DAYAK IBAN DAN KEBUDAYAANNYA
SEBUAH TINJAUAN ANTROPOLOGIS-FILOSOFIS
(Oleh: Werenvridus Sadan,
S.S)
ABSTRAK
Melalui penelitian ini, kami mengundang pembaca melihat berbagai aspek kebudayaan masyarakat Dayak Iban yang berdiam di Kabupaten Kapuas Hulu. Kebudayaan, sebagai proses realisasi diri manusia, selalu bersifat
dinamis. Demikian pula dengan masyarakat Dayak Iban. Kebudayaan mereka
mengalami perubahan dan perkembangan. Di tengah perubahan tersebut, mereka
tetap mewariskan nilai-nilai budaya mereka kepada
generasi penerus. Warisan tersebut bukanlah sekadar wacana masa purba atau
sekedar sebuah kisah klasik nan lagendaris, melainkan kearifan lokal (local wisdom) yang membimbing tingkah laku masyarakat dalam kaitannya dengan
alam, manusia dan Tuhan.
Warisan budaya yang menjadi sorotan penelitian ini adalah pola hidup
bersama (komunal) dalam rumah panjang. Rumah panjang (long house) bukan sekedar tempat tinggal melainkan tempat
masyarakat Dayak Iban merajut kebudayaan mereka. Dalam penelitian ini juga akan
dimunculkankan persoalan-persoalan kekinian yang dihadapi oleh masyarakat Dayak
Iban, diantaranya perjuangan mereka atas hak
tanah, air dan alam, hak untuk mengelola sumber
daya alam, demi
kelangsungan hidup dan kebudayaan mereka dalam komunitas rumah panjang.
Permasalah tidak berhenti pada tataran empiris belaka, namun menyangkut
harkat dan hakikat diri manusia Iban sebagai makhluk Tuhan yang berhak
mengekspresikan serta merealisasikan diri dan kelompok untuk bertahan hidup.
Akankah keaslian tradisi mereka terus bertahan ditengah majunya arus
globalisasi sekarang ini?
1.
Pengantar
Tema yang diangkat penulis dalam
karya tulis ini adalah kebudayaan masyarakat Dayak Iban, terutama kehidupan
komunal mereka di rumah panjang. Di samping itu, cara hidup komunal masyarakat
Dayak Iban merupakan sebuah tema penelitian yang menarik mengingat dalam
masyarakat modern dewasa ini orang pada umumnya tinggal dalam keluarga inti
dalam rumah pribadi. Penelitian tentang kehidupan komunal masyarakat Dayak Iban
dapat memberi sumbangan pemahaman antropologis dan filosofis mengenai keragaman
cara hidup manusia. Istilah “Dayak” lazim
digunakan untuk menyebut penduduk asli Pulau Kalimantan. Dahulu istilah
“Dayak” digunakan dengan nada hinaan. Kata “Dayak”
sendiri berarti
‘hulu’ dan ‘manusia’.[1] Para
peneliti Eropa sekitar tahun 1800-an, mendefinisikan “Dayak”
sebagai manusia pedalaman, non-Muslim, primitif, tidak berperadaban dan citra
negatif lainnya.[2]
Berbicara tentang kebudayaan berarti
berbicara tentang pikiran, karya dan hasil karya manusia secara
menyeluruh yang terjadi melalui suatu proses pembelajaran bersama.[3] Kebudayaan merupakan hasil dari kreasi dan perjuangan manusia dalam rangka merealisasikan dirinya.[4]
Proses realisasi diri manusia dalam masyarakat Dayak Iban tampak dalam
kebersamaan dengan orang lain dalam komunitas rumah panjang. Jadi, kebudayaan
masyarakat Dayak Iban berpusat di rumah panjang.[5] Proses realisasi diri manusia Dayak Iban tampak dalam setiap wujud
kebudayaan yang mereka hasilkan di rumah panjang.
Dayak
Iban dikenal sebagai masyarakat yang hingga saat ini
mampu bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan.[6]
Mereka hidup secara komunal dalam rumah
panjang, atau rumah
panjae dalam bahasa mereka. Sikap hidup bersama tampak
dalam kebersamaan secara berdampingan dengan masyarakat lainnya
di luar komunitas mereka.[7]
Hal ini rupanya terkait dengan semangat
egaliter yang sangat tampak dalam pola hidup bersama yang
mereka hayati.[8]
Melalui kajian tentang kebudayaan Dayak Iban ini, penulis bermaksud
menepis berbagai stereotipe negatif tentang identitas Dayak, misalnya cap
sebagai suku liar, perusak hutan, tak beradab,
pemburu kepala, primitif, terpencil dan lain-lain. Masih tetap bertahannya
tradisi hidup di
rumah panjang menunjukkan bahwa masyarakat Dayak Iban
menjunjung tinggi nilai budaya yang diwariskan dari leluhur mereka. Berbagai macam aktivitas budaya kerap dilakukan di
rumah panjang. Hal ini berarti bahwa selain berfungsi sebagai tempat tinggal, rumah panjang juga menjadi pusat kebudayaan Dayak Iban.
Penulis akan menguraikan karakteristik kebudayaan Dayak Iban berdasarkan
tiga wujud kebudayaan yang digagas oleh Koentjaraningrat, yakni (1) wujud ide-ide, (2) wujud sistem sosial dan (3) wujud fisik.[9]
Fungsi
utama rumah panjang ialah sebagai tempat tinggal. Selain itu, rumah panjang juga menjadi pusat
dari berbagai macam kegiatan budaya Dayak Iban,
misalnya pesta gawai.
Selanjutnya
kebudayaan yang menjadi fokus pembahasan artikel ini adalah kebudayaan masyarakat
Dayak Iban yang bermukim di kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Indonesia.
Pembatasan ini dimaksudkan untuk membedakan
masyarakat Dayak Iban di Indonesia dengan
Masyarakat Iban di Serawak, Malaysia bagian timur, dan di Brunei
Darussalam.
Perlu dibedakan antara
Iban sebagai rumpun suku dan Iban sebagai subsuku. Istilah “Rumpun
Iban” (Ibanic
Groups) mengacu kepada rumpun suku. Rumpun Iban terdiri dari beberapa subsuku, seperti Iban,
Mualang, Kantuk (Kantu’), Ketungau, Banyur, Desa, dan Seberuang. Rumpun Iban
tersebar di tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Di
Indonesia, mereka menyebar di tujuh kabupaten, yakni Kapuas Hulu, Bengkayang,
Sambas, Sintang, Melawi, Sanggau dan Sekadau. Sementara itu, istilah
“Dayak Iban” mengacu kepada salah satu
subsuku yang termasuk ke dalam rumpun Iban.[10]
Subsuku Iban termasuk salah satu subsuku terbesar
dalam Rumpun Iban.
Masyarakat Dayak Iban mendiami dua negara sekaligus yakni Indonesia dan
Malaysia. Di Indonesia, Dayak
Iban mendiami wilayah Kabupaten Putusibau yang tersebar di enam kecamatan,
yakni Putusibau, Embaloh Hulu, Batang Lupar, Badau, Empenang, dan Embau.[11]
2.
Asal Usul dan Ciri-Ciri Fisik Masyarakat Dayak Iban
Migrasi kelompok Dayak secara
besar-besaran terjadi sekitar tahun 300-an yang silam.[12]
Migrasi kelompok Dayak tersebut dibagi menjadi tiga bagian.
Kelompok pertama diperkirakan datang dari
arah barat. Kemungkinan berasal dari hilir Sungai Kapuas dan anak Sungai Kapuas
seperti Sekayam, Ketungau dan Sekadau. Kelompok yang dimaksud ialah subsuku
Seberuang, Ensilat, Tamanik, Iban, Kantu’, Desa, Sekapat, Suaid, Mayan,
Sebaruk, Rembai dan Ulu Ai’. Migrasi kelompok kedua diperkirakan berasal dari
arah timur yakni daerah Data Purah. Kelompok yang dimaksud yakni Punan, Buket
dan Kayaan. Sedangkan migrasi kelompok ketiga yakni subsuku Dayak Orung Da’an,
Suru’ dan Mentebah.[13]
Masyarakat Dayak Iban sebagai migrasi kelompok pertama berasal dari daerah yang dulunya
bernama Tanah Tampun Juah/Temawai Tampun Juah yang
sekarang terletak persis di hulu Kampung Segumon[14] di
daerah hulu Sungai Sekayam, Kabupaten Sanggau. Mereka berangkat menyusuri
Sungai Sai, tembus ke Sungai Ketungau sampai ke Batang Lupar, Kapuas Hulu.[15]
Migrasi besar-besaran ini disebabkan oleh adanya “perang” dengan roh halus yang
mengusik keberadaan manusia.[16]
Suku Dayak biasanya menyebut
identitas dirinya berdasarkan nama sungai, nama
pahlawan, nama alam dan sebagainya. Sebagai contoh, Suku Dayak Mualang berasal
dari nama seorang yang disegani yakni Mualang (Manok Sabung). Demikian
pula, nama suku Iban berasal dari kata ivan yang berarti pengembara dalam bahasa Dayak
Kayan.[17]
Sumber lain mengatakan bahwa mereka menamakan dirinya Suku Batang Lupar karena berasal dari Sungai Batang Lupar, suatu daerah
di perbatasan Indonesia dengan Serawak Malaysia.
Perbedaan daerah asal turut
mempengaruhi perbedaan fisik. Hal ini tampak dari tiga kelompok dayak yang
bermigrasi ke Kapuas Hulu, termasuk Dayak Iban. Kelompok masyarakat Iban adalah kelompok
migrasi yang berasal dari daerah barat, yaitu dari daerah hilir
Sungai Kapuas dan anak-anak sungainya seperti Sekayam, Ketungau dan Sekadau.[18]
Kelompok ini memiliki ciri-ciri fisik gabungan dari kelompok pertama dan kedua.
Ciri-ciri fisik
kelompok pertama, yang berasal dari daerah timur,
ialah fisik yang kekar dan tinggi, mata sipit serta
berkulit
sawo matang. Sementara itu, kelompok kedua memiliki fisik
yang tidak terlalu tinggi namun postur tubuhnya kekar. Singkatnya,
masyarakat Iban memiliki fisik yang
kekar, bermata sipit dan kulitnya sawo matang.
3. Karakteristik Kebudayaan
Masyarakat Dayak Iban
Selain
membedakan tiga wujud kebudayaan, Koentjaraningrat juga menyebutkan bahwa ada
unsur-unsur universal yang terdapat dalam setiap kebudayaan di dunia, yaitu:
(1) sistem peralatan dan perlengkapan hidup, (2) sistem mata pencaharian, (3)
sistem kemasyarakatan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem pengetahuan, dan
(7) sistem religi. Ketiga wujud kebudayaan di atas terdapat dalam setiap unsur
kebudayaan tersebut.
Karakteristik kebudayaan masyarakat Dayak Iban dapat
dilihat dalam ketujuh unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat.
a. Sistem
Peralatan Hidup dan Teknologi
Sistem peralatan hidup dan
teknologi masyarakat Dayak Iban pertama-tama
terkait dengan mata pencaharian mereka, yakni bercocok tanam,
meramu dan mencari hasil hutan. Peralatan yang mereka
miliki terkait dengan mata pencaharian tersebut antara lain kapak
yang berfungsi untuk memotong dan membelah kayu, beliung untuk menebang kayu besar, parang untuk menebas, serta
sumpit dan senjata api untuk berburu.
Pola hidup bersama dalam rumah
panjang sangat erat kaitannya dengan sumber-sumber makanan yang disediakan oleh
alam.[19] Rumah panjang dalam tatanan masyarakat Iban memperkuat kegiatan
ekonomi. Sistem kerja secara
bersama-sama atau gotong royong, atau beduruk dan besaup dalam bahasa mereka, lebih mudah dilakukan karena mereka
hidup dalam satu atap.[20] Beduruk
adalah gotong royong untuk mempermudah
suatu pekerjaan, misalnya salah satu keluarga akan membuka ladang baru ia
mengadakan kesepakatan dengan beberapa orang untuk membentuk kelompok yang
saling membantu. Saat melakukan beduruk, satuan tenaga
kerja pria dan wanita diperhitungkan dengan cermat dan
sama. Sementara itu, besaup adalah gotong royong yang dilakukan untuk membantu keluarga yang mendapat kemalangan.
b. Sistem Mata
Pencaharian Hidup
Mata pencaharian hidup masyarakat
Dayak Iban umumnya tergantung pada alam, terutama hutan. Alam
telah memberikan hasilnya kepada masyarakat dengan menyediakan kebutuhan pokok
hidup sehari-hari, seperti berbagai
macam hasil
hutan, ikan dari sungai, dan binatang buruan di hutan.[21] Hutan adalah “darah dan jiwa” (tanah
tu darah enggau sepot kitai) bagi masyarakat
Dayak
Iban.[22] Hutan
dijaga dan dilestarikan untuk keberlangsungan
hidup
sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Mereka dilarang menghancurkan sumber-sumber alam lainnya secara
serakah. Larangan
tersebut telah diatur dalam hukum adat mereka.[23] Dengan konsep semacam itu, orang Dayak
hidup menghormati hutan.
Mata pencaharian masyarakat Iban yang hidup di pedesaan sebagian besar
adalah bertani secara tradisional. Sistem pertanian
mereka
adalah sistem ladang berpindah (shifting cultivation) dengan cara
membuka hutan untuk dijadikan ladang kering (dry-rice field). Aktifitas seperti itu
lazim dilakukan masyarakat Iban di penghujung musim kemarau.[24] Ada aturan yang mengikat mereka dalam membuka dan mengolah hutan untuk
dijadikan ladang.[25] Aturan adat mewajibkan mereka untuk
menjaga dan memelihara hutan. Menebang
pohon, misalnya, hanya boleh dilakukan untuk keperluan
tertentu seperti mendirikan rumah dan membuka ladang baru.
Sistem ladang berpindah dalam
tradisi masyarakat Ibanik hampir sama. Perayaan pembukaan lahan dimulai oleh
seorang yang dituakan dalam komunitas yakni Tuai
Rumah. Dalam memilih lokasi dan menebas, peladang memulainya dengan ritus
membuat patung (pentik), pembersihan
lahan (bekibau) dan pemberian makan (bedarak).[26]
Tujuan dari semua ritus ini adalah untuk meminta izin kepada Penguasa Tanah (Puyang Gana) dan
semua roh rimba raya agar merestui ladang dan menjauhkan dari hama penyakit.
Akhir-akhir ini, ladang yang
sudah dibuka tak lagi ditinggalkan dan dibiarkan menjadi hutan lagi. Ladang
tersebut dimanfaatkan untuk perkebunan terutama tanaman karet rakyat.
Dewasa ini menyadap karet untuk menambah penghasilan
keluarga
merupakan kegiatan sehari-hari masyarakat petani Iban.[27] Karet bukanlah jenis tanaman yang asing bagi masyarakat
Dayak di Kalimantan. Masyarakat Dayak sudah mengenal karet
sejak dahulu. Menurut Koentjaraningrat tanaman karet sudah mulai dibudidayakan
dan menjadi bahan ekspor kira-kira sejak setengah abad yang lalu tepatnya 1913.[28]
Karet mula-mula dikembangkan di Sumatera Timur kemudian pada tahun 1915
menyebar dengan cepat ke daerah Kalimantan. Diperkirakan pada tahun itulah
tanaman karet mulai berkembang di Kalimantan. Di samping
bertani, berburu binatang hutan merupakan pilihan
masyarakat Dayak Iban dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hasil buruan biasanya dibagikan kepada
sesama setelah terlebih dahulu
dibagikan kepada
rekan-rekan dalam berburu.
c. Sistem
Kemasyarakatan
Sistem
kemasyarakatan mengatur hidup
manusia dalam kelompok. Sistem kekerabatan, misalnya, memiliki kaitan dengan sistem kesatuan hidup
setempat berdasarkan aspek penghunian rumah panjang yakni kebersamaan
keluarga-keluarga inti. Keluarga-keluarga inti menempati satu gugusan yang
tidak terpisah satu sama lain dalam komunitas rumah panjang Iban.[29] Sistem kekerabatan dalam masyarakat Iban
menekankan aspek kebersamaan dalam bilek.
Bilek ialah sebuah ruang untuk tempat
tinggal keluarga-keluarga dalam rumah
panjang Iban.
Masyarakat Iban juga
dikenal sebagai masyarakat yang egaliter. Harus diakui, dalam masyarakat Iban
ada orang yang memiliki pengaruh yang lebih tinggi, seperti Tuai Rumah yakni orang
yang dianggap tua, fungsionaris adat, dan
pimpinan dalam melaksanakan upacara adat dalam komunitas rumah panjang,
dan Temenggung, pemegang
kekuasaan tertinggi dalam kepengurusan adat yang membawahi beberapa Tuai Rumah.
Namun demikian, otoritas mereka sebatas hanya pada
kepengurusan adat. Selebihnya dalam kenyataan hidup bersama sehari-hari tidak
ada tingkatan tinggi rendah.
Pada hakikatnya,
rumah panjang (rumah panjae) Iban
merupakan kesatuan sosial yang terikat kesadaran wilayah dan genealogis.[30] Kesadaran
genealogis berarti keluarga Dayak yang berwujud keluarga batih maupun keluarga
luas yang hidup dalam satu rumah tangga memiliki rasa kebersamaan hidup
berdasarkan garis keluarga. Sementara kesadaran wilayah lebih mengarah pada
kesadaran akan kepemilikan tanah, air dan alam sekitar yang berada dalam satu
kawasan adat.
d. Bahasa
Bahasa suatu suku bangsa yang
besar, yang terdiri dari berjuta-juta penduduk,
selalu memiliki variasi akibat faktor perbedaan geografis,
lapisan sosial, serta lingkungan sosial dalam
masyarakat suku bangsa tadi.[31] Berdasarkan ciri-ciri kesamaan dialek, budaya dan lokasi, para peneliti dalam bidang etnolinguistik, yakni Nothofer,
James T. Collin, A. B. Hudson, dan Paul Kroeger; mengelompokkan suku Dayak Iban ke dalam
kelompok yang dikenal dengan sebutan Kelompok Ibanik
(Ibanic Group).
Kelompok suku Dayak yang termasuk ke dalam kelompok Ibanik
terdiri dari sebelas suku kecil.[32] Suku-suku kecil yang dimaksud antara lain Dayak Mualang, Kantu’, Desa, Seberuang, Bugau dan
Ketungau.
Hubungan di antara mereka ditandai oleh penggunaan bahasa yang hampir
sama artinya, misalnya dalam kata makan (makai), berjalan (bejalai). Meskipun demikian ada pula perbedaan-perbedaan di antara mereka. Misalnya,
untuk kata “kemana”
dalam bahasa orang Iban dan Kantuk dipakai kata
kini sedangkan dalam bahasa orang Mualang digunakan kata kikai. Jika seorang dari Suku Mualang berbicara
menggunakan bahasanya, maka bahasa itu akan dimengerti pula oleh orang lain
dari Suku Iban, demikian pula sebaliknya. Berdasarkan penjelasan ini dapat
dimengerti bahwa hubungan penggunaan bahasa dalam rumpun Iban hampir sama.
Bahasa yang digunakan dalam
percakapan sehari-hari bagi suku Dayak
Iban adalah bahasa benadai. Bahasa ini dituturkan oleh semua subsuku Iban. Benadai artinya diambil dari kata dasar nadai yang berarti “tidak”.
Tidak terlalu jelas mengapa orang biasa menggunakan istilah benadai untuk mengelompokkan kesamaan
bahasa pada rumpun Iban dan orang Iban sendiri. Ada kemungkinan bahwa
pengelompokan itu berdasarkan kesamaan pada akhir setiap kata dalam rumpun Iban
misalnya penggunaan akhiran ai pada
setiap kata, contoh makai, nyumai, pulai,
dan lain-lain.
e. Kesenian Dalam
Masyarakat Iban
Masyarakat
Iban dan aktivitas
sosial mereka yang berpusat pada rumah
panjang menghasilkan banyak ekspresi seni. Wujud fisik
dari hasil kesenian misalnya seni tari, seni ukir yang berupa relief, seni
pahat dan anyam-anyaman. Seni menganyam dalam tradisi masyarakat Iban merupakan
hasil pengetahuan turun-temurun. Begitu juga
dengan tari-tarian dan seni suara yang berupa syair atau dalam
bahasa lokal disebut kana.
Keharmonisan kehidupan
komunal rumah panjang tercermin dalam kegiatan budaya dan kesenian,
yakni pesta rakyat atau gawai. Gawai
merupakan acara tahunan yang diselenggarakan di rumah panjang. Adapun berbagai
jenis gawai antara lain: Gawai Kenyalang, Tuncung Taun, Gawai
Kelingkang dan Nike Ka Benih.[33]
Pada dasarnya upacara-upacara tersebut merupakan ucapan syukur atas segala
anugerah dan berkah yang telah mereka terima dari Penguasa Tertinggi mereka (Petara). Upacara-upacara tersebut
diadakan pada penghujung tahun, tepatnya saat setelah menyelesaikan panenan.
Kegiatan ini memerlukan banyak tenaga dan oleh karena itu dalam setiap kegiatan
tercermin kebersamaan yang harmonis.
f. Sistem
Pengetahuan
Bagi masyarakat
Iban, rumah panjang berfungsi bukan hanya sebagai tempat tinggal bersama. Rumah panjang juga menjadi lembaga pendidikan non-formal
bagi para penghuninya. Di dalam rumah panjanglah adat istiadat, budaya,
dan tradisi para leluhur diwariskan secara turun temurun.
Khazanah
pengetahuan dalam masyarakat
Iban diterima dari para orang tua yang dianggap banyak memiliki pengalaman
hidup, pengetahuan dan keterampilan. Kaum laki-laki Iban
dikenal sebagai tukang besi yang handal
(ngamboh). Selain itu mereka sangat
terampil dalam mengukir dan menganyam.[34] Kaum
wanita Iban terampil dalam
menenun kain dan menganyam berbagai jenis keranjang yang
lebih halus dan indah. Contoh hasil anyaman dan tenunan dapat
dilihat pada lampiran.
Di sela
rutinitas yang dilakukan di rumah panjang, para penghuninya dapat menggunakan
waktu senggang untuk bertukar pengalaman dan berbincang-bincang. Dalam istilah
setempat, hal ini disebut berandau. Dalam bahasa
Indonesia istilah ini lebih dikenal dengan bertamu. Seperti yang
sudah kita ketahui, Dayak Iban dikenal sebagai masyarakat
yang egaliter. Hal ini amat
mendukung mereka dalam kegiatan sehari-hari. Sikap terbuka dan mau berbagi
ditunjukkan dengan cara saling memberi petunjuk dan bimbingan dalam melakukan
segala sesuatu. Menurut Ketua Umum Majelis Adat Dayak Kalbar Bapak. Jacobus
Frans Layang, BA, SH, masyarakat Dayak Iban memanfaatkan rumah panjang
mereka untuk melakukan aktivitas seperti menenun, memahat, mengukir, menari dan
melaksanakan upacara adat.[35]
Kegiatan seperti itu bisa dilakukan dengan mudah karena kebiasaan yang
dilakukan secara turun temurun yang diwariskan dari para tetua dan mereka yang
berpengalaman. Ini membuktikan bahwa sistem pengetahuan pada masyarakat Dayak
Iban diperoleh secara turun temurun. Mereka
yang tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan dianggap pemalas.[36]
Ini berarti bahwa setiap mereka yang hidup dalam rumah panjang selayaknya
memiliki keterampilan hidup jika tidak ingin dicap pemalas.
g. Sistem Religi
Masyarakat yang hidup dalam alam
kebudayaan tradisional, memiliki kepercayaan yang penuh
magis.[37]
Kepercayaan terhadap hal-hal magis dan sakral itu timbul karena manusia tidak
mampu memenuhi tuntutan jawaban akan adanya kekuatan supranatural di luar
jangkauan manusia. Melalui praktik-praktik magis dan ritual mereka
berupaya menjalin hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi itu.[38]
Selain itu ada beberapa teori yang mengatakan bahwa manusia itu kagum akan
hal-hal yang luar biasa dalam hidupnya. Ada pula teori yang lebih subjektif
yaitu adanya suatu getaran atau emosi dalam diri manusia akibat pengaruh rasa
kesatuan sebagai masyarakat.[39]
Alam pikir masyarakat Dayak Iban
bersifat religius-magis. Mereka mempercayai adanya
roh-roh baik dan roh halus atau hantu. Sebelum
masyarakat Dayak menganut agama Kristen, mereka adalah penganut animisme.
Animisme berarti percaya pada adanya roh yang mendiami suatu tempat tertentu
atau sebatang pohon yang dianggap keramat.[40]
Meskipun hingga saat ini banyak
suku Dayak Iban menganut agama Kristen, mereka tetap berpegang teguh pada adat
dan tradisi leluhur mereka. Adat istiadat tetap dipertahankan karena dengan
demikian mereka seperti memiliki pedoman hidup yang mengatur mereka dengan
segala unsur kehidupannya. Adat istiadat amat penting bagi keamanan dan
ketertiban mereka.[41]
Masyarakat Iban yang masih hidup di rumah panjang mengatur hidup mereka
berdasarkan keyakinan akan adanya kekuatan di luar diri mereka.
Jean-Francois Blehaut memberi penjelasan berikut
tentang
sistem religi masyarakat Iban:
The Iban religion, centred on the rice cult and
characterised by the exaltation of their own social virtues, is a shopisticated
animism in which a complex phanteon of gods is dominated by two beings: Lang or
Singalang Burong, syimbolised by the Brahminy Kite who rules over the sky and
war, and Puyang Gana, god of earth and rice.......[42]
Dalam sistem religi masyarakat
Iban dikenal apa yang dinamakan dengan Singalang
Burong,
penguasa langit, dan Puyang
Gana, penguasa tanah dan padi. Konsep
keyakinan ini tertanam kuat dalam masyarakat Iban hingga kini meskipun sudah
memeluk agama Kristen. Keyakinan akan adanya Dewa
tersebut, memberi rasa aman akan hidup dan keberlangsungannya.
Tingkah laku masyarakat Dayak pada
umumnya selalu dibimbing oleh perasaan takut
akan kekuatan gaib yang ada di alam semesta ini. Alam semesta dalam tataran
pemikiran orang Dayak dipenuhi dengan makhluk-makhluk yang tidak kelihatan,
sakti dan memiliki kekuatan.[43]
Pendek kata sikap hidup orang Dayak selalu diwarnai akan perasaan takut dan
berhati-hati terhadap alam. Perasaan takut sekaligus bersatu dengan rasa hormat
akan adanya kekuatan yang lebih tinggi itu.
Kepercayaan
timbul dalam kelompok masyarakat Dayak sebagai pendukung kebudayaan karena
manusia dianggap tidak dapat menjawab adanya kekuatan
supranatural di luar jangkauan akal mereka.[44]
Kekuatan ini menimbulkan pertanyaan bagi manusia sehingga manusia melakukan
berbagai macam cara untuk mencari hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi
itu.
Agama tradisional mereka telah mengajarkan bagaimana harus
bersikap terhadap alam. Sikap tersebut masih mereka pelihara hingga kini. Alam
telah memberi mereka berbagai macam hasilnya. Alam
telah menyediakan berbagai keperluan hidup masyarakat Dayak.
4.
Rumah Panjang Sebagai Pusat Kebudayaan Dayak Iban
Kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
kehidupan masyarakat yang diperoleh melalui proses belajar.[45]
Kata “kebudayaan”, berasal dari kata Sanskerta yakni buddhayah yang berarti budi atau akal.[46]
Dengan demikian, kebudayaan adalah cetusan dari kemampuan akal budi manusia dalam kebersamaannya
dengan manusia lain, tepatnya dalam hidup bermasyarakat.
Masyarakat ialah sekelompok
manusia yang hidup bersama dalam suatu periode waktu tertentu, mendiami suatu
daerah, dan akhirnya mulai mengatur diri sendiri menjadi suatu unit sosial yang
berbeda dari kelompok-kelompok lain.[47]
Masyarakat dan kebudayaan adalah dua unsur yang tidak dapat dipisahkan. Di mana ada masyarakat di situ ada
kebudayaan. Kebudayaan berkembang dan hidup dalam masyarakat.
Rumah panjang merupakan sebuah
bangunan tempat tinggal bagi masyarakat Dayak di Kalimantan. Bagi masyarakat
Iban, rumah panjang (rumah panjae)
merupakan jantung kebudayaan mereka. Rumah panjang telah mewariskan kepada
generasi penerus berbagai warisan budaya yang amat mulia bagi manusia. Warisan
budaya tersebut tampak nyata dalam sikap hidup masyarakat Dayak Iban terhadap
hutan dan alam.
Kehidupan komunal masyarakat Iban
juga menggarisbawahi arti penting hidup bersama dalam komunitas. Dalam komunitas
mereka tidak ada tingkatan tinggi rendah, tidak ada kaya dan miskin. Semua
pekerjaan dilakukan bersama demi mencapai satu tujuan yakni demi kehidupan
bersama yang harus dijaga dan dilestarikan. Kebersamaan itu tampak dalam sikap
mereka terhadap satu sama lain dalam hal pekerjaan. Pekerjaan yang membutuhkan
banyak tenaga misalnya saat hendak mendirikan rumah, membuka ladang baru dan
saat hendak melaksanakan pesta tahunan (gawai)
dikerjakan secara gotong royong.
Rumah panjang masyarakat Iban
mewariskan juga apa yang dinamakan dengan unsur-unsur kebudayaan. Unsur-unsur
kebudayaan itu tampak dalam berbagai hasil karya manusia Dayak dalam kehidupan
sehari-hari. Unsur-unsur kebudayaan itu dapat digolongkan ke dalam tiga unsur
yakni yang tampak sebagai ide-ide, sistem sosial dan juga hasil kebudayaan
fisik yang dapat diinderai.
Berkaitan dengan kemajuan zaman,
rumah panjang telah, sedang dan akan
melewati suatu masa transisi yang memungkinkan mereka untuk bertahan,
mengikuti dan bahkan larut dalam pergolakan zaman. Namun dibalik semua itu,
rumah panjang dalam kehidupan komunal masyarakat Iban mau membuka diri untuk
perkembangan zaman sekaligus tetap mempertahankan warisan budaya leluhur
mereka.
5. Rumah Panjang dan Tantangan
Individualisme
Komunitas
rumah panjang adalah sebuah tata aturan hidup bersama yang mengatasnamakan kepentingan bersama di atas
kepentingan individu. Gerakan individualisme pertama-tama muncul tatkala
pemerintahan kolonial Belanda menganjurkan bagi seluruh masyarakat
Dayak untuk tinggal di rumah tunggal yang permanen.[48]
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1904 dalam sebuah peraturan yang antara lain
menganjurkan bagi seluruh kepala keluarga pada masyarakat Dayak untuk membangun
tempat tinggal secara terpisah dari rumah panjang. Sejak saat itulah manusia
Dayak mulai membangun rumah secara pribadi untuk keluarganya masing-masing.
Peraturan ini merupakan anjuran bagi seluruh warga masyarakat Dayak di
Kalimantan. Anjuran untuk tinggal di rumah tunggal secara pribadi dalam
keluarga-keluarga juga gencar dilakukan saat pemerintahan orde baru.
Akibatnya, kehidupan
bersama secara komunal dalam komunitas rumah panjang Dayak mendapat tantangan seiring menjamurnya
rumah-rumah tunggal. Perubahan pola tempat tinggal suku Dayak dari rumah
panjang ke rumah tunggal mendorong semangat individualistis. Sikap
individualistis juga didorong oleh persentuhan budaya asli dengan budaya yang
datang dari luar.[49] Faktor
lain yang turut mendukung pergerakan orang Dayak menuju rumah tunggal adalah
masalah-masalah praktis terkait pola hidup dalam kebersamaan, antara lain
perasaan jemu, lingkungan yang kotor dan kurang hiegenis,
kondisi yang rawan kebakaran, kolot dan masih
banyak lagi citra negatif terhadap mereka yang tinggal di rumah panjang.[50] Alasan-alasan
seperti itu sangat tidak masuk akal. Bukankah menjemukan itu masalah selera dan
pribadi? Jika dikatakan rawan terbakar juga rasanya tidak bisa
dipertanggung-jawabkan bukankah Kalimantan memiliki hutan hujan tropis yang
cukup besar? Apakah tidak ada bedanya dengan kawasan perumahan tunggal pribadi
di kota-kota yang juga rawan kebakaran? Tampak bahwa alasan-alasan untuk
pembongkaran rumah panjang itu sangat subjektif.
Masyarakat Iban yang bedomisili
di Kabupaten Kapuas Hulu, tidak terkikis oleh perubahan yang menyangkut tata
kehidupan bersama. Mereka tetap konsekuen untuk tetap tinggal di rumah panjang.
Semangat kebersamaan dalam kehidupan komunal masyarakat Iban tentu telah
tertanam sejak dahulu. Sebagai penghuni
rumah panjang, kehidupan sosial, semangat gotong royong dan persaudaraan masih
dijunjung tinggi.
Tantangan individualisme biasanya
disertai dengan adanya tantangan pembangunan, misalnya
masuknya perusahaan-perusahaan sawit yang mendorong orang
bekerja di perkebunan dan meninggalkan kehidupan komunal rumah panjang. Hal ini
diperparah dengan adanya embel-embel
demi kepentingan umum dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Masyarakat Iban yang hidup berdasarkan kekayaan alam
dan hutannya, akan terancam dengan adanya pembangunan yang mengatasnamakan
kepentingan umum.
Pembangunan tersebut telah
mengancam keragaman hayati dan juga keseimbangan ekosistem di bumi Kalimantan.
Masyarakat adat telah kehilangan hak hidup di atas tanah tempat tinggal yang
sudah sekian lama bahkan selama ratusan tahun mereka tempati.[51]
Hal ini dipengaruhi oleh meningkatnya kebutuhan akan tanah untuk kepentingan
pembangunan dan industri yang kerap bersembunyi dibalik kata “untuk kepentingan
umum”.[52]
Kini pembangunan mau mencaplok secara cuma-cuma “hanya
untuk kepentingan umum.”
Manfaat pembangunan
di daerah pedalaman Kalimantan Barat, secara
khusus di Kabupaten Kapuas Hulu, belum dirasakan
oleh sebagian besar masyarakat, malah dianggap memarginalisasikan
orang Dayak. Banyak pihak
mulai mengkritisi arti dan makna pembangunan itu sendiri.[53]
Pembangunan sungguh telah memberi dampak negatif pada jati diri masyarakat adat
Dayak. Patut diapresiasi bahwa tantangan untuk hidup secara terpisah dari
komunitas bagi masyarakat Iban sama sekali tidak tampak. Kepentingan bersama
jelas terpampang di atas kepentingan pribadi.
6. Refleksi Filosofis atas
Kehidupan Komunal Rumah Panjang
Kebudayaan
merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.[54] Gambaran
tentang kebudayaan seperti ini mau mengatakan bahwa hampir keseluruhan hidup
manusia itu adalah “budaya”. Kebudayaan tidak hanya dipersempit pada pengertian
tentang segala hasil karya dan tindakan manusia. Kebudayaan itu,
baik dalam wujud
konkret maupun abstrak, merupakan suatu wujud dari realisasi
diri manusia yang dinyatakan dalam kebersamaan dengan orang lain. Gambaran ini
tampak dalam kehidupan bersama di rumah panjang Iban.
Komunitas rumah panjang Iban
menggambarkan apa yang dimaksud dengan wujud dari realisasi diri dalam
kebersamaan dengan orang lain. Masyarakat Dayak Iban merealisasikan diri dalam
kebersamaan dengan orang lain dalam komunitas rumah panjang mereka. Meskipun
demikian kebersamaan itu tidak menenggelamkan subjektivitas individu rumah
panjang. Hal ini tampak dari kepemilikan bilek
sebagai tempat pribadi keluarga-keluarga. Pihak lain tidak memiliki kuasa atas bilek orang lain. Pelanggaran akan
dikenakan sanksi adat.
Sebagai makhluk sosial manusia
tidak bisa hidup seorang diri. Manusia senantiasa hidup berdampingan dengan
orang lain. Manusia tidak dapat merealisasikan potensi hanya dengan dirinya
sendiri.[55]
Senada dengan hal itu, Budiono Kusumohamidjojo berpendapat bahwa filsafat
kebudayaan pada hakikatnya akan terus menerus berhadapan
dengan pertanyaan bahwa kebudayaan itu adalah suatu proses realisasi diri
manusia.[56]
Merealisasi diri dalam kebersamaan dengan orang lain tampak dalam kehidupan
komunal rumah panjang masyarakat Iban. Wujud dari realisasi diri itu bisa saja
berupa benda konkret contohnya rumah panjang itu sendiri maupun yang berupa abstrak
yakni yang hanya terdapat dalam ide-ide saja misalnya kearifan lokal dan juga
hukum adat mereka. Hasil dari realisasi diri manusia itu lahirlah apa yang kita
sebut budaya. Dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu tampak dalam seluruh
tingkah laku manusia. Kebudayaan tersebut dipelajari dalam kehidupan
sehari-hari. Maka akan disebut bahwa kebudayaan itu adalah sesuatu yang dinamis
karena budaya pada dasarnya akan terus berkembang seturut perubahan zaman.
Perkembangan kadang melalui beberapa proses yang kiranya pantas dilakukan oleh
masyarakat yakni proses internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi.[57]
Proses internalisasi yakni suatu proses belajar secara terus menerus dalam
hidup seseorang. Proses sosialisasi lebih menekankan kaitannya dengan sistem
sosial. Sedangkan proses enkulturasi yakni semacam pembudayaan. Proses
enkulturasi lebih melihat perkembangan manusia dalam mempelajari alam pikiran,
sistem norma dan peraturan serta sikap manusia dalam mengerti budayanya.
Bagi masyarakat Iban, hal itu
tampak dalam kebersamaan mereka dalam rumah panjang. Semua pekerjaan dilakukan
bersama entah di dalam rumah maupun di luar rumah. Kebersamaan itu dikemas
dalam segala segi kehidupan manusia. Segi kehidupan itu dilihat dalam
nilai-nilai sosial terkait rumah panjang misalnya nilai estetis, etis-yuridis
dan religius. Berbagai kegiatan yang menyangkut kebersamaan itu dipusatkan di
rumah panjang. Rumah panjang merupakan pusat dari berbagai macam kebudayaan mereka. Masyarakat Iban dikenal
sebagai masyarakat yang egaliter meskipun kita tahu bahwa dalam kehidupan
keseharian mereka diatur oleh seorang Tuai
Rumah. Fungsi dari seorang tuai rumah
akan tampak dalam segala persoalan yang berkaitan dengan perkara hukum adat.
Kebersamaan hidup dalam rumah
panjang menggambarkan sebuah keharmonisan hidup manusia Dayak. Dalam rumah
panjanglah segala tradisi leluhur Dayak diwariskan. Tradisi-tradisi leluhur
diturunkan kepada generasi berikutnya. Semua dikemas dalam bungkus kebudayaan
rumah panjang. Rumah panjang di zaman modern-kontemporer seperti saat ini
sebenarnya masih bisa dihidupi entah di kota maupun desa. Rumah panjang yang
dimaksud ialah apartmen. Meskipun gaya, arsitektur dan struktur bangunannya
berbeda dari rumah panjang yang dikenal masyarakat dayak, itulah gaya hidup
komunalisme zaman modern-kontemporer seperti sekarang ini. Kesalahan yang
terjadi ialah penilaian subjektif terhadap gaya hidup di dalam rumah panjang
yang dianggap komunisme. Rumah panjang bukanlah gambaran komunisme melainkan
komunalisme. Hal ini perlu dipertegas untuk mengurangi citra negatif terhadap
mereka yang mendiami rumah panjang.
Akhirnya,
penulis sendiri berpendapat bahwa kebudayaan yang sudah dibentuk sekian lama
dalam komunitas masyarakat Iban sedemikian rupa haruslah senantiasa dan terus
dipertahankan. Bagaimanapun anggapan orang terutama yang bernada negatif
terhadap apa yang ada dalam kehidupan bersama seperti itu hanyalah pandangan
subjektif belaka. Sedikit banyak dibalik hal itu
ada semacam kepentingan politik untuk
meruntuhkan kehidupan bersama dalam komunitas rumah panjang. Bagi masyarakat
Dayak Iban sendiri, penulis sangat mengharapkan bahwa kebudayaan yang sudah
diwariskan oleh para leluhur kepada generasi-generasi penerus hendaklah
senantiasa dipertahankan, dijaga dan dilestarikan. Karena dengan demikianlah
identitas kebudayaan dan manusia Dayak itu sendiri tetap terpelihara dengan
baik.
BUKU ACUAN:
AMZ,
Roedy, Haryo Widjono. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok,
Jakarta: Grasindo,1998.
Bamba,
John (Ed). Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat,
Pontianak: Institut Dayakologi, 2008.
Blehaut,
Jean-Francois. Iban Baskets, Kuala Lumpur: Ampang Press SDN. BHD.
Djuweng,
Stepanus (Ed.). Manusia Dayak: Orang Kecil Yang Terperangkap Modernisasi,
Pontianak: Institute of Dayakology Research and Development, 1996.
Florus,
Paulus (Eds.). Kebudayaan Dayak; Aktualisasi dan Transformasi, Pontianak:
Institut of Dayakology Research and Development-Grasindo, 1994.
Hendraswati,
Dra, (Ed.). Konsep Pemujaan Masyarakat Dayak Terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, Pontianak:
Depdikbud Kalimantan Barat, 1996.
Koentjaraningrat,
Prof, Dr. Kebudayaan Mentalitet dan
Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1974.
---------------------.
Beberapa
Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, 1992.
---------------------.
Pengantar
Ilmu Antropologi, (Edisi Revisi), Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Kusumohamidjojo,
Budiono. Filsafat Kebudayaan Proses Realisasi Manusia, Jokjakarta:
Jalasutra, 2009.
Maunati,
Yekti, Dr. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan,
Yogyakarta: LkiS, 2006.
Phang,
Dr. Benny dan Dr.Valentinus (Eds.). Minum
dari Sumber Sendiri, Dari Alam Menuju Tuhan, Malang: Seri Filsafat
Teologi Widya Sasana, 2011.
Riky,
Vedastus, Beberapa Pandangan dan Sikap Hidup Suku Dayak, Jakarta:
Bagian Dokumentasi dan Penerangan Mawi.
Sellato,
Bernard. Innermost Borneo: Studies In dayak Cultures, Paris: Singapore
University Press-Seven Orients, 2002.
Soekamto,
Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
Soemadio,
Rana Wijaya. Budaya Masyarakat Dayak, Jakarta: Multi Kreasi Satu Delapan,
2010.
MAJALAH:
KALIMANTAN
Review No. 09/Th III/Oktober-Desember 1994.
KALIMANTAN Review No. 41/Th VIII/Januari 1999.
KALIMANTAN Review No. 140/Th.XVI/April 2007.
INTERNET:
Adi
Kusumaputra, http://adhikusumaputra.wordpress.com/2007/02/10/rumah-betang-jantung-kehidupan-masyarakat-dayak/
[1] John Bamba
(Ed), Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku
dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Pontianak: Institut Dayakologi, 2008,
hlm. 9.
[2] Bdk, Ibid. hlm. 11.
[4] Bdk, Budiono
Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan
Proses Realisasi Manusia, Jokjakarta: Jalasutra, 2009, hlm. 46.
[5]
Bdk, Adhi Kusumaputra,
“rumah Betang, Jantung Kehidupan Masyarakat dayak” (http://adhikusumaputra.wordpress.com/2007/02/10/rumah-betang-jantung-kehidupan-masyarakat-dayak/.
diakses pada hari kamis 18 Agustus 2011 Pkl: 09.30 WIB).
[6] Bdk, Paulus Florus (Eds), Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan
Transformasi. Pontianak: Institut Dayakologi. 1994. hlm. 172.
[7] Bdk, Ibid.
[8] Bdk, Bernard Sellato, Innermost Borneo Studies In Dayak Cultures,
Paris: Seven Orients-Singapore University Press. 2002. Hlm. 73.
[9] Bdk, Prof. Dr.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (edisi revisi), Jakarta: Rineka Cipta,
2009, hlm. 150.
[10] Bdk, Roedy Haryo
Widjono, Masyarakat Dayak Menatap Hari
Esok, Jakarta: Grasindo, 1998, hlm. 4.
[11] John
Bamba (Ed), Mozaik Dayak: Keberagaman
Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Pontianak: Institut
Dayakologi, 2008, hlm. 130.
[12] Bdk, Ibid, hlm. 60.
[13] Bdk, Ibid, hlm. 59.
[15] Bdk. Rana Wijaya
Soemadio, Budaya Masyarakat Dayak,
Jakarta: Multi Kreasi Satu Delapan, 2010, hlm. 88.
[18] Bdk, John Bamba, Op. Cit,
hlm. 59.
[20] Ibid.
[21] Bdk, Ibid.
[22] Bdk, “Tanah adalah
Darah”, Kalimantan Review, No 9, Th.
III, Oktober-Desember 1994, hlm. 1.
[24] Bdk, A. Handoko, “Dayak Iban disegani tapi
Tak Segan Berubah,”
dalam Kompas, Sabtu 8 Oktober 2011.
[25] Paulus Florus, Dkk
(eds), Op. Cit, hlm. 11-12.
[26] Dr. Valentinus, “Adat
Pelestarian Hutan dalam Suku Dayak Mualang”, dalam Dr. Beny Phang dan Dr.
Valentinus (Eds), Op. Cit, hlm. 71.
[27] Bdk, Paulus Florus, Op. Cit, hlm. 169.
[28] Bdk, Kontjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta:
Dian Rakyat, 1967, hlm. 58-59.
[29]Bdk, Yekti
Maunati, Identitas Dayak, Komodifikasi
dan Politik Kebudayaan, Yogyakarta: LkiS, 2006, hlm. 74-75.
[31] Prof. Dr. Koentjaraningrat,
Op. Cit, hlm. 263.
[35]
Bdk, Robert Adhi Ksp dan
Jannes Eudes Wawa, (http://adhikusumaputra.wordpress.com/2007/02/10/rumah-betang-jantung-kehidupan-masyarakat-dayak/
), diakses pada hari kamis 18 Agustus 2011.
[36] Ibid.
[37] Bdk.
Hendraswati, Dra, (Ed), Konsep Pemujaan
Masyarakat Dayak Terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, Pontianak: Depdikbud
Kalimantan Barat, 1996, hlm. 41.
[38] Bdk, Ibid.
[40] Bdk, Vedastus Riky, Beberapa Pandangan dan Sikap Hidup Suku
Dayak, Jakarta: Bagian Dokumentasi
dan Penerangan Mawi, hlm. 55.
[45] Bdk, Prof. Dr.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, (Edisi Revisi), Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm. 144.
[49] Djuweng,
Stepanus (Ed), Manusia Dayak: Orang Kecil
Yang Terperangkap Modernisasi, Pontianak: Institute of Dayakology Research
and Development, 1996, hlm. 18.
[50] Ibid, hlm. 17.
[51] Bdk, Tim KaeR, “Era
Reformasi: Kebangkitan Dayak?”, Kalimantan Review, No. 41/Th.VIII/Januari 1999, hlm. 7.
[52] Bdk, Roedy Haryo Widjono
AMZ, Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok,
Jakarta: Grasindo,1998, hlm. 114.
[53] Tim
KaeR, Loc. Cit.
[54] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Edisi
Revisi), Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm. 144.
[55] Drs. Herimanto, M.Pd,
M.Si dan Winarno, S.Pd, M.Si, Ilmu sosial
dan Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, hlm. 45.
[56]Bdk,
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat
Kebudayaan Proses Realisasi Manusia, Jokjakarta: Jalasutra, 2009, hlm. 13.
[57] Bdk, Op. Cit, hlm. 185-190.
lawa amai wai sinu ati maca ya, go go i like it
BalasHapusterima kasih kaban..
Hapus