Rabu, 20 April 2016

Dialog Sebagai Jembatan Rekonsiliasi Antaragama



Dialog Sebagai Jembatan Rekonsiliasi Antaragama
(Suatu Telaah atas Pemikiran H. G. Gadamer)

I. Pendahuluan
Pada dasarnya semua agama menuju pada satu kebenaran, yakni Allah. Mungkin kita pernah mendengar dan mengingat adagium klasik yang berbunyi: “banyak jalan menuju Roma”. Hal ini mau mengartikan bahwa semua agama menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda.
Fokus persoalan runyam sekarang ini adalah wajah agama-agama di Indonesia yang tercoreng oleh sikap sebagian pemeluknya yang fanatik dan arogansi dengan keyakinannya. Sehingga, menutup diri terhadap eksistensi iman dari pemeluk agama lain. Sikap ini akan menabur benih konflik, dan akhirnya akan menuai permusuhan yang berkepanjangan. Karena persoalan yang sebetulnya masalah personal, antara manusia dengan Sang Penciptanya, diperdebatkan dalam forum dan dalam realitas keseharian. Lahirnya sikap fanatik dan eksklusif ini, berawal dari pemahaman para pemeluk agama yang kaku dan sempit terhadap sumber-sumber ajarannya.
                Pada bagian awal paper ini akan dituliskan riwayat hidup dan karya Gadamer dalam dunia filsafat. Kemudian, kita akan masuk pada realitas persoalan pluralitas agama yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Melalui kenyataan ini, penulis berusaha untuk menawarkan solusi pemikiran Filsafat Hermeneutik Hans-Georg Gadamer, yang mencoba mengungkapkan hakikat pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya. Dengan kata Gadamer, kita menunda prasangka-prasangka dan menyampingkan sebentar titik tolak dan keyakinan-keyakinan kita untuk memandang dunia dari pandangan orang lain. [1] Lebih sederhananya, Gadamer menawarkan pola dialog demi terciptanya rekonsiliasi antaragama (agama maksudnya ialah para pemeluk agama/subyeknya).

II. Riwayat hidup dan Karya Gadamer[2]
Gadamer dilahirkan di Marburg, Jerman, sebagai anak seorang kimiawan farmasi yang belakangan juga menjadi rektor universitas di sana. Gadamer melawan desakan ayahnya agar mempelajari ilmu-ilmu alam dan makin lama makin tertarik akan humaniora. Ia bertumbuh dan belajar di Breslau di bawah Hönigswald, namun tak lama kemudian kembali ke Marburg untuk belajar dengan para filsuf Neo-Kantian Paul Natorp dan Nicolai Hartmann. Ia mempertahankan disertasinya pada 1922.
Tak lama kemudian, Gadamer mengunjungi Freiburg dan mulai belajar dengan Martin Heidegger, yang saat itu merupakan seorang sarjana muda yang menjanjikan namun belum memperoleh gelar profesor. Ia kemudian menjadi salah satu dari kelompok mahasiswa seperti Leo Strauss, Karl Löwith, dan Hannah Arendt. Ia dan Heidegger menjadi akrab, dan ketika Heidegger mendapatkan posisi di Marburg, Gadamer mengikutinya di sana.
Gadamer menyusun habilitasinya pada 1929 dan menghabiskan masa-masa awal 1930-an untuk memberikan kuliah di Marburg. Berbeda dengan Heidegger, Gadamer sangat anti-Nazi, meskipun ia tidak aktif secara politik pada masa Reich Ketiga. Pada saat itulah ia menyelesaikan adi karyanya Truth and Method ("Kebenaran dan Metode") (1960) dan terlibat dalam perdebatannya yang terkenal dengan Jürgen Habermas mengenai kemungkinan dalam mentransendensikan sejarah dan kebudayaan guna menemukan posisi yang benar-benar obyektif yang daripadanya orang dapat mengkritik masyarakat. Perdebatan ini tidak menemukan kesimpulannya, tetapi merupakan awal dari hubungan yang hangat antara kedua orang ini. Gadamerlah yang pertama-tama membuka jalan bagi Habermas untuk mendapatkan gelar profesornya di Heidelberg. Upaya yang lain untuk melibatkan Jacques Derrida ternyata kurang memberikan hasil karena kedua pemikir tidak banyak memiliki kesamaan.
Proyek filsafat Gadamer, seperti dijelaskan dalam Truth and Method, adalah menguraikan konsep "hermeneutika filosofis", yang dimulai oleh Heidegger namun tak pernah dibahasnya secara panjang lebar. Tujuan Gadamer adalah mengungkapkan hakikat pemahaman manusia. Dalam bukunya Gadamer berargumen bahwa "kebenaran" dan "metode" saling bertentangan. Ia bersikap kritis terhadap kedua pendekatan terhadap humaniora (Geisteswissenschaften). Di satu pihak, ia kritis terhadap pendekatan-pendekatan modern terhadap humaniora yang mengikuti model ilmu-ilmu alam (dan dengan demikian menggunakan metode-metode ilmiah yang ketat). Di pihak lain, ia mempersoalkan pendekatan tradisional dalam humaniora, yang muncul dari Wilhelm Dilthey, yang percaya bahwa penafsiran yang tepat tentang teks berarti mengungkapkan niat asli si pengarang yang menuliskannya.

III. Potret Pluralitas Agama di Indonesia
            Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dunia dewasa ini, meskipun dalam arti tertentu pluralisme keagamaan selalu ada bersama kita.[3] Pluralisme agama sebagai peluang tantangan Islam dan Kristen di Indonesia mempunyai sejarah pertengkaran yang panjang. Bahkan suasana pertengkaran ini sudah muncul sebelum keduanya masuk Indonesia. Sampai kini gema atau sisa-sisa ketegangan itu masih terus dirasakan. Di sana- sini muncul ketegangan serta kecurigaan di antara keduanya.[4]
Ketegangan antarpemeluk agama dalam silang pendapat masalah iman, sering melahirkan konflik dan berakhir dengan tindak kekerasan. Banyak peristiwa-peristiwa tragis dan berdarah, yang menelan korban begitu banyak, karena tindak kekerasan atas nama cinta akan agamanya.  Cinta yang dangkal terhadap agamanya inilah yang biasa disebut sebagai sikap eksklusif dan fanatik. Bertumbuh suburnya sikap eksklusif dan fanatik ini, disebabkan para pemeluk agama yang begitu kaku dan tekstual dalam menafsir dan memahami sumber-sumber ajaranya.
 Konflik dan kerusuhan atas nama agama ini, banyak terjadi di belahan bumi pertiwi Indonesia ini.  Misalnya; kerusuhan Poso di Sulawesi, pembakaran gereja-gereja dan tragedi malam natal di Jawa, kerusuhan Maluku, pencemaran hosti yang sering terjadi di Flores dan masih banyak konflik lain yang terjadi di wilayah Nusantara ini.[5] Konflik  horizontal antaragama ini berlangsung begitu dramatis dan meninggalkan trauma yang mendalam bagi para pemeluk agamanya.
           
IV. Hermeneutis dan Disiplin Dialog Gadamer
4.1. Teori Hermeneutik Landasan bagi Dialog yang Sejati
          Hermeneutic, dari bahasa Yunani hermeneutikos (penafsiran). Hermeneutika berarti ilmu dan teori tentang penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik obyektif (arti gramatikal kata-kata dan variasi-variasi historisnya), maupun subyektif (maksud pengarang).[6]  Prinsip hermeneutika Gadamer ini memberikan banyak kontribusi pada persoalan-persoalan agama, khususnya dalam dialog antaragama. Berdasarkan pemahaman dan penafsiran yang benar terhadap teks-teks ajaran agama, sangat diharapkan nantinya para pemeluk agama dapat berdialog dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar. “Bahasa memiliki sesuatu yang spekulatif-tidak hanya dalam pengertian Hegel, sebagai pra-pengembaraan instingtif terhadap refleksi logis—namun sebagai realisasi dari makna, sebagai peristiwa tuturan, peristiwa mediasi, dan peristiwa sampai pada sebuah pemahaman.... Seseorang yang punya sesuatu dikatakan mencari dan menemukan kata-kata agar dia bisa dimengerti oleh orang lain.” [7]
            Sungguh tak dapat dipungkiri lagi, bahwa untuk menghasilkan suatu dialog yang baik dibutuhkan pula pemahaman yang baik. Oleh karena itu, konsep hermeneutika dapat menjadi landasan yang penting, demi lahirnya pemahaman yang benar terhadap ajaran yang berbeda–beda dari setiap agama. Gadamer melanjutkan: “Mengatakan apa yang dimaksud....untuk membuat seseorang jadi dipahami—berarti menangkap dan memegang apa yang dikatakan terhadapnya sekaligus apa yang tak dikatakan di dalam suatu makna yang padu dan memastikan bahwa hanya dengan cara inilah perkataan itu dapat dipahami.”[8]
            Selanjutnya penulis akan menjelaskan tentang batasan (definisi) dan pokok-pokok dalam dialog. Fokus perhatian dan pembahasan kita akan mengarah pada pola-pola dialog yang ditawarkan oleh Gadamer demi terciptanya rekonsiliasi pemahaman yang berbeda dari setiap manusia yang beragama.

4. 2. Konsep Gadamer tentang dialog
            Bagi Gadamer, disiplin dialog memiliki posisi menonjol dalam mencapai kebenaran. Ia menekankan bahwa dialog merupakan kriteria kebenaran yang efektif dan uiniversal.[9] Dengan dialog dimungkinkan manusia dapat memperoleh pegetahuan. Dan pengetahuan itu mengantar manusia pada pencaharian terus-menerus akan nilai kebenaran. Nilai kebenaran yang diperoleh bersifat universal, artinya umum, tidak diperuntukkan bagi kelompok tertentu. Dialog membuat kita mampu bersahabat dengan semua manusia secara bebas.
            Ada dua model dialog yang ditawarkan oleh Gadamer, yaitu dialog dengan teks dan dialog dengan manusia. Dialog dengan teks lebih merujuk pada terjemahan teks atau bahasa dalam sebuah buku atau kitab suci. Sedangkan, dialog dengan manusia lebih diartikan sebagai suatu percakapan. Namun, dari ke-dua model ini akan kita dalami model dialog dengan manusia (percakapan). Dalam bukunya Truth and Method, Gadamer memberikan definisi percakapan sebagai proses saling memahami antara dua orang.[10] Batasan ini kesannya sangat sederhana, namun bagaimana cara untuk sampai pada tahap saling memahami ini merupakan pekerjaan yang rumit.
            Gadamer menekankan bahwa dialog bukan sesuatu yang kita ciptakan tetapi kita terlibat di dalamnya, dan ini merupakan percakapan fundamental di mana tidak ada yang memimpin atau yang dipimpin.[11] Pemimpin dan ada yang dipimpin ini dimaksudkan sebagai tidak ada orang yang memonitor atau mengawasi jalannya dialog, sehingga dialog itu kesannya seperti direkayasa. Setiap manusia diberi kebebasan untuk terlibat dalam percakapan, tanpa harus takut pada pengawasan orang lain. Karena setiap percakapan manusia itu membawa kebenarannya sendiri.
            Di lain sisi, kita dapat mengatakan bahwa dengan melakukan dialog kita dapat memperoleh pandangan dan pemahaman yang lebih baik. Pemahaman ini baru memiliki dayanya, bila kita mengerti bahasa percakapan dengan baik. Dengan dialog pula, dimaksudkan agar setiap manusia mampu keluar dari pemahamannya yang sempit, eksklusif dan kaku terhadap suatu konsep. Dalam hal ini pemahaman manusia akan konsep ajaran agamanya. Dengan dialog diharapkan sesama manusia mampu menerima pandangan dan jalan pikiran dari manusia lainnya. Tetapi bukan maksud untuk menyamaratakan heterogenitas pemahaman ke dalam satu pemahaman yang tunggal. Jadi, tujuan percakapan bukan untuk mencari pendirian yang sama atau mengadaptasi dua pendirian yang berbeda.[12] Namun, kebenaran yang dicari dalam sebuah percakapan akan mendorong masing-masing partisipan mengadopsi tindakan tertentu dari partisipan yang lain.[13] Dengan kata lain, dengan adanya perbedaan pemahaman dan pandangan, menyebabkan kita lebih berani untuk berkompromi, dan membangun percakapan yang sehat, demi meretas sikap mental kita yang eksklusif dan kaku.
            Percakapan juga mensyaratkan kedua pertisipan saling membuka diri dan mengakui nilai pemikiran orang lain.[14] Ini berarti para partisipan dituntut mau mendengar dan merespon argumen partisipan lain dengan sikap yang arif. Bukan malah menghakimi dan mengkritik argumen partisipan lain dengan nada yang sinis. Bila hal ini terjadi, maka benih konflik akan muncul. Selanjutnya, Gadamer menegaskan bahwa keterbukaan adalah penerimaan terhadap pandangan orang lain sebagai sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan dan melihat apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan.[15] Artinya lebih penting isi dialog atau percakapannya, dari pada subyek yang mengutarakannya. Konsep Gadamer ini dipengaruhi oleh karakter filsafat barat, yang lebih melihat kata (isi) dari pada manusianya.
            Keterbukaan dalam konsep Gadamer memiliki dua arti, yakni keterbukaan untuk belajar dan keterbukaan untuk merespon. Yang pertama menekankan bahwa seseorang ingin mempelajari cakrawala orang lain. Ini hanya terjadi jika seseorang memandang cakrawala orang lain bernilai. Yang kedua berarti seseorang ingin merespon dengan bijaksana....Oleh karena itu, keterbukaan adalah ciri dari koreksi diri terhadap pemahaman.[16]

V. Penutup
         Setelah menyimak realitas pluralitas agama yang terjadi belakangan di negara Indonesia ini. Penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pluralitas agama ini dapat membawa dampak positif dan negatif. Dampak negatifnya ialah tumbuhnya sikap eksklusif dan fanatik dari para pemeluknya. Tidak jarang karena pluralitas agama ini banyak terjadi perdebatan dan konflik. Lebih buruknya lagi, karena pluralitas agama ini sampai berujung pada tindak kekerasan, dengan maksud untuk memusnahkan agama tertentu. Sedangkan, dampak positifnya ialah pelestarian keanekaragaman dan kekayaan iman, yang dipandang sebagai keunikan bangsa Indonesia.           
Konsep Gadamer tentang dialog sangat releven bila digunakan pada realitas pluralitas agama di Indonesia. Selama ini dialog yang dijalankan masih hanya terbatas pada pertemuan formalitas para pemuka agama saja. Dialog masih belum menyentuh para pemeluk agama yang eksklusif dan fanatik. Melalui gagasan Gadamer, baiklah bila komunitas keagamaan yang ada di Indonesia menerapkan disiplin dialog yang saling memahami. Demi terciptanya rekonsiliasi dari setiap konflik agama. Dialog antaragama memang menjadi harga mati, yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal utama yang harus dipegang teguh dalam dialog ialah keterbukaan diri partisipan dialog. Keterbukaan ini melibatkan hati dan pikiran, sehingga sesama partisipan dialog dapat saling memahami perbedaan iman akan agamanya.
             Sikap dialog memang menjadi kebutuhan dasar yang harus segara dan selalu dipenuhi oleh setiap agama. Hal ini dilakukan demi mendesak setiap kelompok-kelompok agama untuk membangun pengertian yang benar terhadap agama-agama lain. Dengan peran dialog yang ditawarkan oleh Gadamer ini, diharapkan konflik pluralitas agama yang terjadi di Indonesia dapat terselesaikan dengan baik dan aman.


Daftar Pustaka

Buku-buku:
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Coward, Harold. Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Grondin, Jean. Sejarah Hermeneutika dari Plato sampai Gadamer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Hidayati, Mega. Jurang di antara Kita,Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Internet:

Benny, Guchek. Kekerasan dan Rekonsiliasi. (/http://my.opera.com/guchek%20 benny/blog/2008/01/06, diakses 18 September 2009).



[1] Mega Hidayati, Jurang di antara Kita,Yogyakarta: Kanisius, 2008, hlm. 9.
[3]Harold coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hlm. 167.
[4]Guchek Benny, Kekerasan dan Rekonsiliasi, (/http://my.opera.com/guchek%20benny/blog/2008/01/06/, /diakses 18 September 2009.
[5]Guchek, Loc. cit.
[6]Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 283.
[7] WM, GwI, hlm. 472-473 sebagaimana dikutip oleh Jean Grondin, Sejarah Hermeneutika dari Plato sampai Gadamer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007, hlm. 268.
[8]Ibid., hlm. 269.
[9]Ambrosio, Gadamer, Plato, and the Discipline of Dialogue, 1987. Sebagaimana dikutip oleh Mega Hidayati, Op. cit., hlm.52.
[10] Gadamer, Truth and Method,1975, Hidayati, Op. cit., hlm. 54.
[11]Ibid.
[12] Kisiel, “The happening of Tradition: The hermeneutics of Gadamer and Heidegger” 1985, dikutp oleh Hidayati, Op.cit., hlm. 56.
[13]Misgeld, On Gadamer’s Hermeneutics, 1985, Ibid.
[14]Hidayati, Op. cit., hlm. 60.
[15]Ibid., hlm. 61.
[16]Ibid.,  hlm 63. Seperti yang diungkapkan oleh Healy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Pembuktian Kebenaran dan Pengandaian Kesalahan (Resensi dan Kajian Moral atas Film DOUBT)   (Oleh: Werenvridus Sadan, dkk)     I  ...