Iban dan Kantuk dipakai kata kini sedangkan dalam bahasa orang Mualang digunakan kata kikai. Jika seorang dari Suku Mualang berbicara menggunakan bahasanya, maka bahasa itu akan dimengerti pula oleh orang lain dari Suku Iban, demikian pula sebaliknya. Berdasarkan penjelasan ini dapat dimengerti bahwa hubungan penggunaan bahasa dalam rumpun Iban hampir sama.
Bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari bagi suku Dayak Iban adalah bahasa benadai. Bahasa ini dituturkan oleh semua subsuku Iban. Benadai artinya diambil dari kata dasar nadai yang berarti “tidak”. Tidak terlalu jelas mengapa orang biasa menggunakan istilah benadai untuk mengelompokkan kesamaan bahasa pada rumpun Iban dan orang Iban sendiri. Ada kemungkinan bahwa pengelompokan itu berdasarkan kesamaan pada akhir setiap kata dalam rumpun Iban misalnya penggunaan akhiran ai pada setiap kata, contoh makai, nyumai, pulai, dan lain-lain.

e. Kesenian Dalam Masyarakat Iban
Masyarakat Iban dan aktivitas sosial mereka yang berpusat pada rumah panjang menghasilkan banyak ekspresi seni. Wujud fisik dari hasil kesenian misalnya seni tari, seni ukir yang berupa relief, seni pahat dan anyam-anyaman. Seni menganyam dalam tradisi masyarakat Iban merupakan hasil pengetahuan turun-temurun. Begitu juga dengan tari-tarian dan seni suara yang berupa syair atau dalam bahasa lokal disebut kana.
Keharmonisan kehidupan komunal rumah panjang tercermin dalam kegiatan budaya dan kesenian, yakni pesta rakyat atau gawai. Gawai merupakan acara tahunan yang diselenggarakan di rumah panjang. Adapun berbagai jenis gawai antara lain: Gawai Kenyalang, Tuncung Taun, Gawai Kelingkang dan Nike Ka Benih.[33] Pada dasarnya upacara-upacara tersebut merupakan ucapan syukur atas segala anugerah dan berkah yang telah mereka terima dari Penguasa Tertinggi mereka (Petara). Upacara-upacara tersebut diadakan pada penghujung tahun, tepatnya saat setelah menyelesaikan panenan. Kegiatan ini memerlukan banyak tenaga dan oleh karena itu dalam setiap kegiatan tercermin kebersamaan yang harmonis.

f. Sistem Pengetahuan
Bagi masyarakat Iban, rumah panjang berfungsi bukan hanya sebagai tempat tinggal bersama. Rumah panjang juga menjadi lembaga pendidikan non-formal bagi para penghuninya. Di dalam rumah panjanglah adat istiadat, budaya, dan tradisi para leluhur diwariskan secara turun temurun.
Khazanah pengetahuan dalam masyarakat Iban diterima dari para orang tua yang dianggap banyak memiliki pengalaman hidup, pengetahuan dan keterampilan. Kaum laki-laki Iban dikenal sebagai tukang besi yang handal (ngamboh). Selain itu mereka sangat terampil dalam mengukir dan menganyam.[34] Kaum wanita Iban terampil dalam menenun kain dan menganyam berbagai jenis keranjang yang lebih halus dan indah. Contoh hasil anyaman dan tenunan dapat dilihat pada lampiran.
Di sela rutinitas yang dilakukan di rumah panjang, para penghuninya dapat menggunakan waktu senggang untuk bertukar pengalaman dan berbincang-bincang. Dalam istilah setempat, hal ini disebut berandau.  Dalam bahasa Indonesia istilah ini lebih dikenal dengan bertamu. Seperti yang sudah kita ketahui, Dayak Iban dikenal sebagai masyarakat yang egaliter. Hal ini amat mendukung mereka dalam kegiatan sehari-hari. Sikap terbuka dan mau berbagi ditunjukkan dengan cara saling memberi petunjuk dan bimbingan dalam melakukan segala sesuatu. Menurut Ketua Umum Majelis Adat Dayak Kalbar Bapak. Jacobus Frans Layang, BA, SH, masyarakat Dayak Iban memanfaatkan rumah panjang mereka untuk melakukan aktivitas seperti menenun, memahat, mengukir, menari dan melaksanakan upacara adat.[35] Kegiatan seperti itu bisa dilakukan dengan mudah karena kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun yang diwariskan dari para tetua dan mereka yang berpengalaman. Ini membuktikan bahwa sistem pengetahuan pada masyarakat Dayak Iban diperoleh secara turun temurun. Mereka yang tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan dianggap pemalas.[36] Ini berarti bahwa setiap mereka yang hidup dalam rumah panjang selayaknya memiliki keterampilan hidup jika tidak ingin dicap pemalas.

g. Sistem Religi
Masyarakat yang hidup dalam alam kebudayaan tradisional, memiliki kepercayaan yang penuh magis.[37] Kepercayaan terhadap hal-hal magis dan sakral itu timbul karena manusia tidak mampu memenuhi tuntutan jawaban akan adanya kekuatan supranatural di luar jangkauan manusia. Melalui praktik-praktik magis dan ritual mereka berupaya menjalin hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi itu.[38] Selain itu ada beberapa teori yang mengatakan bahwa manusia itu kagum akan hal-hal yang luar biasa dalam hidupnya. Ada pula teori yang lebih subjektif yaitu adanya suatu getaran atau emosi dalam diri manusia akibat pengaruh rasa kesatuan sebagai masyarakat.[39]
Alam pikir masyarakat Dayak Iban bersifat religius-magis. Mereka mempercayai adanya roh-roh baik dan roh halus atau hantu. Sebelum masyarakat Dayak menganut agama Kristen, mereka adalah penganut animisme. Animisme berarti percaya pada adanya roh yang mendiami suatu tempat tertentu atau sebatang pohon yang dianggap keramat.[40]
Meskipun hingga saat ini banyak suku Dayak Iban menganut agama Kristen, mereka tetap berpegang teguh pada adat dan tradisi leluhur mereka. Adat istiadat tetap dipertahankan karena dengan demikian mereka seperti memiliki pedoman hidup yang mengatur mereka dengan segala unsur kehidupannya. Adat istiadat amat penting bagi keamanan dan ketertiban mereka.[41] Masyarakat Iban yang masih hidup di rumah panjang mengatur hidup mereka berdasarkan keyakinan akan adanya kekuatan di luar diri mereka.
Jean-Francois Blehaut memberi penjelasan berikut tentang sistem religi masyarakat Iban:
The Iban religion, centred on the rice cult and characterised by the exaltation of their own social virtues, is a shopisticated animism in which a complex phanteon of gods is dominated by two beings: Lang or Singalang Burong, syimbolised by the Brahminy Kite who rules over the sky and war, and Puyang Gana, god of earth and rice.......[42]

Dalam sistem religi masyarakat Iban dikenal apa yang dinamakan dengan Singalang Burong, penguasa langit, dan Puyang Gana, penguasa tanah dan padi. Konsep keyakinan ini tertanam kuat dalam masyarakat Iban hingga kini meskipun sudah memeluk agama Kristen. Keyakinan akan adanya Dewa tersebut, memberi rasa aman akan hidup dan keberlangsungannya.
Tingkah laku masyarakat Dayak pada umumnya selalu dibimbing oleh perasaan takut akan kekuatan gaib yang ada di alam semesta ini. Alam semesta dalam tataran pemikiran orang Dayak dipenuhi dengan makhluk-makhluk yang tidak kelihatan, sakti dan memiliki kekuatan.[43] Pendek kata sikap hidup orang Dayak selalu diwarnai akan perasaan takut dan berhati-hati terhadap alam. Perasaan takut sekaligus bersatu dengan rasa hormat akan adanya kekuatan yang lebih tinggi itu.
Kepercayaan timbul dalam kelompok masyarakat Dayak sebagai pendukung kebudayaan karena manusia dianggap tidak dapat menjawab adanya kekuatan supranatural di luar jangkauan akal mereka.[44] Kekuatan ini menimbulkan pertanyaan bagi manusia sehingga manusia melakukan berbagai macam cara untuk mencari hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi itu.
Agama tradisional mereka telah mengajarkan bagaimana harus bersikap terhadap alam. Sikap tersebut masih mereka pelihara hingga kini. Alam telah memberi mereka berbagai macam hasilnya. Alam telah menyediakan berbagai keperluan hidup masyarakat Dayak.  

4.      Rumah Panjang Sebagai Pusat Kebudayaan Dayak Iban
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang diperoleh melalui proses belajar.[45] Kata “kebudayaan”, berasal dari kata Sanskerta yakni buddhayah yang berarti budi atau akal.[46] Dengan demikian, kebudayaan adalah cetusan dari kemampuan akal budi manusia dalam kebersamaannya dengan manusia lain, tepatnya dalam hidup bermasyarakat.
Masyarakat ialah sekelompok manusia yang hidup bersama dalam suatu periode waktu tertentu, mendiami suatu daerah, dan akhirnya mulai mengatur diri sendiri menjadi suatu unit sosial yang berbeda dari kelompok-kelompok lain.[47] Masyarakat dan kebudayaan adalah dua unsur yang tidak dapat dipisahkan. Di mana ada masyarakat di situ ada kebudayaan. Kebudayaan berkembang dan hidup dalam masyarakat.
Rumah panjang merupakan sebuah bangunan tempat tinggal bagi masyarakat Dayak di Kalimantan. Bagi masyarakat Iban, rumah panjang (rumah panjae) merupakan jantung kebudayaan mereka. Rumah panjang telah mewariskan kepada generasi penerus berbagai warisan budaya yang amat mulia bagi manusia. Warisan budaya tersebut tampak nyata dalam sikap hidup masyarakat Dayak Iban terhadap hutan dan alam.
Kehidupan komunal masyarakat Iban juga menggarisbawahi arti penting hidup bersama dalam komunitas. Dalam komunitas mereka tidak ada tingkatan tinggi rendah, tidak ada kaya dan miskin. Semua pekerjaan dilakukan bersama demi mencapai satu tujuan yakni demi kehidupan bersama yang harus dijaga dan dilestarikan. Kebersamaan itu tampak dalam sikap mereka terhadap satu sama lain dalam hal pekerjaan. Pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga misalnya saat hendak mendirikan rumah, membuka ladang baru dan saat hendak melaksanakan pesta tahunan (gawai) dikerjakan secara gotong royong.
Rumah panjang masyarakat Iban mewariskan juga apa yang dinamakan dengan unsur-unsur kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan itu tampak dalam berbagai hasil karya manusia Dayak dalam kehidupan sehari-hari. Unsur-unsur kebudayaan itu dapat digolongkan ke dalam tiga unsur yakni yang tampak sebagai ide-ide, sistem sosial dan juga hasil kebudayaan fisik yang dapat diinderai.
Berkaitan dengan kemajuan zaman, rumah panjang telah, sedang dan akan  melewati suatu masa transisi yang memungkinkan mereka untuk bertahan, mengikuti dan bahkan larut dalam pergolakan zaman. Namun dibalik semua itu, rumah panjang dalam kehidupan komunal masyarakat Iban mau membuka diri untuk perkembangan zaman sekaligus tetap mempertahankan warisan budaya leluhur mereka.

5.      Rumah Panjang dan Tantangan Individualisme
            Komunitas rumah panjang adalah sebuah tata aturan hidup bersama yang mengatasnamakan kepentingan bersama di atas kepentingan individu. Gerakan individualisme pertama-tama muncul tatkala pemerintahan kolonial Belanda menganjurkan bagi seluruh masyarakat Dayak untuk tinggal di rumah tunggal yang permanen.[48] Peristiwa ini terjadi pada tahun 1904 dalam sebuah peraturan yang antara lain menganjurkan bagi seluruh kepala keluarga pada masyarakat Dayak untuk membangun tempat tinggal secara terpisah dari rumah panjang. Sejak saat itulah manusia Dayak mulai membangun rumah secara pribadi untuk keluarganya masing-masing. Peraturan ini merupakan anjuran bagi seluruh warga masyarakat Dayak di Kalimantan. Anjuran untuk tinggal di rumah tunggal secara pribadi dalam keluarga-keluarga juga gencar dilakukan saat pemerintahan orde baru.
Akibatnya, kehidupan bersama secara komunal dalam komunitas rumah panjang Dayak mendapat tantangan seiring menjamurnya rumah-rumah tunggal. Perubahan pola tempat tinggal suku Dayak dari rumah panjang ke rumah tunggal mendorong semangat individualistis. Sikap individualistis juga didorong oleh persentuhan budaya asli dengan budaya yang datang dari luar.[49] Faktor lain yang turut mendukung pergerakan orang Dayak menuju rumah tunggal adalah masalah-masalah praktis terkait pola hidup dalam kebersamaan, antara lain perasaan jemu, lingkungan yang kotor dan kurang hiegenis, kondisi yang rawan kebakaran, kolot dan masih banyak lagi citra negatif terhadap mereka yang tinggal di rumah panjang.[50] Alasan-alasan seperti itu sangat tidak masuk akal. Bukankah menjemukan itu masalah selera dan pribadi? Jika dikatakan rawan terbakar juga rasanya tidak bisa dipertanggung-jawabkan bukankah Kalimantan memiliki hutan hujan tropis yang cukup besar? Apakah tidak ada bedanya dengan kawasan perumahan tunggal pribadi di kota-kota yang juga rawan kebakaran? Tampak bahwa alasan-alasan untuk pembongkaran rumah panjang itu sangat subjektif.
Masyarakat Iban yang bedomisili di Kabupaten Kapuas Hulu, tidak terkikis oleh perubahan yang menyangkut tata kehidupan bersama. Mereka tetap konsekuen untuk tetap tinggal di rumah panjang. Semangat kebersamaan dalam kehidupan komunal masyarakat Iban tentu telah tertanam  sejak dahulu. Sebagai penghuni rumah panjang, kehidupan sosial, semangat gotong royong dan persaudaraan masih dijunjung tinggi.
Tantangan individualisme biasanya disertai dengan adanya tantangan pembangunan, misalnya masuknya perusahaan-perusahaan sawit yang mendorong orang bekerja di perkebunan dan meninggalkan kehidupan komunal rumah panjang. Hal ini diperparah dengan adanya embel-embel demi kepentingan umum dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Masyarakat Iban yang hidup berdasarkan kekayaan alam dan hutannya, akan terancam dengan adanya pembangunan yang mengatasnamakan kepentingan umum.
Pembangunan tersebut telah mengancam keragaman hayati dan juga keseimbangan ekosistem di bumi Kalimantan. Masyarakat adat telah kehilangan hak hidup di atas tanah tempat tinggal yang sudah sekian lama bahkan selama ratusan tahun mereka tempati.[51] Hal ini dipengaruhi oleh meningkatnya kebutuhan akan tanah untuk kepentingan pembangunan dan industri yang kerap bersembunyi dibalik kata “untuk kepentingan umum”.[52] Kini pembangunan mau mencaplok secara cuma-cuma hanya untuk kepentingan umum.
Manfaat pembangunan di daerah pedalaman Kalimantan Barat, secara khusus di Kabupaten Kapuas Hulu, belum dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, malah dianggap memarginalisasikan orang Dayak. Banyak pihak mulai mengkritisi arti dan makna pembangunan itu sendiri.[53] Pembangunan sungguh telah memberi dampak negatif pada jati diri masyarakat adat Dayak. Patut diapresiasi bahwa tantangan untuk hidup secara terpisah dari komunitas bagi masyarakat Iban sama sekali tidak tampak. Kepentingan bersama jelas terpampang di atas kepentingan pribadi.

6.      Refleksi Filosofis atas Kehidupan Komunal Rumah Panjang
Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.[54] Gambaran tentang kebudayaan seperti ini mau mengatakan bahwa hampir keseluruhan hidup manusia itu adalah “budaya”. Kebudayaan tidak hanya dipersempit pada pengertian tentang segala hasil karya dan tindakan manusia. Kebudayaan itu, baik dalam wujud konkret maupun abstrak, merupakan suatu wujud dari realisasi diri manusia yang dinyatakan dalam kebersamaan dengan orang lain. Gambaran ini tampak dalam kehidupan bersama di rumah panjang Iban.
Komunitas rumah panjang Iban menggambarkan apa yang dimaksud dengan wujud dari realisasi diri dalam kebersamaan dengan orang lain. Masyarakat Dayak Iban merealisasikan diri dalam kebersamaan dengan orang lain dalam komunitas rumah panjang mereka. Meskipun demikian kebersamaan itu tidak menenggelamkan subjektivitas individu rumah panjang. Hal ini tampak dari kepemilikan bilek sebagai tempat pribadi keluarga-keluarga. Pihak lain tidak memiliki kuasa atas bilek orang lain. Pelanggaran akan dikenakan sanksi adat.
Sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa hidup seorang diri. Manusia senantiasa hidup berdampingan dengan orang lain. Manusia tidak dapat merealisasikan potensi hanya dengan dirinya sendiri.[55] Senada dengan hal itu, Budiono Kusumohamidjojo berpendapat bahwa filsafat kebudayaan pada hakikatnya akan terus menerus berhadapan dengan pertanyaan bahwa kebudayaan itu adalah suatu proses realisasi diri manusia.[56] Merealisasi diri dalam kebersamaan dengan orang lain tampak dalam kehidupan komunal rumah panjang masyarakat Iban. Wujud dari realisasi diri itu bisa saja berupa benda konkret contohnya rumah panjang itu sendiri maupun yang berupa abstrak yakni yang hanya terdapat dalam ide-ide saja misalnya kearifan lokal dan juga hukum adat mereka. Hasil dari realisasi diri manusia itu lahirlah apa yang kita sebut budaya. Dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu tampak dalam seluruh tingkah laku manusia. Kebudayaan tersebut dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Maka akan disebut bahwa kebudayaan itu adalah sesuatu yang dinamis karena budaya pada dasarnya akan terus berkembang seturut perubahan zaman. Perkembangan kadang melalui beberapa proses yang kiranya pantas dilakukan oleh masyarakat yakni proses internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi.[57] Proses internalisasi yakni suatu proses belajar secara terus menerus dalam hidup seseorang. Proses sosialisasi lebih menekankan kaitannya dengan sistem sosial. Sedangkan proses enkulturasi yakni semacam pembudayaan. Proses enkulturasi lebih melihat perkembangan manusia dalam mempelajari alam pikiran, sistem norma dan peraturan serta sikap manusia dalam mengerti budayanya.
Bagi masyarakat Iban, hal itu tampak dalam kebersamaan mereka dalam rumah panjang. Semua pekerjaan dilakukan bersama entah di dalam rumah maupun di luar rumah. Kebersamaan itu dikemas dalam segala segi kehidupan manusia. Segi kehidupan itu dilihat dalam nilai-nilai sosial terkait rumah panjang misalnya nilai estetis, etis-yuridis dan religius. Berbagai kegiatan yang menyangkut kebersamaan itu dipusatkan di rumah panjang. Rumah panjang merupakan pusat dari berbagai macam  kebudayaan mereka. Masyarakat Iban dikenal sebagai masyarakat yang egaliter meskipun kita tahu bahwa dalam kehidupan keseharian mereka diatur oleh seorang Tuai Rumah. Fungsi dari seorang tuai rumah akan tampak dalam segala persoalan yang berkaitan dengan perkara hukum adat.
Kebersamaan hidup dalam rumah panjang menggambarkan sebuah keharmonisan hidup manusia Dayak. Dalam rumah panjanglah segala tradisi leluhur Dayak diwariskan. Tradisi-tradisi leluhur diturunkan kepada generasi berikutnya. Semua dikemas dalam bungkus kebudayaan rumah panjang. Rumah panjang di zaman modern-kontemporer seperti saat ini sebenarnya masih bisa dihidupi entah di kota maupun desa. Rumah panjang yang dimaksud ialah apartmen. Meskipun gaya, arsitektur dan struktur bangunannya berbeda dari rumah panjang yang dikenal masyarakat dayak, itulah gaya hidup komunalisme zaman modern-kontemporer seperti sekarang ini. Kesalahan yang terjadi ialah penilaian subjektif terhadap gaya hidup di dalam rumah panjang yang dianggap komunisme. Rumah panjang bukanlah gambaran komunisme melainkan komunalisme. Hal ini perlu dipertegas untuk mengurangi citra negatif terhadap mereka yang mendiami rumah panjang.
Akhirnya, penulis sendiri berpendapat bahwa kebudayaan yang sudah dibentuk sekian lama dalam komunitas masyarakat Iban sedemikian rupa haruslah senantiasa dan terus dipertahankan. Bagaimanapun anggapan orang terutama yang bernada negatif terhadap apa yang ada dalam kehidupan bersama seperti itu hanyalah pandangan subjektif belaka. Sedikit banyak dibalik hal itu ada semacam kepentingan politik untuk meruntuhkan kehidupan bersama dalam komunitas rumah panjang. Bagi masyarakat Dayak Iban sendiri, penulis sangat mengharapkan bahwa kebudayaan yang sudah diwariskan oleh para leluhur kepada generasi-generasi penerus hendaklah senantiasa dipertahankan, dijaga dan dilestarikan. Karena dengan demikianlah identitas kebudayaan dan manusia Dayak itu sendiri tetap terpelihara dengan baik.













BUKU ACUAN:
AMZ, Roedy, Haryo Widjono. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Grasindo,1998.
Bamba, John (Ed). Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Pontianak: Institut Dayakologi, 2008.
Blehaut, Jean-Francois. Iban Baskets, Kuala Lumpur: Ampang Press SDN. BHD.
Djuweng, Stepanus (Ed.). Manusia Dayak: Orang Kecil Yang Terperangkap Modernisasi, Pontianak: Institute of Dayakology Research and Development, 1996.
Florus, Paulus (Eds.). Kebudayaan Dayak; Aktualisasi dan Transformasi, Pontianak: Institut of Dayakology Research and Development-Grasindo, 1994.
Hendraswati, Dra, (Ed.). Konsep Pemujaan Masyarakat Dayak Terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, Pontianak: Depdikbud Kalimantan Barat, 1996.
Koentjaraningrat, Prof, Dr.  Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1974.
---------------------. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, 1992.
---------------------. Pengantar Ilmu Antropologi, (Edisi Revisi), Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Kebudayaan Proses Realisasi Manusia, Jokjakarta: Jalasutra, 2009.
Maunati, Yekti, Dr. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, Yogyakarta: LkiS, 2006.
Phang, Dr. Benny dan Dr.Valentinus (Eds.). Minum dari Sumber Sendiri, Dari Alam Menuju Tuhan, Malang: Seri Filsafat Teologi Widya Sasana, 2011.
Riky, Vedastus, Beberapa Pandangan dan Sikap Hidup Suku Dayak,  Jakarta: Bagian Dokumentasi dan Penerangan Mawi.
Sellato, Bernard. Innermost Borneo: Studies In dayak Cultures, Paris: Singapore University Press-Seven Orients, 2002.
Soekamto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
Soemadio, Rana Wijaya. Budaya Masyarakat Dayak, Jakarta: Multi Kreasi Satu Delapan, 2010.



MAJALAH:
KALIMANTAN Review No. 09/Th III/Oktober-Desember 1994.
KALIMANTAN Review No. 41/Th VIII/Januari 1999.
KALIMANTAN Review No. 140/Th.XVI/April 2007.

INTERNET:
Adi Kusumaputra, http://adhikusumaputra.wordpress.com/2007/02/10/rumah-betang-jantung-kehidupan-masyarakat-dayak/


[1] John Bamba (Ed), Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Pontianak: Institut Dayakologi, 2008, hlm. 9.
[2] Bdk, Ibid. hlm. 11.
[3] Bdk, Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia. 1974, hlm. 11.
[4] Bdk, Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan Proses Realisasi Manusia, Jokjakarta: Jalasutra, 2009, hlm. 46.
[5] Bdk, Adhi Kusumaputra, “rumah Betang, Jantung Kehidupan Masyarakat dayak” (http://adhikusumaputra.wordpress.com/2007/02/10/rumah-betang-jantung-kehidupan-masyarakat-dayak/. diakses pada hari kamis 18 Agustus 2011 Pkl: 09.30 WIB).
[6] Bdk, Paulus Florus (Eds), Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi. Pontianak: Institut Dayakologi. 1994. hlm. 172.
[7] Bdk, Ibid.
[8] Bdk, Bernard Sellato, Innermost Borneo Studies In Dayak Cultures, Paris: Seven Orients-Singapore University Press. 2002. Hlm. 73.
[9] Bdk, Prof. Dr. Koentjaraningrat,  Pengantar Ilmu Antropologi, (edisi revisi), Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm. 150.
[10] Bdk, Roedy Haryo Widjono, Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Grasindo, 1998, hlm. 4.
[11] John Bamba (Ed), Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Pontianak: Institut Dayakologi, 2008, hlm. 130.
[12] Bdk, Ibid, hlm. 60.
[13] Bdk, Ibid, hlm. 59.
[14]Bdk, Perkawinan Dayak Iban, Kalimantan Review No. 140/Th.XVI/April 2007, hlm. 58.
[15] Bdk. Rana Wijaya Soemadio, Budaya Masyarakat Dayak, Jakarta: Multi Kreasi Satu Delapan, 2010, hlm. 88.
[16] Bdk, John Bamba, Op. Cit, hlm. 61.
[17] Bdk, Rana Wijaya, Op. Cit, hlm. 9.
[18] Bdk, John Bamba,  Op. Cit, hlm. 59.
[19] Bdk, Paulus Florus, Dkk (Eds), Kebudayaan Dayak…..hlm. 173.
[20] Ibid.
[21] Bdk, Ibid.
[22] Bdk, “Tanah adalah Darah”, Kalimantan Review, No 9, Th. III, Oktober-Desember 1994, hlm. 1.
[23] Bdk, Dr. Benny Phang dan Dr.Valentinus (Eds), Op. Cit, hlm. 31.
[24] Bdk, A. Handoko, Dayak Iban disegani tapi Tak Segan Berubah, dalam Kompas, Sabtu 8 Oktober 2011.
[25] Paulus Florus, Dkk (eds), Op. Cit, hlm. 11-12.
[26] Dr. Valentinus, “Adat Pelestarian Hutan dalam Suku Dayak Mualang”, dalam Dr. Beny Phang dan Dr. Valentinus (Eds), Op. Cit, hlm. 71.
[27] Bdk, Paulus Florus, Op. Cit, hlm. 169.
[28] Bdk, Kontjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, 1967, hlm. 58-59.
[29]Bdk, Yekti Maunati, Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, Yogyakarta: LkiS, 2006, hlm. 74-75.
[30] Paulus Florus, Op. Cit, hlm. 178.
[31] Prof. Dr. Koentjaraningrat, Op. Cit, hlm. 263.
[32] Bdk, Roedy Haryo Widjono AMZ, Masyarakat Dayak Menatap….. hlm. 4.
[33] Bdk, Paulus Florus, Dkk, Kebudayaan Dayak….. hlm. 175.
[34] Bdk, ibid.
[35] Bdk, Robert Adhi Ksp dan Jannes Eudes Wawa, (http://adhikusumaputra.wordpress.com/2007/02/10/rumah-betang-jantung-kehidupan-masyarakat-dayak/ ), diakses pada hari kamis 18 Agustus 2011.
[36] Ibid.
[37] Bdk. Hendraswati, Dra, (Ed), Konsep Pemujaan Masyarakat Dayak Terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, Pontianak: Depdikbud Kalimantan Barat, 1996, hlm. 41.
[38] Bdk, Ibid.
[39] Bdk, Ibid, hlm. 42.
[40] Bdk, Vedastus Riky, Beberapa Pandangan dan Sikap Hidup Suku Dayak,  Jakarta: Bagian Dokumentasi dan Penerangan Mawi, hlm. 55.
[41] Bdk, Paulus Florus, Kebudayaan Dayak…… hlm. 175.
[42] Jean-Francois Blehaut,  Iban Baskets, Malaysia: Ampang Press SDN, BHD, hlm. 20.
[43] Bdk. Vedastus Riky, Beberapa…, hlm. 50.
[44] Bdk. Dra, Hendraswati (ed), Op. Cit, hlm. 41.
[45] Bdk, Prof. Dr. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Edisi Revisi), Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm. 144.
[46] Bdk, Ibid, hlm. 145.
[47] Bdk, Soerjono Soekamto , Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 1990, hlm. 49.
[48] Bdk, Paulus Florus (Eds), Kebudayaan Dayak……hlm. 181.
[49] Djuweng, Stepanus (Ed), Manusia Dayak: Orang Kecil Yang Terperangkap Modernisasi, Pontianak: Institute of Dayakology Research and Development, 1996, hlm. 18.
[50] Ibid, hlm. 17.
[51] Bdk, Tim KaeR, “Era Reformasi: Kebangkitan Dayak?”, Kalimantan Review, No. 41/Th.VIII/Januari 1999, hlm. 7.
[52] Bdk, Roedy Haryo Widjono AMZ, Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Grasindo,1998, hlm. 114.
[53] Tim KaeR, Loc. Cit.
[54] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Edisi Revisi), Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm. 144.
[55] Drs. Herimanto, M.Pd, M.Si dan Winarno, S.Pd, M.Si, Ilmu sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, hlm. 45.
[56]Bdk, Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan Proses Realisasi Manusia, Jokjakarta: Jalasutra, 2009, hlm. 13.
[57] Bdk, Op. Cit, hlm. 185-190.

2 komentar:

  Pembuktian Kebenaran dan Pengandaian Kesalahan (Resensi dan Kajian Moral atas Film DOUBT)   (Oleh: Werenvridus Sadan, dkk)     I  ...