RUNTUHNYA KEHIDUPAN
KOMUNITAS RUMAH PANJANG DI
KALIMANTAN
1. Pendahuluan
Setiap suku bangsa yang mendiami
perairan Nusantara memiliki keanekaragaman budaya yang menjadi ciri khas suku
tersebut. Keanekaragaman budaya bangsa Indonesia tampak dalam berbagai macam bentuk dan corak yang turut
menghiasi sisi keragaman tersebut. Keragaman tersebut dapat dilihat dalam
pakaian, senjata tradisional, bahasa, warna kulit, watak dan terlebih lagi
sangat tampak dalam adanya rumah adat yang tidak kalah pentingnya dalam tatanan
kebudayaan bangsa Indonesia. Secara khusus disini akan dibahas mengenai rumah
adat yang terdapat di Kalimantan sebagai salah satu warisan sejarah yang turut
mewarnai keanekaragaman budaya bangsa Indonesia. Keberadaan rumah adat tersebut
kini telah hampir punah dan hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor yang menjadi
keresahan bersama. Rumah adat Kalimantan yang pada umumnya disebut rumah
panjang (Lou, Lamin, Betang, rumah panjae, Sao Langkae), merupakan salah satu
bukti kekayaan bangsa Indonesia dalam hal keragaman budaya.
Rumah panjang yang terdapat di Kalimantan
menurut berbagai sumber merupakan sasaran pokok dalam berbagai macam bidang
kajian tradisional terutama yang berhubungan dengan etnografi dan antropologi.
Kebanyakan etnografi tentang Dayak secara khusus memfokuskan diri pada rumah
panjang, bukan hanya sebagai sebuah bentuk arsitektur yang khas, melainkan
lebih sebagai sesuatu yang merupakan perwujudan dari sebuah struktur
hubungan-hubungan sosial khas Dayak.[1]
Keunikan rumah panjang dengan sendirinya mengundang banyak kalangan untuk
meneliti dan mempelajari struktur bangunan dan arsitekturnya. Para peneliti
bukan hanya oarang Indonesia yang mendiami kepulauan Nusantara saja tetapi juga
para ahli dari dunia Barat yang bahkan terlebih dahulu merintis dan memulai
penelitian terhadap rumah panjang. Penelitian dalam arti disini bukan hanya
pada bentuk bangunan saja melainkan apa yang tercakup di dalamnya, misalkan
struktur sosial, hubungan kekerabatan, kebudayaan dan adat istiadat orang Dayak
yang terkandung dalam komunitas rumah panjang.
Geddes, misalnya mengatakan bahwa
bangunan rumah panjang merupakan sebuah indikasi cara hidup orang Dayak Darat
yang khas. Ia membandingkan kehidupan komunal yang ditemukan dalam rumah
panjang dengan individualisme Eropa. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa kehidupan
orang Dayak adalah perwujudan yang lebih sempurna dari kehidupan orang-orang
Eropa.[2]
Tentu hal ini ditinjau dari aspek penghunian, hukum, ekonomi dan keamanan.
2. Pengertian Rumah Panjang
Rumah panjang sebagai rumah tinggal sekaligus sebagai tempat
dan pusat dari kebudayaan Dayak memiliki makna yang cukup mendalam di kalangan
masyarakat Dayak. Namun apakah arti dari rumah panjang tersebut? Semua suku
Dayak terkecuali Dayak Punan yang hidup mengembara, pada mulanya berdiam dalam
kebersamaan hidup secara komunal di rumah panjang yang lazim disebut Lou,
Lamin, Betang dan Lewu Hante.[3]
Pada umumnya rumah panjang memiliki dua beranda
yaitu beranda bagian dalam dan beranda bagian luar. Bernada bagian luar
biasanya dimanfaatkan untuk menjemur padi dll. Beranda bagian dalam digunakan
untuk pertemuan, berkumpul dan bersenda gurau bagi anak-anak, sebagai jalan
menuju ke setiap ruang besar, dan juga dimanfaatkan oleh kaum wanita untuk
melakukan tugasnya misalnya menganyam. Persepsi suku Dayak terhadap rumah
panjang tercakup dalam empat aspek penting dari rumah panjang itu sendiri,
yaitu aspek penghunian, aspek hukum dan peradilan, aspek ekonomi dan aspek
perlindungan dan keamanan.[4]
Rumah panjang dibangun diatas ketinggian lima belas kaki diatas permukaan
tanah. Bagian atapnya terbuat dari pohon sagu, sementara sisanya dibuat dari
papan-papan kayu keras.[5]
3. Alasan Mendirikan Rumah Panjang
Ada berbagai macam alasan yang cukup kuat mengapa rumah
panjang itu dibangun. Namun menurut Geddes dan Furness, alasan yang paling
utama mengapa rumah panjang dibangun dengan ketinggian kurang lebih lima belas
kaki di atas permukaan tanah adalah untuk melindungi diri dari serangan
mendadak para pemburu kepala (Geddes, 1968: 30 dan Furness, 1902:1).[6]
Lokasi rumah panjang biasanya didirikan dibantaran sungai yang memungkinkan
para penghuni rumah panjang untuk lebih cepat berhubungan dengan orang lain
melalui sarana yang tersedia di sungai seperti misalnya sampan. Bagi Furness,
lokasi rumah panjang disepanjang bantaran sungai, di mana sungai merupakan
penghubung transportasi yang utama, pada awalnya merupakan akibat dari
kebutuhan akan akses cepat ke rumah yang bersangkutan.[7]
Hal ini berlaku selama masa perburuan kepala.
Miller yang seorang penjelajah misalnya menulis dalam Black Borneo-nya (1946) bahwa praktek memburu kepala bisa
dijelaskan dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang Dayak
diyakini ada di kepala manusia. Di samping itu ada berbagai macam paradigma
orang terhadap praktek perburuan kepala misalnya Freeman (1979) menitikberatkan
pada makna simboliknya yaitu berkaitan dengan kesuburan tanah.[8]
Mckinley (1976) menggambarkan perburuan kepala itu sebagai proses transisi
yaitu orang yang dulunya adalah musuh kini menjadi sahabat dengan cara
memadukan mereka ke dalam dunia keseharian.[9]Dan
masih banyak lagi pendapat para ahli dan antropolog yang berkaitan dengan
praktek perburuan kepala ini.
4. Fungsi Rumah Panjang
Pada masa
permusuhan antarsuku atau mengayau, tata kehidupan orang Dayak ditandai oleh
adanya sikap menjaga keamanan. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga keutuhan
seisi anggota komunitas rumah panjang. Maka disini kita melihat bahwa rumah
panjang memiliki peranan yang cukup tinggi dalam hal perlindungan dan keamanan.
Bila mereka pergi ke ladang dan hutan, maka beberapa orang tinggal di desa
(rumah panjang) untuk menjaga keselamatan anak-anak dan orang tua yang tidak
ikut ke ladang. Biasanya para penjaga memiliki banyak waktu untuk memperindah
rumah panjang dengan ukiran khas Dayak. Pembangunan lamin di masa lampau membuktikan adanya etos kerja dan gotong
royong yang luar biasa. Kerjasama dan gotong royong merupakan suatu kewajiban
sosial.[10]
Rumah panjang
merupakan rangkaian tempat tinggal dan telah dikenal oleh masyarakat yang
mendiami Pulau Kalimantan terutama suku Dayak. Di dalam rumah panjang inilah
segala macam warisan nenek moyang yang memiliki nilai luhur terus menerus
dilestarikan dan di tanamkan kepada generasi-generasi berikutnya. Rumah panjang
telah membantu pelestarian budaya yang tidak mungkin dilakukan di rumah-rumah
individu seperti sekarang ini.
5. Rumah Panjang Sebagai Pusat
Kebudayaan Dayak
Bagi masyarakat Iban dan Banuaka,
rumah panjang adalah pusat kebudayaan mereka, karena hampir seluruh kegiatan
hidup mereka berlangsung di sana. Mereka juga memandang bahwa rumah panjang
adalah sarana penting dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini juga menyangkut
keseluruhan pembinaan dalam mempertahankan warisan budaya dan adat istiadat yang
merupakan nilai-nilai luhur yang harus ditaati dan dilestarikan serta dihormati
secara turun-temurun. Rumah panjang telah membentuk dan mempersatukan mereka
dalam komunitas dan berperan penting dalam pelaksanaan upacara-upacara adat.[11]
Menurut Dr. Fridolin Ukur dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Dayak, manusia
Dayak tidak ada yang kaya dan yang miskin.[12]
Kehangatan hidup yang komunal dalam rumah panjang amat terasa dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini tampak dalam semangat solidaritas yang tinggi seperti
misalnya yang kuat membantu yang lemah, yang berlebihan memberi kepada yang
berkekurangan. Contoh nyata adalah apabila seseorang mendapat binatang buruan,
ia membagi daging tersebut kepada tetangganya.
Berbagai macam aktivitas budaya
dalam masyarakat adat Dayak kerap dilakukan di rumah panjang. Hal ini didukung
oleh fungsi rumah panjang selain sebagai tempat tinggal juga dimanfaatkan untuk
berlangsungnya kegiatan budaya Dayak. Rumah panjang (Lou/Betang/Lamin) bagi
masyarakat adat Dayak sesungguhnya merupakan pusat kebudayaan. Selama
bertahun-tahun dan turun temurun, masyarakat Dayak membangun tatanan sosial,
ekonomi, budaya dan politik yang “berpusat” di rumah panjang.[13]
Nilai-nilai budaya yang dihasilkan rumah panjang menyangkut persoalan makna dan
hidup manusia Dayak itu sendiri. Juga yang tercakup didalamnya adalah soal
pekerjaan, karya dan perbuatan, persepsi mengenai waktu dan terlebih adalah
hubungan manusia dengan alam sekitar. Keharmonisan hubungan manusia dan alam
amat dijunjung tinggi oleh masyarakat Dayak pada umumnya. Hal ini dapat dilihat
dalam sistem pengelolaan hutan secara tradisional oleh masyarakat Dayak yang
menunjukkan kearifan dan penghormatan masyarakat Dayak dalam hubungannya dengan
hutan.
Menurut pandangan orang Dayak hutan
dengan segala isinya (termasuk didalamnya sungai dan semua binatangnya)
berhubungan erat dengan manusia yang terungkap dalam sistem adat istiadat dan
budaya mereka.[14]
Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan Dayak mencakup keseluruhan aspek hidup
orang Dayak itu sendiri. mata pencaharian orang Dayak yang berorientasi pada
hutan ternyata berpengaruh pula pada kultur material Dayak, sebagai contoh
dapat dilihat dalam keberadaan rumah panjang yang masih asli, seluruhnya
terbuat dari kayu hasil hutan. Hutan juga turut berperan dalam kelestarian
budaya Dayak. Menurut Prof. Syamsuni ada dua kekuatan besar yang akan mengubah
drastis kebudayaan Dayak. Yaitu, pertama perubahan ekologi hutan baik secara
kuantitatif maupun kualitatif sehingga hubungan sosial yang dibina diatasnya
akan mengalami perubahan juga. Kedua berubahnya orientasi orang Dayak sehingga
ketergantungan mereka terhadap hutan makin berkurang.[15]
6. Runtuhnya Kehidupan Komunitas Rumah
Panjang
Pada tahun-tahun
berikutnya, rumah panjang yang besar-besar dirasa tidak perlu lagi. Satu desa
yang besar pecah menjadi dua atau tiga desa yang masing-masing mempunyai rumah
panjang sendiri. Conley melaporkan bahwa para penghuni rumah panjang
menjalankan tugas-tugas bersama seperti bertani dan melakukan upacara-upacara
keagamaan (1973). Selama masa Kristenisasi sebagian orang pindah ke rumah
panjang yang berbeda agar dapat hidup bersama dengan orang-orang yang sama
golongan agamanya (Whittier, 1978:103)[16]
Alasan mengapa
rumah panjang saat itu tidak ada yang besar-besar lagi adalah akibat dari
pemisahan secara besar-besaran dalam komunitas rumah panjang untuk mencari
daerah pertanian yang lebih luas. Kemudian ada pemisahan dari kelompok kecil
tersebut menjadi satu keluarga saja sehingga kehidupan yang dulunya bercorak
komunal kini lebih bercorak individual. Sejak saat itu pembangunan lamin tidak
lagi mendapat perhatian yang serius. Pembangunannya tidak kuat lagi dan disini
juga kita melihat bahwa bentuk-bentuk ukiran yang menghiasi rumah panjang
hampir mengalami kepunahan. Inilah awal dari runtuhnya kehidupan komunitas rumah
panjang. Perkembangan yang paling akhir adalah pembangunan rumah-rumah
keluarga. Mikhail Coomans memaparkan
bahwa sekitar tahun 1900 mulai adanya perubahan yang turut mempengaruhi
hilangnya kehidupan komunal dalam rumah panjang yang disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu:
·
Campur tangan
pemerintah kolonial yang memberikan sejumlah larangan yang sangat mempengaruhi
filsafat hidup dan norma-norma mereka.
·
Hubungan dengan para
pegawai, polisi, tentara dan para pedagang yang datang dari luar.
·
Hubungan budaya dengan
orang-orang Daya dari suku lain.
·
Perjalanan ke Irian
sebagai kuli dalam ekspedisi-ekspedisi.
Proses perubahan yang digambarkan
sedemikian rupa paling cepat pada suku Dayak Bahau di bagian Hilir Riam Mahakam
(Mikhail Coomans, 1987:50).
Seiring
dengan runtuhnya kehidupan komunitas di rumah panjang, maka perlahan-lahan
kebudayaan Dayak yang telah tumbuh dan berkembang dalam rumah panjang juga
terkena dampaknya. Unsur kebudayaan asli mulai mengalami percampuran dengan
budaya luar.
7. Kesimpulan
Anggapan bahwa apapun yang ada di dunia ini tidaklah kekal,
tampaknya mengena dalam tatanan kehidupan komunal masyarakat Dayak terutama di
Rumah panjang. Berbagai macam faktor yang mempengaruhi runtuhnya kehidupan
komunal di rumah panjang terbagi dalam dua bentuk yaitu faktor internal dan
eksternal. Akibat dari pemisahan secara besar-besaran dalam komunitas rumah
panjang dan faktor dari luar seperti anggapan pemerintah mengenai rumah panjang
yang dikatakan kolot, tidak higienis dan rawan kebakaran, turut menghancurkan
jantung kebudayaan Dayak.
Gerakan modernisasi yang terjadi
dalam masyarakat Dayak pada waktu itu telah memacu semangat individualistis
yang dulunya tidak terdapat dalam jiwa orang Dayak. Sikap individualistis juga
didorong oleh budaya Dayak yang bersentuhan dengan budaya yang datang dari
luar. Kini tidak tampak lagi semangat untuk bekerja sama dalam masyarakat Dayak
yang ada hanyalah sikap mementingkan diri sendiri. Ini adalah sebagian kecil
dari dampak gerakan pembongkaran rumah panjang menjadi rumah keluarga secara
individu.
Pada akhirnya kebudayaan daerah tidak akan mampu mengisolasikan diri dari
pengaruh kebudayaan yang datang dari luar. Yang perlu kita lihat adalah
bagaimana seharusnya pengasimilasian budaya itu sehingga masyarakat yang
mengalami perubahan tidak kehilangan arah atau bahkan kehilangan identitas. Oleh
sebab itu, kita memerlukan para perencana dan pelaksana pembangunan yang
memperhatikan nilai-nilai budaya agar ada keseimbangan antara pembangunan dan
nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
[1] DR. Yekti Maunati. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik
Kebudayaan. Yokyakarta: LkiS.
hlm 62.
[2] Ibid. Hlm. 63.
[3] Roedy Haryo Widjono
AMZ, Masyarakat Dayak Menatap Hari
Esok. Jakarta: PT. Grasindo. Hlm. 6.
[4] Ibid. Hlm 7.
[5] Op. Cit. Hlm 64
[6] Op. Cit. Hlm. 63
[7] Ibid.
[8] Op. Cit. Hlm 11.
[9] Ibid Hlm 10.
[10] Mikhail Coomans, Manusia Daya, Dahulu, Sekarang, Masa Depan.
PT. Gramedia: Jakarta. 1987. Hlm. 175.
[11] Paulus Florus,.dkk. Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan
Transformasi, Institut of Dayakology Research and Development dan PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Jakarta. Hlm. 200.
[12] Stepanus Djuweng, Ed. Manusia Dayak, Orang Kecil yang Terperangkap
Modernisasi. Institut of Dayakology Research and Development. Pontianak.
Hlm. 16.
[13] Bdk Roedy Haryo Widjono AMZ.
Hlm 15.
[14] Mateus Pilin dan Edi Petebang, Hutan Darah dan Jiwa Dayak. Hlm 15.
[15] Ibid Hlm. 19.
[16] Lih. Yekti Maunati. Hlm. 67.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar