Senin, 11 Februari 2019

RUNTUHNYA KEHIDUPAN KOMUNITAS RUMAH PANJANG DI KALIMANTAN


RUNTUHNYA KEHIDUPAN KOMUNITAS RUMAH PANJANG DI KALIMANTAN

1. Pendahuluan
            Setiap suku bangsa yang mendiami perairan Nusantara memiliki keanekaragaman budaya yang menjadi ciri khas suku tersebut. Keanekaragaman budaya bangsa Indonesia tampak dalam berbagai macam bentuk dan corak yang turut menghiasi sisi keragaman tersebut. Keragaman tersebut dapat dilihat dalam pakaian, senjata tradisional, bahasa, warna kulit, watak dan terlebih lagi sangat tampak dalam adanya rumah adat yang tidak kalah pentingnya dalam tatanan kebudayaan bangsa Indonesia. Secara khusus disini akan dibahas mengenai rumah adat yang terdapat di Kalimantan sebagai salah satu warisan sejarah yang turut mewarnai keanekaragaman budaya bangsa Indonesia. Keberadaan rumah adat tersebut kini telah hampir punah dan hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor yang menjadi keresahan bersama. Rumah adat Kalimantan yang pada umumnya disebut rumah panjang (Lou, Lamin, Betang, rumah panjae, Sao Langkae), merupakan salah satu bukti kekayaan bangsa Indonesia dalam hal keragaman budaya.
            Rumah panjang yang terdapat di Kalimantan menurut berbagai sumber merupakan sasaran pokok dalam berbagai macam bidang kajian tradisional terutama yang berhubungan dengan etnografi dan antropologi. Kebanyakan etnografi tentang Dayak secara khusus memfokuskan diri pada rumah panjang, bukan hanya sebagai sebuah bentuk arsitektur yang khas, melainkan lebih sebagai sesuatu yang merupakan perwujudan dari sebuah struktur hubungan-hubungan sosial khas Dayak.[1] Keunikan rumah panjang dengan sendirinya mengundang banyak kalangan untuk meneliti dan mempelajari struktur bangunan dan arsitekturnya. Para peneliti bukan hanya oarang Indonesia yang mendiami kepulauan Nusantara saja tetapi juga para ahli dari dunia Barat yang bahkan terlebih dahulu merintis dan memulai penelitian terhadap rumah panjang. Penelitian dalam arti disini bukan hanya pada bentuk bangunan saja melainkan apa yang tercakup di dalamnya, misalkan struktur sosial, hubungan kekerabatan, kebudayaan dan adat istiadat orang Dayak yang terkandung dalam komunitas rumah panjang.
            Geddes, misalnya mengatakan bahwa bangunan rumah panjang merupakan sebuah indikasi cara hidup orang Dayak Darat yang khas. Ia membandingkan kehidupan komunal yang ditemukan dalam rumah panjang dengan individualisme Eropa. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa kehidupan orang Dayak adalah perwujudan yang lebih sempurna dari kehidupan orang-orang Eropa.[2] Tentu hal ini ditinjau dari aspek penghunian, hukum, ekonomi dan keamanan.

2. Pengertian Rumah Panjang
            Rumah panjang sebagai rumah tinggal sekaligus sebagai tempat dan pusat dari kebudayaan Dayak memiliki makna yang cukup mendalam di kalangan masyarakat Dayak. Namun apakah arti dari rumah panjang tersebut? Semua suku Dayak terkecuali Dayak Punan yang hidup mengembara, pada mulanya berdiam dalam kebersamaan hidup secara komunal di rumah panjang yang lazim disebut Lou, Lamin, Betang dan Lewu Hante.[3] Pada umumnya  rumah panjang memiliki dua beranda yaitu beranda bagian dalam dan beranda bagian luar. Bernada bagian luar biasanya dimanfaatkan untuk menjemur padi dll. Beranda bagian dalam digunakan untuk pertemuan, berkumpul dan bersenda gurau bagi anak-anak, sebagai jalan menuju ke setiap ruang besar, dan juga dimanfaatkan oleh kaum wanita untuk melakukan tugasnya misalnya menganyam. Persepsi suku Dayak terhadap rumah panjang tercakup dalam empat aspek penting dari rumah panjang itu sendiri, yaitu aspek penghunian, aspek hukum dan peradilan, aspek ekonomi dan aspek perlindungan dan keamanan.[4] Rumah panjang dibangun diatas ketinggian lima belas kaki diatas permukaan tanah. Bagian atapnya terbuat dari pohon sagu, sementara sisanya dibuat dari papan-papan kayu keras.[5]

3. Alasan Mendirikan Rumah Panjang
            Ada berbagai macam alasan yang cukup kuat mengapa rumah panjang itu dibangun. Namun menurut Geddes dan Furness, alasan yang paling utama mengapa rumah panjang dibangun dengan ketinggian kurang lebih lima belas kaki di atas permukaan tanah adalah untuk melindungi diri dari serangan mendadak para pemburu kepala (Geddes, 1968: 30 dan Furness, 1902:1).[6] Lokasi rumah panjang biasanya didirikan dibantaran sungai yang memungkinkan para penghuni rumah panjang untuk lebih cepat berhubungan dengan orang lain melalui sarana yang tersedia di sungai seperti misalnya sampan. Bagi Furness, lokasi rumah panjang disepanjang bantaran sungai, di mana sungai merupakan penghubung transportasi yang utama, pada awalnya merupakan akibat dari kebutuhan akan akses cepat ke rumah yang bersangkutan.[7] Hal ini berlaku selama masa perburuan kepala.
Miller yang seorang penjelajah misalnya menulis dalam Black Borneo-nya (1946) bahwa praktek memburu kepala bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang Dayak diyakini ada di kepala manusia. Di samping itu ada berbagai macam paradigma orang terhadap praktek perburuan kepala misalnya Freeman (1979) menitikberatkan pada makna simboliknya yaitu berkaitan dengan kesuburan tanah.[8] Mckinley (1976) menggambarkan perburuan kepala itu sebagai proses transisi yaitu orang yang dulunya adalah musuh kini menjadi sahabat dengan cara memadukan mereka ke dalam dunia keseharian.[9]Dan masih banyak lagi pendapat para ahli dan antropolog yang berkaitan dengan praktek perburuan kepala ini.

4. Fungsi Rumah Panjang
Pada masa permusuhan antarsuku atau mengayau, tata kehidupan orang Dayak ditandai oleh adanya sikap menjaga keamanan. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga keutuhan seisi anggota komunitas rumah panjang. Maka disini kita melihat bahwa rumah panjang memiliki peranan yang cukup tinggi dalam hal perlindungan dan keamanan. Bila mereka pergi ke ladang dan hutan, maka beberapa orang tinggal di desa (rumah panjang) untuk menjaga keselamatan anak-anak dan orang tua yang tidak ikut ke ladang. Biasanya para penjaga memiliki banyak waktu untuk memperindah rumah panjang dengan ukiran khas Dayak. Pembangunan lamin di masa lampau membuktikan adanya etos kerja dan gotong royong yang luar biasa. Kerjasama dan gotong royong merupakan suatu kewajiban sosial.[10]
Rumah panjang merupakan rangkaian tempat tinggal dan telah dikenal oleh masyarakat yang mendiami Pulau Kalimantan terutama suku Dayak. Di dalam rumah panjang inilah segala macam warisan nenek moyang yang memiliki nilai luhur terus menerus dilestarikan dan di tanamkan kepada generasi-generasi berikutnya. Rumah panjang telah membantu pelestarian budaya yang tidak mungkin dilakukan di rumah-rumah individu seperti sekarang ini.

5. Rumah Panjang Sebagai Pusat Kebudayaan Dayak
            Bagi masyarakat Iban dan Banuaka, rumah panjang adalah pusat kebudayaan mereka, karena hampir seluruh kegiatan hidup mereka berlangsung di sana. Mereka juga memandang bahwa rumah panjang adalah sarana penting dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini juga menyangkut keseluruhan pembinaan dalam mempertahankan warisan budaya dan adat istiadat yang merupakan nilai-nilai luhur yang harus ditaati dan dilestarikan serta dihormati secara turun-temurun. Rumah panjang telah membentuk dan mempersatukan mereka dalam komunitas dan berperan penting dalam pelaksanaan upacara-upacara adat.[11] Menurut Dr. Fridolin Ukur dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Dayak, manusia Dayak tidak ada yang kaya dan yang miskin.[12] Kehangatan hidup yang komunal dalam rumah panjang amat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tampak dalam semangat solidaritas yang tinggi seperti misalnya yang kuat membantu yang lemah, yang berlebihan memberi kepada yang berkekurangan. Contoh nyata adalah apabila seseorang mendapat binatang buruan, ia membagi daging tersebut kepada tetangganya.
            Berbagai macam aktivitas budaya dalam masyarakat adat Dayak kerap dilakukan di rumah panjang. Hal ini didukung oleh fungsi rumah panjang selain sebagai tempat tinggal juga dimanfaatkan untuk berlangsungnya kegiatan budaya Dayak. Rumah panjang (Lou/Betang/Lamin) bagi masyarakat adat Dayak sesungguhnya merupakan pusat kebudayaan. Selama bertahun-tahun dan turun temurun, masyarakat Dayak membangun tatanan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang “berpusat” di rumah panjang.[13] Nilai-nilai budaya yang dihasilkan rumah panjang menyangkut persoalan makna dan hidup manusia Dayak itu sendiri. Juga yang tercakup didalamnya adalah soal pekerjaan, karya dan perbuatan, persepsi mengenai waktu dan terlebih adalah hubungan manusia dengan alam sekitar. Keharmonisan hubungan manusia dan alam amat dijunjung tinggi oleh masyarakat Dayak pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dalam sistem pengelolaan hutan secara tradisional oleh masyarakat Dayak yang menunjukkan kearifan dan penghormatan masyarakat Dayak dalam hubungannya dengan hutan.
            Menurut pandangan orang Dayak hutan dengan segala isinya (termasuk didalamnya sungai dan semua binatangnya) berhubungan erat dengan manusia yang terungkap dalam sistem adat istiadat dan budaya mereka.[14] Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan Dayak mencakup keseluruhan aspek hidup orang Dayak itu sendiri. mata pencaharian orang Dayak yang berorientasi pada hutan ternyata berpengaruh pula pada kultur material Dayak, sebagai contoh dapat dilihat dalam keberadaan rumah panjang yang masih asli, seluruhnya terbuat dari kayu hasil hutan. Hutan juga turut berperan dalam kelestarian budaya Dayak. Menurut Prof. Syamsuni ada dua kekuatan besar yang akan mengubah drastis kebudayaan Dayak. Yaitu, pertama perubahan ekologi hutan baik secara kuantitatif maupun kualitatif sehingga hubungan sosial yang dibina diatasnya akan mengalami perubahan juga. Kedua berubahnya orientasi orang Dayak sehingga ketergantungan mereka terhadap hutan makin berkurang.[15]

6. Runtuhnya Kehidupan Komunitas Rumah Panjang
Pada tahun-tahun berikutnya, rumah panjang yang besar-besar dirasa tidak perlu lagi. Satu desa yang besar pecah menjadi dua atau tiga desa yang masing-masing mempunyai rumah panjang sendiri. Conley melaporkan bahwa para penghuni rumah panjang menjalankan tugas-tugas bersama seperti bertani dan melakukan upacara-upacara keagamaan (1973). Selama masa Kristenisasi sebagian orang pindah ke rumah panjang yang berbeda agar dapat hidup bersama dengan orang-orang yang sama golongan agamanya (Whittier, 1978:103)[16]
Alasan mengapa rumah panjang saat itu tidak ada yang besar-besar lagi adalah akibat dari pemisahan secara besar-besaran dalam komunitas rumah panjang untuk mencari daerah pertanian yang lebih luas. Kemudian ada pemisahan dari kelompok kecil tersebut menjadi satu keluarga saja sehingga kehidupan yang dulunya bercorak komunal kini lebih bercorak individual. Sejak saat itu pembangunan lamin tidak lagi mendapat perhatian yang serius. Pembangunannya tidak kuat lagi dan disini juga kita melihat bahwa bentuk-bentuk ukiran yang menghiasi rumah panjang hampir mengalami kepunahan. Inilah awal dari runtuhnya kehidupan komunitas rumah panjang. Perkembangan yang paling akhir adalah pembangunan rumah-rumah keluarga.      Mikhail Coomans memaparkan bahwa sekitar tahun 1900 mulai adanya perubahan yang turut mempengaruhi hilangnya kehidupan komunal dalam rumah panjang yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
·         Campur tangan pemerintah kolonial yang memberikan sejumlah larangan yang sangat mempengaruhi filsafat hidup dan norma-norma mereka.
·         Hubungan dengan para pegawai, polisi, tentara dan para pedagang yang datang dari luar.
·         Hubungan budaya dengan orang-orang Daya dari suku lain.
·         Perjalanan ke Irian sebagai kuli dalam ekspedisi-ekspedisi.
Proses perubahan yang digambarkan sedemikian rupa paling cepat pada suku Dayak Bahau di bagian Hilir Riam Mahakam (Mikhail Coomans, 1987:50).
            Seiring dengan runtuhnya kehidupan komunitas di rumah panjang, maka perlahan-lahan kebudayaan Dayak yang telah tumbuh dan berkembang dalam rumah panjang juga terkena dampaknya. Unsur kebudayaan asli mulai mengalami percampuran dengan budaya luar.

7. Kesimpulan
            Anggapan bahwa apapun yang ada di dunia ini tidaklah kekal, tampaknya mengena dalam tatanan kehidupan komunal masyarakat Dayak terutama di Rumah panjang. Berbagai macam faktor yang mempengaruhi runtuhnya kehidupan komunal di rumah panjang terbagi dalam dua bentuk yaitu faktor internal dan eksternal. Akibat dari pemisahan secara besar-besaran dalam komunitas rumah panjang dan faktor dari luar seperti anggapan pemerintah mengenai rumah panjang yang dikatakan kolot, tidak higienis dan rawan kebakaran, turut menghancurkan jantung kebudayaan Dayak.
            Gerakan modernisasi yang terjadi dalam masyarakat Dayak pada waktu itu telah memacu semangat individualistis yang dulunya tidak terdapat dalam jiwa orang Dayak. Sikap individualistis juga didorong oleh budaya Dayak yang bersentuhan dengan budaya yang datang dari luar. Kini tidak tampak lagi semangat untuk bekerja sama dalam masyarakat Dayak yang ada hanyalah sikap mementingkan diri sendiri. Ini adalah sebagian kecil dari dampak gerakan pembongkaran rumah panjang menjadi rumah keluarga secara individu.
Pada akhirnya kebudayaan daerah tidak akan mampu mengisolasikan diri dari pengaruh kebudayaan yang datang dari luar. Yang perlu kita lihat adalah bagaimana seharusnya pengasimilasian budaya itu sehingga masyarakat yang mengalami perubahan tidak kehilangan arah atau bahkan kehilangan identitas. Oleh sebab itu, kita memerlukan para perencana dan pelaksana pembangunan yang memperhatikan nilai-nilai budaya agar ada keseimbangan antara pembangunan dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya.


[1] DR. Yekti Maunati. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yokyakarta: LkiS.  hlm 62.
[2]  Ibid. Hlm. 63.
[3]  Roedy Haryo Widjono AMZ,  Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok. Jakarta: PT. Grasindo. Hlm. 6.
[4]  Ibid. Hlm 7.
[5]  Op. Cit. Hlm 64
[6]  Op. Cit. Hlm. 63
[7] Ibid.
[8] Op. Cit. Hlm 11.
[9] Ibid Hlm 10.
[10] Mikhail Coomans, Manusia Daya, Dahulu, Sekarang, Masa Depan. PT. Gramedia: Jakarta. 1987. Hlm. 175.
[11] Paulus Florus,.dkk. Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi, Institut of Dayakology Research and Development  dan PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Hlm. 200.
[12] Stepanus Djuweng, Ed. Manusia Dayak, Orang Kecil yang Terperangkap Modernisasi. Institut of Dayakology Research and Development. Pontianak. Hlm. 16.
[13] Bdk Roedy Haryo Widjono AMZ. Hlm 15.
[14] Mateus Pilin dan Edi Petebang, Hutan Darah dan Jiwa Dayak. Hlm 15.
[15]  Ibid Hlm. 19.
[16] Lih. Yekti Maunati. Hlm. 67.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Pembuktian Kebenaran dan Pengandaian Kesalahan (Resensi dan Kajian Moral atas Film DOUBT)   (Oleh: Werenvridus Sadan, dkk)     I  ...