UPAYA
AKTIF GEREJA DALAM MEMBANGUN PERDAMAIAN DUNIA BERDASARKAN TEKS GAUDIUM ET SPES ART. 78
DALAM
KONTEKS PLURALITAS MASYARAKAT INDONESIA
1.
Pengantar
Konflik, pertikaian dan permusuhan kerap terjadi sudah
sejak zaman dahulu hingga dewasa ini. Semua
ini bermuara pada satu kata yakni perang. Perang meskipun tidak selamanya memang
identik dengan kekerasan. Orang juga bisa menghalalkan segala cara, ketika
mengadakan perang. Perang terjadi antara dua orang atau lebih, bahkan
melibatkan suatu kelompok masyarakat yang besar, yakni suatu negara. Banyak
faktor yang menyebabkan lahirnya perang, bisa saja karena masalah persaingan
ekonomi, hak asasi manusia, masalah perbedaan agama, masalah keadilan sosial
dan masih banyak masalah sosial yang lainnya.
Adanya berbagai
konflik dan perang yang sering terjadi di dunia ini, mengakibatkan banyak
manusia yang risau dan cemas akan keadaan hidupnya. Berbagai macam upaya manusia
berusaha mencari upaya dan strategi yang tepat untuk menciptakan keadaan damai.
Dari pihak Gereja Katolik juga berusaha keras untuk mengupayakan dan
menciptakan suasana damai di dunia. Gereja, sakramen Kristus, sang pembawa dan
pewarta damai, adalah pula Gereja pejuang bagi perdamaian.[1]
Gereja juga mempunyai andil dan tanggungjawab untuk membangun perdamaian dunia.
Sebab, kehadiran Gereja di dunia adalah sebagai terang dan damai bagi
sesamanya. Gereja harus mampu menunjukkan bukti cinta kasihnya kepada sesama,
terlebih kepada pihak yang sedang bertikai atau berperang karena ketidakadilan,
dengan jalan membantu proses terealisasinya perdamaian.
Keterlibatan Gereja demi melahirkan perdamaian dunia,
dibicarakan dalam berbagai ajarannya yang tertuang dalam Ajaran Sosial Gereja
(ASG). Oleh sebab itu, dalam tulisan ini akan dipaparkan Ajaran Sosial Gereja
tentang hakikat perdamaian, yang secara khusus diambil dari Gaudium et Spes (GS) yang merupakan
hasil Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II pada tahun 1965. Hakikat perdamaian yang
dijelaskan oleh Ajaran Sosial Gereja ini dipusatkan pada artikel kunci GS,
yakni art. 78. Namun, sebelum penulis membaca dan memahami ajaran GS art. 78
ini, penulis akan memaparkan profil tentang Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes secara umum. Bagian
berikutnya, penulis berusaha memberikan komentar atas GS art. 78. Selain itu,
penulis akan menunjukkan apa makna Ajaran Sosial Gereja tentang hakikat
perdamaian, bagi hidup manusia sekarang ini, khususnya bagi Gereja Indonesia.
Akan tetapi, porsi relevansi ini tidak akan dijabarkan semendeteil mungkin.
2.
Profil Singkat Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes Konsili Vatikan II[2]
Konsili Vatikan II pada tahun 1965 mengeluarkan
Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes,
yang bertujuan untuk mengajak bicara semua umat manusia tentang berbagai
masalah hidup (3, 1). Bukan hanya masalah hidup yang dipersoalkan, tetapi juga
masalah-masalah sosial yang diangkat oleh konstitusi ini. Masalah-masalah
sosial secara spesifik dibahas dalam bagian I, yakni bab 2 tentang “masyarakat
manusia” (art. 23-32); dan dalam bab 3 tentang “kegiatan manusia di seluruh
dunia” (art. 33-39). Kemudian itu, pada bagian II dibahas lima masalah khusus,
yakni: keluarga (bab I, art. 47-52), kebudayaan (bab 2, art. 53-62), kehidupan
ekonomi (bab 3, art. 63-72), kehidupan dalam masyarakat politik (bab 4, art.
73-76) dan kebersamaan internasional, khususnya masalah perdamaian dunia (bab
5, art. 77-90).
Meskipun demikian, Gaudium
et Spes bukan hanya sekadar Ajaran Sosial Gereja saja. Tetapi, Gaudium et Spes juga membahas persoalan
kehadiran Gereja dalam dunia modern. Dalam Gaudium
et Spes dijabarkan bagaimana sikap Gereja terhadap dunia. Oleh sebab itu, Gaudium et Spes merupakan ajaran yang
bertujuan untuk mengungkapkan tugas dan maksud kehadirannya di dunia, terlebih
khusus tugasnya dalam mewartakan Injil, bukan hanya kepada dirinya sendiri
tetapi juga kepada orang yang berada di luar dirinya sendiri (non-Gereja).
Di satu sisi, Gereja berbicara tentang keselamatan
Allah yang nyata dalam diri Yesus Kristus. Tapi, di sisi lain Gereja juga
berbicara tentang semua orang, yang bukan tergolong dalam kelompok Gereja tetapi
sebagai manusia dalam dunia. Hal ini menegaskan, bahwa Gereja tidak bersikap eksklusif, yakni dengan menutup dirinya
untuk menerima kehadiran orang lain. Inilah yang menjadi dasar bagi Gereja
untuk dapat berperan aktif dalam menyelesaikan segala persoalan dunia. Sebab,
Gereja juga adalah bagian dari dunia ini. Ia lahir, tumbuh, tinggal dan
berkembang dalam dunia yang satu dan sama dengan orang-orang lain yang berada
di sekitarnya.
3.
Pemahaman tentang Gaudium
et Spes art. 78 (Hakikat Perdamaian)
Teks Gaudium et
Spes art. 78 berusaha untuk menunjukkan upaya Gereja dalam membangun perdamaian dunia. Oleh sebab itu,
pada bagian ini akan ditunjukkan isi teks Gaudium
et Spes art. 78 secara apa adanya dalam bentuk setiap paragraf, beserta
dengan pemahaman penulis atas isi teks yang bersangkutan.
a. Paragraf pertama
Damai tidak melulu berarti
tidak ada perang, tidak pula dapat diartikan sekedar menjaga keseimbangan saja
antara kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Damai juga tidak terwujud akibat
kekuasaan diktatorial. Melainkan dengan tepat dan cermat disebut “hasil karya
keadilan” (Yes. 32:17). Damai merupakan buah-hasil tata-tertib, yang oleh Sang
Pencipta ilahi ditanamkan dalam masyarakat manusia, dan harus diwujudkan secara
nyata oleh mereka yang haus akan keadilan yang makin sempurna. Sebab
kesejahteraan umum bangsa manusia dalam kenyataannya yang paling mendasar
berada di bawah hukum yang kekal. Tetapi mengenai tuntutannya yang konkrit
perdamaian tergantung dari perubahan-perubahan yang silih berganti di sepanjang
masa. Maka tidak pernah perdamaian tercapai sekali untuk seterusnya, melainkan
harus terus menenrus dibangun. Kecuali itu, karena kehendak manusia mudah
goncang, dan terlukai oleh dosa, usaha menciptakan perdamaian menuntut, supaya
setiap orang tiada hentinya mengendalikan nafsu-nafsunya, dan memerlukan
kewaspadaan pihak penguasa yang berwenang.[3]
Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes art. 78 menyatakan, bahwa suasana damai bukan
merupakan keadaan tanpa perang dan juga bukan usaha untuk menciptakan keseimbangan
antara kekuatan-kekuatan yang saling berlawanan. Artinya, bahwa perdamaian
tidak tercipta karena pihak yang saling bermusuhan atau bertikai tersebut dapat
diredakan. Selain itu, keadaan damai juga tidak
tercipta berkat kekuatan pihak yang berkuasa. Melainkan, keadaan damai
merupakan “hasil karya keadilan”. Damai adalah buah ketertiban yang telah
ditanamkan oleh Allah sebagai Sang Pencipta kepada semua manusia. Kedamaian ini
harus segera diwujudkan oleh mereka yang haus akan keadilan yang sempurna.
Sebab dalam kenyataannya yang paling mendasar, semua kesejahteraan umum bangsa
manusia berada di bawah hukum yang kekal. Namun, berkaitan dengan tuntutannya
yang nyata, perdamaian itu tergantung pada setiap perubahan yang datang silih
berganti di sepanjang masa. Oleh karena itu, perdamaian tidak akan terwujud
sekali untuk selamanya, tetapi harus secara terus-menerus dibangun dan
diusahakan. Namun dari itu, karena kehendak manusia yang mudah goncang dan
ternodai oleh dosa, upaya untuk membangun dan menciptakan perdamaian menuntut
agar setiap orang tiada hentinya untuk berusaha mengatur dan mengendalikan
segala nafsunya, dan dapat bersikap selalu waspada terhadap kekuatan penguasa
yang berwenang.
b. Paragraf kedua
Akan
tetapi itu tidak cukup. Perdamaian itu di dunia tidak dapat dicapai, kalau
kesejahteraan pribadi-pribadi tidak dijamin, atau orang-orang tidak penuh
kepercayaan dan dengan rela hati saling berbagi kekayaan jiwa maupun daya cipta
mereka. Kehendak yang kuat untuk menghormati sesama dan bangsa-bangsa lain
serta martabat mereka, begitu pula kesungguhan menghayati persaudaraan secara
nyata mutlak perlu untuk mewujudkan perdamaian. Demikianlah perdamaian
merupakan buah cinta kasih juga, yang masih melampaui apa yang dapat dicapai
melalui keadilan.[4]
Usaha untuk menciptakan perdamaian tidak hanya dengan
mengendalikan nafsu-nafsu dan bersikap waspada pada pihak penguasa yang
berwenang. Perdamaian di dunia akan terwujud, jika kesejahteraan setiap pribadi
itu diperhatikan. Kedamaian juga akan dapat tercapai, bila setiap orang saling
percaya untuk mau berbagi apa yang dimiliki, yakni berupa kekayaan sikap batin
dan hasil karya yang mereka usahakan. Setiap pribadi harus dengan rela hati
mengurbankan apa yang dimiliki untuk diberikan pada orang lain. Bila ingin
mewujudkan suatu perdamaian, maka harus perlu dorongan yang teguh untuk saling
menghargai dan menghormati martabat sesama serta segala bangsa, serta secara
konkrit mau berusaha untuk menghayati nilai persaudaraan. Oleh sebab itu,
perdamaian adalah buah dari cinta kasih, yang lebih mengatasi apa yang dapat
dihasilkan dengan jalan menciptakan keadilan. Perdamaian tidak lahir dengan
sendirinya, tapi berkat cinta kasih yang tumbuh dan berjalan beriringan dengan
keadilan.
c. Paragraf ketiga
Damai
di dunia ini, yang lahir dari cinta kasih terhadap sesama, merupakan cermin dan
buah damai Kristus, yang berasal dari Allah Bapa. Sebab Putera sendiri yang
menjelma, Pangeran damai, melalui salib-Nya telah mendamaikan semua orang
dengan Allah. Sambil mengembalikan kesatuan semua orang dalam satu bangsa dan
satu tubuh, Ia telah membunuh kebencian dalam daging-Nya sendiri, dan sesudah
dimuliakan dalam kebangkitan-Nya Ia telah mencurahkan Roh cinta kasih ke dalam
hati orang-orang.[5]
Damai yang tercipta di muka bumi berkat cinta kasih
terhadap sesama, ternyata adalah buah dan cerminan dari cinta kasih Kristus
sendiri, yang juga bersumber dari Allah. Kristus menjadi perentara dan penyalur
rahmat cinta kasih Allah. Kristus yang telah menjelma menjadi manusia dan Raja
damai bagi semua orang, telah mendamaikan semua umat manusia dengan Allah
melalui pengurbanan diri-Nya dengan wafat di atas kayu salib. Oleh karena itu,
Gereja mengajak semua manusia dengan penuh semangat untuk berdoa memohonkan
rahmat perdamaian, yang diberikan oleh Yesus kepada semua umat manusia. Gereja sangat mengharapkan agar Kristus
mendorong hati semua manusia, untuk membongkar segala penghalang terciptanya
perdamaian. Gereja juga memohon agar melalui kuasa dan dorongan Kristus, semua
bangsa saling berusaha untuk mengusahakan perdamaian, yang didambakan oleh
semua umat manusia (Bdk. PT art. 171: hlm. 268). Dengan pengurbanan diri Yesus
ini, Ia telah mengalahkan segala kebencian dan memberikan kedamaian terhadap
suatu bangsa, dengan mengembalikan kesatuan hubungan mereka sebagai satu tubuh.
Setelah kebangkitan-Nya yang penuh mulia itu, Yesus menganugerahkan secara
cuma-cuma Roh cinta kasih ke dalam hati setiap umat manusia.
d. Paragraf keempat
Oleh karena itu segenap umat
Kristen dipanggil dengan mendesak, supaya “sambil melaksanakan kebenaran dalam
cinta kasih” (Ef. 4:15), menggabungkan diri dengan mereka yang sungguh cinta
damai, untuk memohon dan mewujudkan perdamaian.[6]
Demi membangun dan mengusahakan perdamaian dunia,
seluruh umat Kristiani dipanggil untuk mewujudkan kebenaran dalam cinta kasih
(Ef. 4:15). Segenap umat Kristen diajak dengan penuh semangat untuk berani
berbagi cinta kasih dengan sesamanya. Selain itu, seluruh umat Kristen juga
sangat diharapkan untuk dapat menyatukan diri dengan setiap manusia yang sangat
cinta akan kedamaian. Hal ini dilakukan, karena Gereja tidak dapat melakukannya
sendirian. Gereja butuh relasi dengan orang lain, terutama dengan mereka yang mengusahakan
perdamaian dunia.
e. Paragraf kelima
Digerakkan oleh semangat itu
juga, kami merasa wajib memuji mereka, yang dalam memperjuangkan hak-hak
manusia menolak untuk menggunakan kekerasan, dan menempuh upaya-upaya
pembelaan, yang tersedia pula bagi mereka yang tergolong lemah, asal itu dapat
terlaksana tanpa melanggar hak-hak serta kewajiban-kewajiban sesama maupun
masyarakat.[7]
Pada dasarnya, Ajaran Sosial Gereja didukung juga oleh
semangat untuk melaksanakan kebenaran dalam cinta kasih, demi terciptanya
perdamaian. Gereja sangat mendukung dan memuji setiap gerakan yang berusaha
untuk memperjuangkan hak-hak kemanusian dengan jalan perdamaian (tanpa
kekerasan). Sebagai contoh, sebut saja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
dibentuk pada 26 Juni 1945, merupakan salah satu gerakan dunia yang bertujuan
khusus untuk mengharmoniskan dan memantapkan perdamaian antar bangsa. Gerakan
ini (PBB) juga berusaha untuk mendorong
relasi yang bersahabat antara bangsa-banngsa, berdasarkan nilai-nilai kesamaan
derajat, sikap saling menghormati dan kerja sama yang mendalam pada bidang
kemanusiaan (Bdk. PT art. 142: hlm. 257-258). Hak dan kewajiban hidup setiap
manusia harus dicapai melalui jalan damai. Gereja tidak akan mentolerir
cara-cara yang ‘tidak sehat’, yang coba digunakan oleh pihak-pihak yang
mengusahakan hak dan kewajiban setiap manusia. Oleh sebab itu, Gereja sangat
mengharapkan bahwa mereka yang berusaha untuk membantu dan membela pihak yang lemah, mampu
melaksanakannya dengan tidak melanggar hak serta kewajiban sesama dalam masyarakat.
Kepada orang-orang yang lemah inilah Gereja menunjukkan perhatiannya.
f. Paragraf keenam
Karena manusia itu pendosa,
maka selalu terancam, dan hingga kedatangan Kristus tetap akan terancam bahaya
perang. Tetapi sejauh orang-orang terhimpun oleh cinta kasih mengalahkan dosa,
juga tindakan-tindakan kekerasan akan diatasi, hingga terpenuhilah sabda:
“Mereka akan menempa pedang-pedang mereka menjadi mata bajak, dan tombak-tombak
mereka menjadi pisau pemangkas. Bangsa tidak lagi akan mengangkat pedang terhadap
bangsa, dan mereka tidak lagi akan
belajar perang” (Yes. 2:4).[8]
Pada kenyataannya, semua umat manusia itu adalah orang
yang berdosa. Oleh sebab itu, dalam hidupnya selalu tidak aman dan selalu
merasa terancam, bahkan sampai pada kedatangan Kristus, manusia selalu terancam
bahaya perang. Akan tetapi, jika setiap manusia itu mampu hidup dalam ikatan
cinta kasih dan mampu memerangi kekerasan, maka akan tergenapilah nubuat nabi
Yesaya: “Mereka akan menempa
pedang-pedang mereka menjadi mata bajak, dan tombak-tombak mereka menjadi pisau
pemangkas. Bangsa tidak lagi akan mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka
tidak lagi akan belajar perang” (Yes. 2:4). Jadi, kekuatan cinta kasih
mampu mengubah kekerasan menjadi kelembutan. Tentunya dengan sikap berani
mengubah segala yang jahat dengan berbagai bentuk sikap kehidupan yang lebih
baik.
4.
Komentar (Analisis) atas Teks Gaudium et Spes Artikel 78
Pada dasarnya memang harus diakui, bahwa Gereja begitu
menaruh perhatian dan minat yang besar
terhadap masalah sosial manusia yang ada di muka bumi ini. Gereja tidak dapat
berdiam diri melihat segala bentuk kekerasan, perang dan berbagai konflik yang
dilakukan atas nama keadilan sosial. Oleh karena itu, Gereja menunjukkan
keprihatinannya dengan jalan mengupayakan secara aktif, untuk membangun dan
menciptakan perdamaian dunia. Melalui teks Gaudium
et Spes art. 78, Gereja “angkat bicara” tentang hakikat perdamaian.
Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes art. 78, Gereja menyatakan bahwa keadaan damai
bukan hanya merupakan suatu suasana dunia yang tenang tanpa perang, hilangnya
konflik, melainkan keadaan damai lahir karena adanya keadilan dalam hidup
masyarakat. Jadi, hakikat perdamaian dunia ialah tumbuh dan terpeliharanya
prinsip keadilan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu, sangat diharapkan
oleh Gereja bahwa setiap umat manusia mampu secara terus-menerus untuk
mengusahakan terciptanya perdamaian dunia.
Teks Gaudium et
Spes art. 78 juga menegaskan, bahwa perdamaian akan tercipta bila setiap
manusia mampu menghormati martabat sesamanya dan mampu menghidupi semangat
persaudaraan. Hal ini berarti, setiap manusia dituntut untuk berani mengubah
sikap hati. Sebab perdamaian yang sejati berakar pada kedalaman hati manusia,
yang telah menyusun tahap demi tahap upaya untuk membangun perdamaian dari
lingkup yang paling kecil hingga ke lingkup yang lebih besar.[9]
Hanya orang yang berani mengubah segala yang jahat, yang dapat mengubah dunia
ini menjadi lebih damai.
Ajaran Sosial Gereja GS art. 78 juga meyakini, bahwa
damai yang tercipta di dunia adalah berkat rahmat cinta kasih Allah, yang telah
dicurahkan kepada manusia melalui perantaraan Yesus Kristus, Putera-Nya.
Melalui wafat dan kebangkitan Kristus, mengalirlah buah perdamaian. Sebab,
dengan jalan pengurbanan diri Kristus atas dosa umat manusia, segala bentuk
kebencian dan permusuhan yang ada di muka bumi ini dilenyapkan. Kristus juga
berkenan memberikan buah Roh cinta kasih kepada semua manusia, demi membangun
perdamaian dunia. Oleh sebab itu, Gereja juga mengharapkan bahwa umat manusia
mampu membangun relasi yang baik dengan Allah melalui perantaraan Kristus.
Relasi ini mengandaikan manusia berupaya melalui doa, untuk memohonkan rahmat
perdamaian dunia. Melalui doa, manusia mampu menimba rahmat kekuatan dari
Allah, demi membangun perdamaian yang sejati. Sebab, perdamaian yang sejati
bukan semata-mata usaha manusia, melainkan melulu hanya berkat dari Allah.[10]
Manusia hanya sebagai penyalur berkat rahmat Allah untuk membangun perdamaian
dunia. Manusia harus dengan rendah hati menjalankan anugerah dan berkat damai
dari Allah.
Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes art. 78 menyerukan kepada seluruh orang Kristen
agar dapat menyatukan diri dengan orang-orang yang sungguh cinta akan
perdamaian. Dengan kata lain, ajaran GS art. 78 ini mengajak segenap umat
Kristen mampu bekerja dengan siapa saja yang punya perhatian dan minat untuk
membangun serta menciptakan perdamaian dunia. Gereja sangat menghargai berbagai
upaya orang-orang yang memperjuangkan hak-hak manusia dengan jalan tanpa
kekerasan. Hal ini berarti, perdamaian merupakan tanggungjawab dunia
(universal). Dengan berbagai upaya apapun tidak akan mampu membuahkan
perdamaian yang sejati bila tidak mengikutsertakan semua pihak, terlebih mereka
yang secara nyata menjadi korban dari berbagai konflik dan pertikaian. Sebab,
orang-orang yang demikianlah yang haus akan perdamaian dan persaudaraan di
tengah kehidupan bersama dengan orang lain.[11]
Akan tetapi, Gereja tetap mengharapkan agar semua pihak yang terlibat dalam
upaya perdamaian dunia itu tetap memperhatikan hak dan kewajiban setiap orang.
Terlebih hak dan kewajiban setiap orang yang lemah, miskin dan tertindas.
Gereja kerap kali mengadakan kerja sama dan dialog
dengan agama-agama lain, terlebih dalam usaha untuk membangun perdamaian dunia.
Agama dan perdamaian merupakan dua unsur hakiki yang tak dapat dipisahkan. Oleh
sebab itu, segala bentuk lingkaran kekerasan dan perang atas nama hak-hak
kemanusian adalah sesuatu yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur
agama, salah satunya nilai kedamaian. Setiap agama di dunia hendaknya mengembangkan
budaya damai.[12] Setiap
agama juga dituntut untuk berani bersikap terbuka, sehingga dalam upaya untuk
membangun perdamaian dunia itu dapat terwujud dengan baik.
Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes art. 78 mengakui bahwa semua manusia adalah orang
yang berdosa, dan hidupnya akan selalu terancam pada bahaya perang. Oleh karena
itu, Gereja berusaha mengingatkan semua manusia untuk dapat hidup dalam ikatan
cinta kasih, sehingga bahaya perang yang ditakuti tersebut dapat dilenyapkan. Gereja
berusaha menyakinkan semua manusia, bahwa dengan ikatan cinta kasih yang kuat
dan mendalam semua bentuk kekerasan akan dapat diatasi. Berkat ikatan cinta
kasih itu pula, nubuat nabi Yesaya tentang perdamaian itu akan dapat terlaksana
(Bdk. Yes. 2:4).
Perdamaian sejati didasarkan pada keadilan, pada
penghargaan atas kesamaan keluhuran martabat manusia. Perdamaian bisa terwujud
jika dalam prinsip tersebut tumbuh penghargaan akan sesama, agar tak ada
pribadi maupun kelompok yang diutamakan hak maupun kepentingannya dari pada
yang lain.[13] Dengan
kata lain, keadilan merupakan muara terakhir pencarian mausia akan perdamaian.
Namun, perdamaian itu akan dapat dinikmati dan dialami oleh semua orang, bila
dalam diri setiap orang tersebut tumbuh benih sikap saling menghormati harkat
dan martabat sesamanya. Hal ini dilakukan demi menghindari kecenderungan
negatif setiap pribadi, yang hanya mau mengusahakan keadilan dan perdamaian
untuk kepentingan dirinya sendiri dan hanya untuk kepentingan komunitasnya.
Keadilan dan perdamaian itu diperuntukkan untuk semua orang, tanpa membuat
pembedaan. Keadilan dan perdamaian harus dinikmati oleh semua kalangan
masyarakat, baik oleh anak kecil, orang tua, kaya, miskin, tua, muda, dan berbagai
tingkatan dan status sosial manusia dalam masyarakat.
5.
Aktualitas dan Relevansi Gaudium et Spes Artikel 78
Konstitusi Pastoral
Gaudium et Spes lahir dari sebuah
konsili akbar, yakni Konsili Vatikan II pada tahun 1965. Hal ini berarti
konstitusi pastoral ini telah berusia kurang
lebih 50 tahun. Persoalannya, masih aktualkah ajaran Gaudium et Spes art. 78 yang berusaha membangun perdamaian di
dunia, khususnya di Indonesia. Apa relevansinya bagi Gereja Indonesia?
Masih segar
dalam ingatan kita kasus-kasus semisal, kerusuhan Mei 1998, Tragedi Ambon,
Sitobondo, Trisakti, Semanggi, Pelanggaran HAM Timtim adalah contoh di depan
mata kita yang hampir tak bisa tersentuh hukum. Korupsi dan kolusi serta
nepotisme adalah wajah lain dari kekerasan yang semakin membelenggu kaum
miskin-papa.[14] Melihat
kenyataan ini, kita dapat mengatakan bahwa
Konstitusi Pastoral Gaudium et
Spes art. 78 ini masih sangat aktual bagi Gereja Indonesia, dalam upaya
untuk membangun perdamaian. Gereja berusaha menyuarakan perdamaian bagi seluruh
rakyat Indonesia, melalui berbagai ajarannya. Gereja Indonesia diharapkan tidak
menutup mata akan segala kekerasan dan berbagai tindak ketidakadilan, yang
akhir-akhir ini semakin menindas rakyat.
Berdasarkan
ajaran Gaudium et Spes art. 78,
Gereja harus berusaha mencari cara untuk membangun perdamaian di Indonesia.
Gereja Indonesia (sebagai Gereja Lokal) dipanggil secara mendesak dalam
kesatuannya dengan Gereja Universal untuk mengusahakan perdamaian. Usaha
perdamaian itu harus ditanamkan dengan benih cinta kasih Allah sendiri, melalui
perantaraan Yesus Kristus. Benih cinta kasih ini merupakan rahmat dari Allah.
Karena itu, Gereja harus membangun relasi yang baik dengan Allah melalui doa.
Gereja Indonesia tidak hanya dituntut untuk berdoa bagi keselamatan dan
terciptanya perdamaian bagi rakyat Indonesia pada umumnya, tetapi terlebih
khusus bagi mereka yang sedang mengalami ketidakadilan dan berbagai tindak
kekerasan lainnya. Gereja Indonesia juga diharapkan dapat menjalin relasi dan
kerja sama dengan berbagai pihak yang sama-sama mengusahakan terciptanya
perdamaian. Biasanya Gereja menjalin kerja sama dengan agama-agama lain.
Dalam
kenyataannya, konflik dan berbagai kekerasan yang terjadi di Indonesia
disebabkan karena minimnya nilai keadilan sosial. Prinsip kesejahteraan umum
tidak dapat dirasakan oleh semua elemen masyarakat. Prinsip bonum commune itu hanya menjadi slogan
yang formal. Sebab, dalam realitasnya banyak rakyat Indonesia yang tidak
merasakan adanya keadilan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan hukum. Persoalan
lain ialah, hilangnya sikap saling menghargai agama yang satu dengan yang
lainnya, serta ada kecenderungan untuk merendahkan harkat dan martabat
sesamanya. Masih banyak persoalan yang menyebabkan lahirnya konflik dan
kekerasan di Indonesia ini. Namun, persoalan-persoalan yang telah disebutkan di
atas telah mengusik hati Gereja Indonesia, untuk mengusahakan keadilan dan
terciptanya kedamaian.
Perdamaian di
Indonesia akan terwujud, bila semua persoalan-persoalan yang menyangkut prinsip
keadilan sosial dapat diatasi. Oleh sebab itu, Gereja Indonesia diajak untuk
menyadarkan semua elemen masyarakat, bahwa kesejahteraan setiap pribadi harus
diperhatikan secara merata dan adil. Orang harus berani untuk saling berbagi
akan apa yang dimilikinya.
Gereja juga
dituntut untuk mendorong semua pihak agar dapat menghargai harkat dan martabat
setiap pribadi. Selain itu, Gereja Indonesia juga berusaha untuk
menumbuhkembangkan semangat persaudaraan yang sejati dengan sesamanya tanpa
memandang bulu. Dengan demikian, Gereja Indonesia telah menampakkan wajah
Kristus yang penuh cinta kasih akan sesamanya, terlebih kepada mereka yang
menderita karena pertikaian, kekerasan dan karena ketidakadilan. Kristus adalah
Raja damai, karena itu juga Gereja Indonesia harus menjadi penyalur kedamaian
bagi sesamanya.
Daftar
Pustaka
Hardawiryana, R,
SJ.
(Terj.). 1999. Konstitusi Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan):
dalam Kumpulan Dokumen Ajaran
Sosial Gereja Tahun 1891-1991
(dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus), Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan
KWI.
Kieser, B., SJ,
Dr. 1992. Solidaritas: 100 Tahun Ajaran
Sosial Gereja. Yogyakarta: Kanisius.
Krispurwana, Cahyadi T., SJ.
2007. Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan. Jakarta: Obor.
Muller-Fahrenholz,
Geiko. 2005. Rekonsiliasi: Upaya
Memecahkan Spiral Kekerasan dalam Masyarakat, terj. Dr. Georg Kirchberger
dan Yosef M. Florisan, Maumere: Ledalero.
[1]T.
Krispurwana Cahyadi, SJ, Yohanes Paulus
II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, Jakarta: Obor, 2007, hlm. 321.
[2]Bdk. Dr. B. Kieser, SJ, Solidaritas: 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius,
1992, hlm. 139-140.
[3]Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Konstitusi Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan): dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991
(dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus), terj. R.
Hardawiryana, SJ. Jakarta: Dokpen KWI,
1999, hlm. 376-377.
[9]Bdk.
T. Krispurwana Cahyadi, SJ, Op. Cit., hlm.
322.
[10]Bdk.
Ibid., hlm. 325.
[11]Bdk.
Ibid.
[12]Bdk.
Ibid., hlm. 328.
[14]Geiko
Muller-Fahrenholz, Rekonsiliasi: Upaya Memecahkan
Spiral Kekerasan dalam Masyarakat, terj. Dr. Georg Kirchberger dan Yosef M.
Florisan, Maumere: Ledalero, 2005, hlm. vii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar